Lagi-lagi soal ponsel.
Dua tahun lalu, beberapa kali saya menulis soal ponsel di Linimasa ini. Saat itu, saya panik karena ponsel saya satu-satunya wafat secara mengenaskan dan mendadak. Seketika semua aktivitas saat itu terhenti, karena nyawa digital kita dicabut.
Dua tahun kemudian, umur ponsel yang menjadi daily driver atau gawai utama sudah genap juga berusia dua tahun. Lebih beberapa minggu malah. Menjelang usianya yang ke-2, sejak beberapa bulan lalu, ponsel ini sudah mulai bertingkah. Batere ponsel sering sekali drop. Dalam sehari, saya harus charge ponsel berkali-kali. Selalu sedia power bank lebih dari satu kalau harus menghabiskan waktu seharian di luar ruangan. Waktu untuk mengisi ulang batere ponsel lebih lama daripada waktu memakai ponselnya. Itupun sudah dalam keadaan mati, atau airplane mode. Dalam keadaan seperti ini, rasanya seakan-akan memiliki mobile phone yang membuat kita tidak bisa mobile karena harus tergantung sama colokan.
Akhirnya, beberapa hari lalu sebelum tulisan ini Anda baca, saya memberanikan diri untuk mendatangi servis ponsel di salah satu pusat perbelanjaan. Saya jelaskan kondisi batere ponsel. Teknisi cuma tersenyum, sambil bilang, “Coba kita ganti batere ya.”
Setelah diganti dengan batere baru, akhirnya tulisan di kolom Setting yang berbunyi “Your battery may need to be serviced”, sudah tidak ada lagi.
Saya bertanya ke teknisi, “Ini sebenarnya wajar nggak sih, batere ponsel saya jadi drop setelah 2 tahun?”
Dia jawab, “Oh wajar sekali. Apalagi pemakaiannya cukup tinggi sehari-hari.”
Saya penasaran lagi, “Jadi umur ponsel itu kira-kira berapa ya?”
Setelah berpikir sejenak, dia jawab, “Tergantung pemakaian, dan perawatan. Ada juga yang lebih dari 3 tahun masih bagus. Cuma mungkin kecepatan prosesornya sudah turun. Dan mungkin sudah tidak bisa di-update lagi software atau operating system di dalam ponsel. Apalagi sekarang tiap tahun ‘kan pasti sudah ada upgrade dari seri ponsel yang kita punya.”
Keesokan paginya, saya berjalan kaki mencari sarapan. Bedanya, kali ini saya cukup percaya diri membawa ponsel, karena sudah tidak perlu khawatir lagi membawa tambahan piranti power bank. Sambil berjalan kaki, saya berpikir, kalau setiap 1-2 tahun kita berganti ponsel, maka berapa harga yang pantas kita keluarkan untuk gawai ini?
Lalu muncul pertanyaan lain di benak saya: apa bisa kita menentukan harga ponsel kita?
Sambil mencari tukang kue basah yang sudah pindah ratusan meter dari tempat dia berjualan seperti biasa, iseng-iseng saya menghitung. Let’s say, dalam sehari kita mau menabung atau mengeluarkan 10 ribu rupiah untuk ponsel. Berarti dalam setahun terkumpul 3,65 juta rupiah spare cash untuk membeli ponsel. Pertanyaannya: apakah kita akan menghabiskan persis 3,65 juta rupiah ini untuk membeli ponsel dengan harga tersebut? Mencari yang lebih murah, sehingga ada sisa? Mencari yang lebih mahal, dengan menambah uang?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut berujung pada pertanyaan lain: apakah kita menilai waktu kita dalam satu hari untuk pemakaian ponsel sebesar 10 ribu rupiah? Berapakah nilai kita?
Jadi pertanyaan berapa nilai ponsel kita sebenarnya sama dengan pertanyaan “seberapa besar kita menilai kebutuhan kita terhadap ponsel tersebut”.
Tidak ada jawaban yang benar atau salah untuk hal ini. Tidak ada benchmark atau ukuran untuk menentukan the exact amount. Yang bisa menilai diri kita sendiri, sesuai dengan kemampuan kita.
Sambil berjalan pulang setelah membungkus bacang dan kue lumpur serta setengah lusin pisang goreng, saya coba mendata lagi jenis penggunaan ponsel buat diri sendiri.
Saya menggunakan ponsel untuk berinteraksi sosial dengan teman atau keluarga, mulai dari urusan pekerjaan sampai urusan kencan. Menonton video di Youtube, mendengarkan musik di Spotify, membaca buku saat berada di kendaraan umum. Memesan jasa transportasi, dan mengirim barang. Belanja kebutuhan sehari-hari. Membayar tagihan. Transfer uang. Membeli paket data modem. Mengedit dokumen. Menelpon, meskipun jarang, dan melakukan video call, ke orang tua dan wawancara kerja jarak jauh. Mengambil foto yang diunggah ke media sosial. Membalas email sambil sesekali harus preview video dari Google Drive atau Dropbox.
