Mental Agar Tidak Ment(h)al

Judul di atas harap dibaca dengan pelafalan yang berbeda.
Kata pertama, dibaca “méntal” yang berarti lawan kata fisik, lalu yang kedua dibaca “mên-thal” yang dalam bahasa Jawa artinya kalau jatuh. Kalau penggunaan simbol huruf “e” terbalik atau keliru, tolong diperbaiki ya. Dan kalau masih bingung, harap pegangan dulu sebelum cari tahu.

Soalnya masalah mental ini lumayan menarik perhatian saya dalam seminggu terakhir ini. Apalagi yang terkait dengan mentalitas. Dan perhatian ini mencuat dalam situasi yang sedikit di luar dugaan.

Sebagai penggemar tenis musiman, dengan kemampuan bermain yang tidak berkembang dari jaman SMP, saya menyempatkan diri menonton turnamen French Open dan Wimbledon setiap tahun di televisi. Apalagi Wimbledon. Seperti yang ada magis dari turnamen ini yang membuat kita tidak bisa berpaling. Entah itu lapangan rumputnya. Entah itu kostum berwarna putih yang sudah jadi kewajiban dipakai pemainnya. Entah itu tradisi yang menang dan yang kalah harus berjalan bersama keluar lapangan setelah pertandingan usai. Semuanya membuat setiap babak pertandingan Wimbledon selalu menarik untuk ditonton.

Namun, lagi-lagi karena bukan penggemar fanatik, acap kali saya melewatkan beberapa pertandingan. Biasanya karena belum sampai di rumah. Sering kali bisa menonton dari awal dimulainya babak pertandingan, karena kebetulan sudah ada di rumah. Seperti hari Senin malam lalu.

Saya baru pulang dari menonton film India terbaru di bioskop. Sampai rumah sudah hampir jam 12 malam. Seperti biasa, saya ganti baju dan celana pendek, minum air putih, gosok gigi, cuci muka, bersiap untuk tidur. Toh di saat yang bersamaan, tangan sebelah memencet tombol remote control untuk menyalakan televisi. Ada pertandingan babak 16 besar antara Rafael Nadal, yang baru saja menjuarai French Open bulan lalu, dan seorang petenis yang saya baru dengar namanya: Gilles Muller. Saat itu pertandingan sudah memasuki babak ketiga, dan Nadal kalah di dua set pertama. Saya langsung membatin, “Wah, apa-apaan ini?”

Alih-alih ke kamar, saya malah duduk di sofa di depan televisi. Kadang sambil tiduran. Mata saya tidak berhenti menatap layar televisi. Pertandingan berlangsung seru. Babak ketiga dimenangkan Nadal. Lanjut ke babak berikutnya. Babak keempat dimenangkan Nadal lagi. Mau tidak mau harus ada set ke-5 sebagai penentuan. Dan set ke-5, yang berjalan lebih dari 90 menit, akhirnya dimenangkan Gilles Muller, pemain dengan ranking 26, mengalahkan Nadal yang ranking 2. Total waktu keseluruhan game? Hampir 5 jam, alias 4 jam 48 menit!

Berarti selama 5 jam, mereka berdua berdiri, berlari, memukul dan mengejar bola di atas lapangan rumput dalam cuaca di puncak musim panas di London.
Mata saya nyaris tidak berkedip. Yang saya perhatikan terutama adalah Giles Muller.
Hampir tidak ada luapan ekspresi yang terlihat di raut wajahnya. Mukanya serius. Sesekali mengepalkan tangan dalam genggaman kecil saat pukulannya masuk. Ketika dia memenangkan pertandingan pun, hanya terlihat dia menghela nafas panjang, penuh kelegaan, sambil tersenyum lebar.

Lawan mainnya, Nadal, secara konsisten meluapkan emosinya sepanjang permainan. Nadal memang ekspresif. Mungkin itu juga yang membuat dia selama belasan tahun terakhir sebagai salah satu pemain tenis terbaik, sekaligus yang paling menarik dilihat aksinya di lapangan apapun. Nadal tidak segan-segan mengajak penonton menyuarakan semangat dan bertepuk tangan, terlebih saat dia melakukan aksinya.

