Tadinya, hari ini sudah ada ide tulisan lain yang akan saya tuangkan di sini. Namun kenyataan berkata lain.
Sebenarnya sudah sekitar dua bulan ini, mobilitas saya sedikit terhambat. Penghambat itu adalah telpon selular (ponsel), yang notabene harusnya membantu mobilitas. iPhone 5 yang sudah saya gunakan selama 2 tahun dan 8 bulan, sering mendadak mati karena daya baterenya habis. Mau tidak mau, setiap keluar rumah, saya harus membawa tidak hanya satu, tapi bisa dua sampai tiga powerbank, di samping charger utama si telepon. Kadang piranti ponsel tidak mau membaca kabel charger baik dari yang utama maupun yang tambahan. Kalau tidak bawa satu pun dari mereka, pasti resah sepanjang jalan. Di setiap kesempatan, pasti saya charge telepon ini. Begitu sampai ruang meeting, saya langsung cari outlet charger di pojokan. Begitu film utama diputar di bioskop, saya langsung aktifkan Airplane mode, dan charge ponsel dengan menggunakan salah satu powerbank. Begitu masuk pesawat, ponsel mati dalam keadaan di-charge.
Sering banget nge-charge, mas? Iya. Guilty as charged.
Tak tahan lagi dengan keadaan ini, akhirnya saya putuskan membawa ponsel saya satu-satunya ke tukang servis. Ya, sudah sekitar 4 tahun terakhir, saya hanya punya satu ponsel.
Setelah menunggu beberapa menit, pemilik reparasi berkata, โKemampuan daya mesin iPhone milik mas sudah turun sekali. Sudah jauh di bawah 50%. Kalau diganti batere baru, paling dia akan bertahan hanya sampai 3 bulan ke depan. Ini mesin utamanya yang rusak, sehingga dia menggerogoti batere. Saran saya, mas segera jual iPhone ini, lalu beli ponsel lain yang baru.โ
Saya terdiam. Seolah-olah pemilik reparasi tadi berkata, โiPhone milik mas terkena penyakit mematikan. Dia sudah tidak bisa berfungsi lagi. Sudah jauh di bawah 50%. Kalaupun harus dibantu life support, umurnya tidak akan lama. Paling dia akan bertahan hanya sampai 3 bulan ke depan. Penyakitnya sudah menjalar ke seluruh tubuh. Saran saya, biarkan dia menghabiskan sisa harinya dengan bahagia.โ
Kalaupun dia bisa bicara, mungkin iPhone saya tidak bahagia. Betapa tidak? Seumur hidupnya dia habiskan melayani pemiliknya tanpa istirahat. Bangun tidur, notifikasi chats dan emails bermunculan. Sambil sarapan, baca berita. Berangkat kerja, dengerin lagu. Istirahat siang, update media sosial. Malam hari, streaming video. Sebelum tidur, update media sosial. Repeat.
Makanya, sesaat sebelum berkonsultasi dengan teman-teman Linimasa tentang ponsel baru, sempat terlintas di pikiran, โBagaimana kalau mengganti ponsel rusak ini bukan dengan smartphone, tapi dengan ponsel biasa saja? Yang cuma bisa buat sms dan telpon?โ
Mungkin sama ya rasanya seperti tidak punya ponsel sama sekali.
Lalu sepanjang perjalanan pulang, saya coba menimbang-nimbang lagi ide ini. Setelah itu saya coba perinci kegiatan penggunaan aplikasi di smartphone yang paling sering selama ini, dan apa dampaknya kalau hanya pakai ponsel biasa:
- Push email
Tidak ada smartphone? Masih bisa dilakukan di laptop. - Browsing
Bisa pakai laptop. - Menelpon
Lha tujuannya diciptakan ponsel pertama kali apa? - Instagram
Oke, ini cukup menantang. Saya suka memotret, tidak suka dipotret, dan suka melihat jepretan foto para fotografer yang saya ikuti di IG. Versi desktop IG hanya bisa melihat, tapi kita tidak bisa mengunggah. Baiklah. Kita anggap saja galeri museum kalau begitu. - Streaming (Youtube, Soundcloud, Apple Music, dll.)
Bisa pakai laptop. - GPS (Google Map, Waze, Apple Maps, dll.)
Ini juga menantang. Saya termasuk pengguna aktif dan akut Google Map untuk mengarahkan jalan. Baiklah. Kalau begitu lupakan GPS yang Global Positioning System. Mari kita galakkan lagi GPS yang singkatan dari Guidance by Peopleโs Suggestion, alias tanya ke orang. - Transport order (GoJek, GrabTaxi, Uber, dll.)
Waduh. Berat ya. Tapi baiklah, mari kita asah lagi kemampuan tawar menawar dengan para ojek preman. - Social media (Twitter, Facebook, Path, dll.)
Kebetulan bukan selebritis media sosial, atau buzzer, yang terikat kontrak harus mempromosikan produk tertentu. Mungkin akan kangen dengan Path yang lebih terbuka. Tapi kalau kangen dengan teman di Path, bisa kirim email. - Dating sites
Percuma, gak pernah laku. - Chats, terutama WhatsApp
Oke. Ini yang paling berat di antara semua. Mau tidak mau, kita sudah sangat dimanjakan dengan kehadiran aplikasi yang bisa mempersatukan lintas sistem operasi ponsel yang berbeda-beda ini. Semua pengguna ponsel apapun bisa berkomunikasi lewat WhatsApp. Paling tidak setiap orang dari kita punya minimal 4-5 WhatsApp groups. Mulai dari kerjaan sampai urusan keluarga dibicarakan di WhatsApp. Mungkin sekarang beberapa orang terpaksa terbiasa harus mengirimkan SMS ke saya. Tentu saja mereka akan menggerutu, โKenapa sih harus pake SMS? Kan bayar. Pake WhatsApp dong biar gratis!โ
Smartphone-nya yang nggak gratis.
Apakah kira-kira rencana ini berhasil?
Entahlah. Kita lihat saja apa yang terjadi di tulisan minggu depan.
Dalam angan-angan saya, kalau tidak ada smartphone, mungkin akan terjadi seperti ini:
1. Bisa pergi ke mana saja tanpa perlu membawa charger, powerbank dan sejenisnya. Ponsel biasa cukup di-charge sekali sehari, bisa tahan sampai 2 hari.
2. Lebih fokus pada pekerjaan, dan semua aspek kehidupan.
3. Hidup tenang tanpa gangguan dan hasrat untuk memberikan update kehidupan kita ke โteman-temanโ atau โpengikutโ. Kalau di iklan, bayangan saya ini adalah orang berbaju putih di taman yang berlarian ke sana kemari dengan tangan terbuka sambil tertawa lebar.
4. Banyak membaca buku, menghabiskan waktu dengan orang-orang tercinta, dan bercengkerama.
5. Lalu perlahan-lahan ketika semua poin di atas sudah dijalani, akhirnya bosan.
6. Mulai stress karena ketinggalan trend terbaru.
7. Akhirnya beli smartphone lagi.
8. Lupakanlah semua poin-poin sebelum poin di atas.
This is our life.
Tinggalkan komentar