Lagi-lagi soal migrasi.
Performa daily driver smartphone atau ponsel utama yang dipakai untuk kebutuhan sehari-hari saya, semakin menurun. Usianya memang cukup tua untuk ukuran ponsel jaman sekarang, yaitu sudah lebih dari 3 tahun. Sebelum panik karena ponsel wafat total, beberapa hari terakhir saya luangkan waktu untuk memindahkan berbagai jenis files ke akun penyimpanan data. Termasuk data berupa catatan-catatan seputar buku apa yang sudah selesai dibaca, film dan serial televisi apa yang saya pernah tonton, berikut nonton di mana, tanggal berapa dan sama siapa.
Buat yang sudah mengikuti tulisan-tulisan kami di Linimasa sejak 2014 (ssst, sebentar lagi situs ini ulang tahun!), pasti sudah tidak asing lagi dengan kebiasaan saya di atas. Buat yang belum, saya memang punya kebiasaan untuk merekam jejak dengan menuliskan film apa yang sudah saya tonton, tanggal berapa menontonnya, di mana, dan sama siapa, kalau memang menontonnya tidak sendirian. Maklum, saya takut pikun. Kebiasaan ini sudah saya lakukan dari masa SMA, lalu terhenti beberapa tahun, dan kembali rutin selama beberapa tahun terakhir sejak pakai smartphone.
Kalau untuk kepentingan kurasi, pasti ada ulasan singkat dari saya di setiap judul film di catatan tersebut. Kalau menontonnya untuk urusan personal, cukup data-data singkat yang penting. Hanya saja, kalau filmnya sangat berkesan buat saya, maka judul filmnya saya tulis dengan huruf tebal. Kalau filmnya benar-benar membuat saya terkesima, maka judul filmnya saya beri garis bawah setelah menulisnya dengan huruf tebal.
Sialnya, format penulisan ini tidak termigrasi dengan baik saat backup. Agar cepat menulis, saya menggunakan aplikasi Notes di iPhone. Saat saya pindah ke sistem Android, yang paling mudah saya transfer ke Google Keep, yang tidak mengenal format penulisan apapun, karena aplikasi ini benar-benar berfungsi seperti sticky note biasa. Kalau mau diberi format khusus, harus dipindah ke Google Docs. Karena dari Notes di iPhone tidak bisa langsung pindah ke Google Docs, jadinya dari Notes di iPhone dipindah ke Google Keep, lalu dikopi ke Google Docs. Agak manual juga ya jadinya.
Dan saat mengutak-atik file di Google Docs untuk memberi highlight film-film atau buku yang berkesan dari data-data beberapa tahun silam, bolak-balik saya mengernyitkan kening. Judul-judul film dan buku yang dulu saya sukai, yang dulu membuat saya terkesan, setelah dipikir-pikir lagi sekarang, saya jadi heran sendiri. Kok dulu bisa suka ya? Padahal saat berusaha mengingat-ingat lagi, tidak ada hal yang bisa mengingatkan saya tentang perasaan senang saat itu.
Alhasil, ada beberapa judul yang tetap saya beri huruf tebal lagi, meskipun dengan setengah hati, dan ada juga judul-judul yang saya biarkan begitu saja. Ternyata perasaan senang itu tidak pernah abadi, ya?
Saya jadi ingat beberapa tahun lalu, cukup banyak kritikus film yang mencela Superman Returns (2006) saat Man of Steel (2013) baru diluncurkan. Padahal saat Returns baru dirilis, banyak yang memuji film tersebut. Sampai tulisan ini dibuat, rating di Rotten Tomatoes pun masih “fresh” sebesar 75%.
So what made the change? Time? Us?
The answer is: both.
Because life happens.
Meskipun kita dalam keadaan statis, kehidupan terus bergerak dan berputar, yang mau tidak mau mengubah cara kita memandang hidup dan hal-hal seputar kehidupan.
Atau paling gampangnya, mau kita diam pun, waktu terus berjalan, umur kita terus bertambah. Kapasitas dan kualitas pemikiran dan otak kita berubah. Prioritas hidup berubah. Informasi yang kita serap terus bertambah secara kuantitas dan semakin bervariasi secara kualitas, mengubah cara pandang kita, cara pikir kita. Sehingga kita pun memandang masa lalu dan segala sesuatu yang kita lakukan di masa lalu dengan cara pandang yang berbeda.
Apa yang dulu penting, sekarang bisa jadi tidak terlalu penting lagi.
Pernah tak bisa tidur karena terus memikirkan seseorang sambil menunggu pesan singkat dari dia, lalu setelah enam bulan atau malah kurang dari itu, he or she no longer matters.
Pernah mengidam-idamkan smartphone dengan segala fitur yang (sempat) dibilang canggih, nyatanya dalam tiga bulan ada merek lain yang melibas segala fitur itu.
Selalu ada hal baru lain yang membuat kita memikirkan ulang apa yang sempat berarti. Dan akhirnya yang bisa bertahan adalah yang memang teruji, yang bisa bertahan di atas perjalanan waktu. Bisa jadi karena kita memupuk perasaan suka, atau memang kualitas yang kita sukai memang tak gampang tergerus masa.
Kita masih suka orang yang sama, meskipun dalam intensitas yang berbeda.
Kita masih menggunakan smartphone yang sama yang pernah kita idamkan, karena akhirnya kita bisa merasa cukup dengan apa yang kita sudah punya. Bukan baru merasa cukup kalau kita sudah punya.
Kita masih menikmati film yang memang kita suka, karena once in a while, a good work of art can last a lifetime.
Kita sendiri yang akhirnya memilih dan mempertahankan apa yang berarti buat kita.
That’s life.
Kehidupan terus bergerak dan berputar. Yang dulu rajin nulis, sekarang mulai menghilang 😁
Salamin buat kak Glen ya
SukaSuka
Ahahahaha … Nanti disampaikan kalo pas ketemu ya.
SukaSuka
Mau muntah gw baca ini. Dari judul aja perutnya udah dikocok-kocok 😩😩
SukaSuka
Mungkin kopi tadi pagi kurang enak.
SukaSuka
Kopinya suam-suam kuku
SukaSuka
No wonder.
SukaSuka
Wonder why. Skepticism keeps the brain working
SukaSuka
Skepticism can be exhausting.
SukaSuka
But thinking…
SukaSuka
Too long thinking leads to lack of energizing.
SukaSuka
You mean actions (in sex)?
SukaSuka
Not necessarily carnal activities.
SukaSuka
If you happen to believe in Freud, the carnal instinct creates the current us
SukaSuka
Can Freud be fraud?
SukaSuka
He, udah mau ulangtahun lagi? Berarti udah tahun ke-empat saya masih nongkrongin kalian.
Kadang yang dulu pernah berarti bisa jadi masih punya arti meskipun sudah empat tahun. Tetap menulis, ya. Kalian masih punya arti di bookmark Google Chrome-ku.
Cailah. 💓💓
SukaSuka
Terima kasih selalu nongkrongin kami, kak 🙂
SukaSuka
Always here. 😊😊😊
SukaSuka