Dulu di tahun 90an awal saya adalah penggemar metal. Jika membeli kaset ke Aquarius Dago, maka harus dipastikan apakah kaset itu memiliki stiker “Parental Advisory”, atau memiliki bulatan merah di sisi kaset. Biasanya rilisan dari Roadrunners Record atau Earache Records. Itu patokan saya membeli kaset. Karena waktu itu referensi musik sangat terbatas. Membeli kaset seperti berjudi karena yang kita beli itu kadang kita tidak pernah mendengar nama band tersebut. Jika ternyata ternyata setelah didengarkan kita suka itu adalah sebuah bonus. Tapi jika tidak, biasanya kita barter dengan teman yang suka dengan kaset yang kita beli.
Tapi beruntungnya saya dibesarkan ketika semua genre musik bisa besar dan berjalan beriringan. Saya bisa melihat Michael Jackson dan Nirvana di tangga Top 40 Billboard saling bersanding. Atau Whitney Houston dengan R.E.M., atau mungkin Mariah Carey dan Beastie Boys. Pada waktu itu ketika seorang remaja pria mendengarkan musik yang menye-menye semacam R&B adalah sebuah “aib”. Kurang keren. Pokoknya rock atau metal sisanya sampah. Begitu kurang lebih kasarnya.
Ini mau tidak mau membuat saya mendengarkan banyak jenis musik. Sekarang saya tidak malu untuk menyukai dan mendengarkan bayak musik dengan berbagai genre. Karena saya berfikir, jika saya hanya mengagungkan satu jenis musik saja. Maka saya adalah seorang fasis. Fasis-genre saya menyebutnya. Ini tidak sehat. Referensi musik jadi terbatas. Seperti katak dalam tempurung. Karena saya hanya melihat dari satu sisi dan menafikan sisi yang lain walaupun itu bagus. Kalo musik bagus ya dengarkan apa pun jenisnya. Lebih beragam lebih bagus. Tidak ada ruginya. Referensi kita jadi kaya. Ini pun saya lakukan di berbagai bidang. Saya tidak mau menjadi seorang fanatik karena saya tidak melihat ada sisi positifnya. Ini bisa berlaku di mana saja. Bisa berlaku di dunia film. Bisa juga diterapkan di ideologi. Di sepakbola. Di mana saja. Fanatisme hanya membuat saya menjadi bebal dan pikiran saya terbuka sedikit.
Di era pilkada sebelumnya jujur saya memilih Ridwan Kamil sebagai Walikota Bandung dan Jokowi sebagai Presiden Indonesia. Saya juga dulu suka Ahok tapi saya tidak punya hak pilih di sana. Di periode ini saya memilih untuk golput. Kenapa begitu? Dengan tidak memilih justru saya memiliki kebebasan. Khususnya di media sosial. Saya juga terhindar dari cercaan dan makian yang menghabiskan energi. Saya bisa lebih jernih melihat persoalan. Saya tidak bias melihat suatu permasalahan. Jika jelek ya kritik. Jika bagus ya puji. Enak kan?
“you’re either with us or against us”
Kita tahu sekarang politik di Indonesia sudah terpolarisasi. Cuma dua pilihan pro atau anti. Media sosial memperburuk keadaan. Banyak badut berkeliaran mencari popularitas. Banyak pengamat politik umbar kebodohan demi mendukung salah satu calon hanya demi sesuap nasi. Ini sesungguhnya hal yang sangat menyedihkan apalagi jika mereka ternyata “berpendidikan tinggi”. Ketika situasi sudah menjadi “you’re either with us or against us” saya tahu saya harus segera ke luar arena. Melihat dari tribun lebih nyaman daripada harus jadi bidak dan berkelahi entah untuk apa. Saya tidak mau terjebak di hiruk pikuk (apalagi masalah) politik. Saya hanya menganggapnya sebagai hiburan. Lucu-lucuan. Menghadapi masalah berat tidak harus menanggapinya dengan kening berkenyit. Selipi dengan sedikit humor.
Everything in moderation, including moderation.
Kita bisa saja pasif mendukung salah satu calon. Tapi bisakah kita netral dan tidak bias dalam menyikapi suatu isu yang menyudutkan salah satu calon? Di era internet ini sulit dilakukan. Di media sosial kadang kita tanpa sadar bisa terbawa arus. Karena kita mempunyai insting untuk bertahan hidup. Kita mempunyai kecenderungan untuk membela apa yang kita yakini. Fanatisme buta hanya membuat kita berbuat liar dan tak terkendali. Seperti pendukung sepakbola Inggris jika bertanding ke luar negeri. Kita mendukung salah satu ideologi atau calon tapi yang terjadi malah kita justru menjadi benalu. Saya ambil contoh, teori saya, pendukung garis keras Ahok adalah salah satu penyebab Ahok tidak terpilih menjadi gubernur. Dengan mendukung membabibuta dan mengeluarkan kata-kata kasar ke pendukung Anies justru menjadi bumerang yang melemahkan Ahok. Hanya ajang gagah-gagahan. Menang jadi arang, kalah jadi abu.
Jadilah pendukung yang biasa-biasa saja. Buang energi untuk hal yang lebih bermanfaat. Dukung secukupnya. Jangan anti kritik juga. Woles aja. Kecuali jika jagoanmu menjanjikan jabatan atau proyek ya silakan bela habis-habisan. Karena masalah perut itu tidak bisa dibohongi.
2 respons untuk ‘Jadilah Pendukung Yang Biasa-Biasa Saja’