“Angpaumu dapat berapa?”

TULISAN Linimasa kali ini awalnya direncanakan buat minggu lalu, pas beberapa hari setelah tahun baru Imlek. Tapi males. Soalnya ada pemilu yang prosesnya masih berlangsung sampai sekarang. Menjadi sebuah kebetulan juga hampir se-Indonesia pada sibuk berhitung dan berhitung ulang, tak ubahnya seperti bocah-bocah Cina Indonesia yang sibuk berhitung dan membanding-bandingkan jumlah uang angpau yang mereka kumpulkan.

Tahun baru Imlek, artinya tiba saatnya untuk mengeluarkan uang lebih. Baik yang digunakan untuk membeli segala perlengkapan hari raya, melakuan renovasi atau perbaikan rumah, membeli bahan-bahan kue, aneka minuman ringan, baju baru sampai mempersiapkan uang untuk diisikan dalam angpau.

Pengeluaran ekstra yang relatif cukup besar ini terasa bagi para orangtua maupun pasangan suami istri. Karena walaupun mereka masih tinggal di rumah orang tua atau mertua yang artinya tidak perlu mempersiapkan anggaran khusus untuk keperluan rumah tangga, mereka tetap semestinya memberikan angpau kepada semua orang yang statusnya belum menikah.

Di lain sisi, pengeluaran ekstra yang membuat para pasangan pusut-pusut kepala ini menjadi incaran anak-anak. Mereka akan mendapatkan uang santai, tanpa harus bekerja atau melakukan sesuatu, apalagi uang tersebut mereka peroleh sambil disuguhi makanan dan minuman manis. Cukup memberikan ucapan selamat Imlek, tunggu beberapa menit kemudian pasti akan disusul dengan amplop merah yang ketebak isinya: Uang.

Para bocah tersebut rela bercapek-capek keliling kompleks atau bahkan kota untuk mendatangi sebanyak mungkin rumah yang bisa mereka kunjungi. Makin banyak rumah yang disinggahi, makin banyak pula angpau yang mereka dapatkan.

Saat ngider Imlek hari itu berakhir, anak-anak tersebut akan bertanya kepada sesamanya: “Angpaumu dapet berapa?”. Entah disampaikan untuk membanding-bandingkan “perolehan” atau sekadar ingin tahu.

Itu kalau anak-anak. Berbeda dengan mereka yang sudah remaja atau menuju dewasa. Technically mereka masih boleh mendapatkannya meskipun seringkali terlontar celetukan “Sudah besar, nih, malu dong kalau cari-cari angpau lagi,” sehingga keuletan dan rasa giat yang mereka miliki saat Imlek tidak akan seantusias anak-anak yang lebih kecil. Sehingga kegiatan keliling pada saat Imlek lebih bertujuan untuk nongkrong, bergaul sebagaimana biasanya, syukur-syukur bisa kenal orang baru yang memberikan nuansa segar (IYKWIM).

Namun, tetap saja akan ada perasaan senang ketika mendapatkan angpau. Terlebih jika nominal uang yang didapatkan Rp50 ribu ke atas. Ketika jumlah uang angpau yang dikumpulkan lumayan besar, ada celetukan lain: “Ini, nih enaknya jadi orang bujang.”

Melihat hal ini, persoalan angpau saat Imlek bukanlah sesederhana memberi uang kepada orang lain. Sang pemberi perlu memiliki kesiapan mental dan finansial, bagaimana saat mereka memberikannya dan kesan yang dimunculkan, lalu ke mana hubungan sosial yang terjalin akan berujung. Begitu juga oleh penerima. Apa motivasi mereka? Apakah semata-mata karena angpau atau bukan? Jika hanya ada uang dalam benak mereka, tahun baru Imlek malah menjadi ajang untuk mempertamak diri sedari dini. Padahal angpau hanyalah syarat budaya belaka. Entah diisi uang Rp1.000, Rp5 ribu, Rp50 ribu maupun jutaan rupiah sekalipun, bungkus angpaunya juga sama-sama merah, sama-sama bertuliskan doa-doa baik di tahun baru.

Lebih baik memberi sedikit daripada memaksakan nominal yang besar, dan lebih baik menerima angpau yang isinya sedikit daripada banyak tetapi malah memunculkan mispersepsi. Kita tentu enggak berharap anak dan keponakan kita memiliki perspektif cinta uang yang didapatkan dengan cara gampang. Takutnya akan terus terbawa sampai tua, ketika angpau Imlek berubah menjadi transferan bank bernominal ratusan juta, bahkan sampai miliaran rupiah yang seringkali dibungkus dengan nama “ucapan terima kasih” padahal aslinya adalah bentuk korupsi dan uang suap.

Oh, ya. Btw, kamu apa kabar? 😁

[]

Tinggalkan komentar

About Me

I’m Jane, the creator and author behind this blog. I’m a minimalist and simple living enthusiast who has dedicated her life to living with less and finding joy in the simple things.