DATANG agak telat dari biasanya, saya masuk kantor Kamis lalu dengan segaris plester luka di lengan sebelah kanan.
“Kenapa kamu, Gon? Habis donor darah?”
“Bukan. Dari klinik tadi, MCU.”
“Hah? Kamu sakit? Sakit apa? Kok sampai harus periksa darah segala.”
“Enggak lagi sakit kok. Ya checkup biasa. Sudah lama. Mumpung lagi murah. Kamu mau?”
“Enggak, ah. Takut.”
“Takut darah? Jarum?”
“Takut kalau ternyata ada kenapa-kenapa.”
Tidak hanya satu atau dua kenalan yang berkomentar begitu. Sejak pertama kali menjalani prosedur general checkup di Samarinda sekitar lima tahun lalu, selalu ada saja teman yang justru menghindarinya dengan alasan takut. Padahal biaya bukan jadi satu masalah. Karena saat itu bisa menggunakan asuransi kantor yang layanannya mencakup pemeriksaan kesehatan, alias gratis.
…
Sangat manusiawi untuk merasa takut terhadap apa saja. Apalagi untuk hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan kita di masa depan. Lantaran semuanya masih merupakan misteri, dan baru terbukti saat terjadi. Nanti.
Namun, akan lebih baik bila kita tetap bisa menyikapinya secara logis, serta mempersiapkan diri semaksimal mungkin jika suatu saat terpaksa harus berhadapan dengan ketakutan tersebut. Setidaknya, dampak dan kejutan yang dirasakan tidak seheboh yang dikhawatirkan.
Oleh sebab itu, menolak melakukan general checkup lantaran takut nantinya ketahuan mengidap penyakit, atau berpotensi mengalami gangguan kesehatan tertentu, sama saja dengan menghindari kenyataan. Selain itu juga mengurangi kesempatan atau peluang penanganan yang dapat dilakukan. Membuang atau memperpendek waktu yang semestinya bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin.
“Cuma, kan … gara-gara takut, nanti malah bisa muncul macam-macam. Rasanya masih sehat kok.”
“Tidak ada keluhan kesehatan sama sekali?”
“Iya.”
“Yakin?”
Ketika pertanyaan seperti di atas bisa memunculkan keraguan atas kondisi kesehatan Anda secara global, berarti poinnya ada dua: mindset Anda yang terbatas dan hanya bisa mengira-ngira, serta tak bisa dimungkiri bahwa pemeriksaan kesehatanlah cara untuk menghilangkan keraguan tersebut.

Begini ilustrasinya. Bukan tanpa alasan mengapa saya memutuskan untuk memberanikan diri, mengalokasikan waktu (datang ke rumah sakit, membuat janji, berpuasa, dan datang lagi keesokan harinya untuk konsultasi hasil pemeriksaan) sekitar lima tahun lalu. Pekerjaan sebagai seorang jurnalis harian membuat saya relatif nokturnal. Terbiasa pulang dan memulai tidur di atas pukul 2 pagi, dan baru memulai aktivitas (baca: bangun) menjelang tengah hari keesokannya. Seringkali melewatkan sarapan, doyan nasi, suka banget minum es teh manis. Entah mengapa, saya relatif gampang mengantuk di siang atau sore hari, dan sangat mudah tidur-tidur ayam dalam situasi yang sangat tidak kondusif sekalipun. Saat mengendarai sepeda motor, misalnya. 😅
Dari gejala-gejala tersebut, banyak orang berceletuk: “Coba kamu periksa gula darah. Hati-hati diabetes, lho.”
Sedikit terdengar menyumpahi, dan langsung memunculkan gambaran menakutkan: “Gimana ya kalau ternyata kencing manis? Ngeri, kan? Lukanya basah terus, bisa diamputasi … dan sebagainya, dan sebagainya.”
Sedilematis apa pun pertimbangan yang muncul dalam pikiran, saya tidak bisa membantah fakta bahwa gampang sekali mengantuk, dan katanya ialah salah satu pertanda penyakit kencing manis. Sekuat apa pun saya menolak, saya tetap tidak punya jawaban pastinya. Pemeriksaan gula darahlah cara terbaik menjawab dugaan tersebut.
Setelah kantor memilih vendor asuransi korporat dengan layanan mencakup pemeriksaan kesehatan lengkap, langsung saya manfaatkan.
Hasilnya … gula darah normal, malah cenderung rendah. Lega, sudah pasti. Ditambah bonus beberapa poin lain, yang barangkali perlu diperhatikan di masa depan. Salah satunya adalah kolesterol. Baik kolesterol baik maupun kolesterol jahat (HDL dan LDL) ternyata sama-sama di bawah normal (pantesan kok agak oon-oon… 😂)
Dari hasil pemeriksaan tersebut, saya masih berkesempatan untuk menyesap es teh manis, dan menyantap nasi dengan porsi normal. Sedangkan serangan kantuk yang seolah intensif, benar-benar disebabkan waktu tidur yang tidak teratur serta kelelahan. Dalam hal ini, satu dua keraguan berhasil dihilangkan, sehingga bisa fokus untuk menangani masalah lain.