Dengan seabrek kebutuhan dan keperluan penggunaan ponsel yang cukup tinggi sehari-hari, maka buat saya pribadi, nilai 10 ribu rupiah per hari untuk memberikan value terhadap kebutuhan tersebut menjadi sangat wajar. Mungkin cenderung undervalue.
Lalu mari kita berhitung lagi sambil menikmati kopi hitam dan pisang goreng hangat.
Kalau frekuensi pergantian ponsel buat saya adalah setiap 2 tahun sekali, maka perhitungan nilai tersebut menjadi seperti ini: 10 ribu x 365 hari x 2 tahun = 7,3 juta rupiah.
Maka mengeluarkan uang 7,3 juta rupiah untuk ponsel yang akan digunakan sehari-hari sekali dalam dua tahun menjadi sesuatu yang wajar.
Perhitungan di atas menjadi masuk akal buat saya, tapi belum tentu buat Anda atau orang lain. Semuanya tergantung kebutuhan yang Anda perlukan.
Dan kalau patokan 2 tahun itu bisa diperlebar menjadi 2,5 tahun, yang artinya Anda akan ganti ponsel setiap 2,5 tahun sekali instead of 2 tahun sekali, maka nilai 10 ribu bisa Anda turunkan menjadi 8 ribu rupiah, misalnya. Atau malah dinaikkan sekalian. Again, it’s all about how much you see your own willingness to spend that matters.
Jangan lupa juga perhatikan faktor lain: godaan dan social pressure. Jangan sampai dua faktor ini menjadi penggerak untuk mengacaukan hitungan kita sendiri.
Lantas sekarang saya berpikir sambil mengunyah kue lumpur: batere baru di ponsel ini paling memberikan ponsel saya umur tambahan sekitar 6 bulan lagi. Maksimal 8 bulan. Jadi mungkin dalam 6 atau 8 bulan lagi, kalau ada rejeki, mungkin saya akan punya ponsel baru. Atau malah batere baru lagi.
Pertanyaannya: dalam 6-8 bulan lagi, berapa nilai yang mau saya hitung dan keluarkan?
Berapa nilai ponsel Anda sendiri?
Waktu ikut tender yg nilainya 50 juta, gue sempet was2 soalnya hape lama udah lelet banget buka2 dokumen yang gede2. Demi tender, gue akhirnya ngangkut Redmi 4X yang harganya 1,5 juta (Bayar 12x di Bukalapak hehe). Eh, hape baru itu ternyata ngebantu juga utk proses pitching tender, dan jebollah 50 juta.
Apakah bisa disimpulin kalo mau dapet 50 juta, harus ngeluarin 1,5 juta dulu :))
SukaSuka
Hahahahaha. Itu seperti kata pepatah, kalau mau dapat uang, harus keluar uang dulu. Btw, selamat ya sudah dapetin proyeknya.
SukaSuka
enakan diluar yah, hp bundling dengan kontrak provider.. Hp drop tuker lagi yang baru. hmmmmmmm
SukaSuka
Ada enaknya dan ada nggak enaknya. Harganya memang murah, tapi terikat kontrak.
SukaSuka
aku cuma bisa senyam senyum aja baca tulisan ini.
#piscesbanget #eeaa
SukaSuka
Emang Pisces suka senyum-senyum sendiri? Kalo zodiac lain, senyum rame-rame? :))
SukaSuka
Hahaha… Ini Cina banget! Tapi bener… Gw kemarin sempat hitung ini juga…
Xiaomi Redmi Note 4 seharga 2.25 juta dibandingkan dengan…. Samsung S edge sekian berharga kurang lebih 7 juta sekian.
Dari pengalaman mengunakan handphone, saya bisa menggunakan Samsung Note 2 sampai 3 tahun. Jadi untuk nilai yang sama saya boleh menggantikan Xiaomi setiap tahun, kalau sudah 1.5 tahun saya sudah untung. Kalau bisa 2 tahun, artinya saya sudah menurunkan nilai pengeluaran saya…
Tidak ada yang benar memang, tapi buat orang yang semua dihitung… Ini penghematan yang tidak terlihat
SukaDisukai oleh 1 orang
Hahahaha. Emang mental itung-itungan ini kayaknya ciri khas banyak orang dari berbagai ragam deh.
Dan setuju dengan poin penghematan yang tak terlihat. Semakin menghemat saat kita tidak memperhitungkan inflasi, sehingga nilai pengeluaran justru terdevaluasi karena angkanya tidak berubah setiap tahunnya.
SukaSuka
You really try to speak not in racist term… Come on just emphasised it *😈
SukaSuka
Hahahaha. You know I’m always trying hard to be politically correct. 😂
SukaSuka
Oh yeah now you are orang partai
SukaSuka
Partai Animal
SukaSuka
Owh now you are woofing or meowing?
SukaSuka
More like mellowing.
SukaSuka