Ada lagi contoh kedua. Yang ini jauh lebih deg-degan, dan nyaris bikin frustasi. Berkaitan dengan kondisi darah, dan membuat saya tidak bisa/tidak boleh lagi mendonorkan darah ke PMI. Entah apakah status itu sudah berubah per saat ini, atau masih tetap sama.
Singkat cerita, dari pendonoran terakhir yang saya lakukan kala itu, pemeriksaan PMI mengindikasikan bahwa darah saya berstatus undetermined. Kemungkinan paling buruknya, saya terinfeksi HIV/AIDS!
Kurang mengerikan apa, coba? Mendengar informasi tersebut dan berusaha mencernanya sebaik mungkin. Pasalnya, saya belum pernah melakukan hubungan seksual, apalagi sembarangan; tidak menggunakan narkotika suntik; tidak (belum) bertato, apalagi secara sembarangan. Pokoknya jauh dari faktor-faktor risiko.
Saya yang lumayan panik kala itu, bisa saja hanyut dalam kebingungan dan memilih untuk mendiamkan informasi ini. Menyimpannya rapat-rapat, dan melanjutkan hidup di bawah bayang-bayang awan hitam. Aneka skenario dan adegan-adegan kehidupan pun bermunculan. Semuanya berupa imajinasi negatif.
Kemudian saya berusaha sadar, memastikan semua langkah yang bisa dilakukan, dan memeriksakan diri dalam VCT. Hari itu juga! Walaupun harus melewati prosedur birokratis seperti bertemu dan meminta rujukan dokter kepala PMI setempat, dan seterusnya, dan seterusnya.
Hasilnya, negatif atau non-reaktif.
Untuk cerita lengkapnya (dan melihat lembaran hasil pemeriksaan yang tidak boleh dibawa pulang oleh pasien) silakan dibaca di “Tak Bisa Donor Darah Lagi”.
…
Andaikan saja, amit-amitnya ya, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa tubuh kita bermasalah, maka kita tetap bisa merdeka mengambil sikap. Ingin benar-benar fokus dan bertekun hati dalam penanganannya, atau bisa saja kita menjadi lebih menghargai hidup. Menghayati hari demi hari yang kita jalani.
Bukankah manusia memang cenderung menyia-nyiakan sesuatu, sampai akhirnya kehilangan dan menyesalinya?
Semoga kita selalu sehat, dan mampu mempertahankannya.
[]
Klo program hamil yg bayi tabung (IVF) malah wajib test HIV/AIDS di awal. Lumayan deg2kan sih nunggu hasilnya krn kan gak cuma mikirin knp bisa kena tapi juga jadi gak bisa program klo positif. Anyhow, semoga tulisan Mas nya membantu byk org utk mulai rajin MCU! Thanks for sharing 🙂
SukaSuka
Oh, saya baru tahu. Kalau pemeriksaan untuk program itu, hasilnya boleh diberikan ke pasien? Kalau yg VCT, kan, enggak boleh, ya.
Terima kasih sudah sudah membaca dan berbagi cerita.
SukaSuka
Setau saya boleh, saya di Penang kebetulan programnya. Dan ada teman juga yg di salah satu RS menteng juga bawa pulang hasil testnya. Waktu itu saya tanda tangan form kesediaan utk di test hiv/aids juga. Jadi mungkin karena itu hasilnya jadi hak “penuh” pasien juga. Kemungkinan yg lain kebijakan Rumah Sakit bisa jadi berbeda2 juga ya
SukaSuka
yang kayak gitu tuh bapakku. Kalau sakit, diajak ke dokter atau check up, takutnya minta ampun. Harus dipaksa-paksa. Maunya cuma minum jamu. Hamdalah, sekarang bapak sehat.
Semoga kita semua sehat dan bahagia.
SukaSuka
Amin. Semoga semuanya selalu sehat.
SukaSuka
aq tau aq DM, 11 tahun yg lalu, dan mensyukurinya sampe skrg, karena ku masih punya kesempatan dan kekuatan utk merubah gaya hidup sebelum badannya terlalu soak dan loyo utk bs ngapa2in lagi. lumayan, tahun pertama ku lgs bisa lepas suntikan insulin. sehat2 terus ya gon, nice to read.
SukaSuka
Oalah… Syukurlah yg penting sekarang sehat-sehat, ya, Mbak. Kalau gitu ntar saya ga orderin junk food deh. Hehehe.
SukaSuka
gpp gon, udahannya ntar body pump koq….hahahaha
SukaSuka