Keduanya adalah pemain dengan gaya bermain yang berbeda, keduanya adalah manusia dengan kepribadian yang berbeda. Yang menyatukan mereka adalah mentalitas juara yang tinggi. Rafael Nadal mungkin tidak jadi pemenang. Gilles Muller pun tersungkur di babak berikutnya oleh Martin Cilic, mungkin karena kelelahan melawan Nadal. Namun pertandingan terpanjang (sejauh ini) di Wimbledon 2017 antara Muller dan Nadal menunjukkan bahwa akhirnya, mentalitas untuk bertarung dan bertahan dalam pertarunganlah yang membuat mereka tidak “menthal” dalam ingatan kita.

Meskipun dalam keadaan ngantuk kurang tidur setelah menonton pertandingan di atas, keesokan harinya saya bergegas untuk berolahraga. Sekedar lari di atas treadmill sambil menonton film yang sudah diunduh dari Netflix. Kadang saya pilih sekedarnya saja. Pilihan saya kali ini adalah film dokumenter berjudul An American in Madras.

Dari film ini, saya baru tahu kalau di awal abad 20, tepatnya di tahun 1930-an, seorang warga Amerika bernama Ellis R. Dungan pernah menjadi pionir dalam pembuatan film secara profesional di India bagian Selatan, khususnya untuk pembuatan film berbahasa Tamil. Rencana berkunjung untuk membantu temannya menjalankan studio film selama 5 minggu, berubah menjadi 15 tahun.

Dungan tidak bisa berbahasa Tamil atau bahasa-bahasa daerah lain di India. Dia hanya bisa mengerti dialog di film yang dia sutradarai. Namun dengan bantuan asisten-asistennya selama produksi, dia tetap menghasilkan film-film klasik yang termasuk dalam jajaran film terbaik di India pada masa tersebut. Dia tidak dipandang sebelah mata karena dia terlihat berbeda. Dia sudah dianggap menjadi bagian penting dalam sejarah budaya dan perfilman India dalam 100 tahun terakhir.

Saya tidak bisa membayangkan betapa sulitnya seseorang seperti Dungan yang bisa menerobos masuk ke dalam sebuah bagian kultur budaya dari masyarakat yang terkenal inklusif dan propektif seperti India. Film ini memang tidak menerangkan perjuangan awal Dungan untuk mendapat kepercayaan dari orang-orang di Tamil Nadu. Tanpa keluarga dan teman dari tanah kelahirannya, kita hanya bisa membayangkan Dungan dan usahanya sendirian dalam membangun reputasinya dari awal. Toh dia tidak patah arang. Bahkan dalam keadaan perang pun, dia masih bisa berkarya.

An American in Madras (source: nytimes.com)

Lagi-lagi masalah mentalitas. Sepanjang film saya hanya bisa berdecak kagum melihat apresiasi tulus dari para sejarawan dan ahli film terhadap legacy yang ditinggalkan Dungan. Yang ditinggalkan pun tidak merasa terintimidasi oleh fakta bahwa seorang pekerja film dari Amerika merombak sistem kerja perfilman di India Selatan sehingga menjadi apa yang mereka lakukan sekarang. Tentu saja, arsip-arsip berupa film, tulisan dan data-data yang masih mereka simpan rapi selama lebih dari 75 tahun membuktikan kecintaan mereka terhadap karya seni yang menjadi kebanggaan mereka.

Mentalitas untuk bertahan dalam pertarungan, mentalitas untuk bertahan hidup, mentalitas untuk terus melakukan apa yang kita cintai dalam hidup.

Tidak mudah memang untuk mempunyai mentalitas seperti ini. Ada saat-saat di mana kita sudah merasa memiliki sikap seperti ini, namun ada beberapa kejadian dalam hidup yang membuat kita tergelincir lagi.
But what counts is the time when we get up, not when we fall.

Dan untuk memiliki mentalitas juara, mau tidak mau kita pun harus memiliki mental yang sehat.

Saya jadi ingat sebuah dialog kecil dalam film Dear Zindagi yang saya tonton tahun lalu. Film ini dibintangi oleh Shah Rukh Khan sebagai psikiater yang mempunyai pasien seorang juru kamera yang dimainkan dengan cantik oleh Alia Bhatt.

Dialog kecil ini bukan diucapkan oleh Shah Rukh. Dialog ini terjadi di bagian awal film, saat Alia sedang istirahat dari syuting video klip yang dia kerjakan, lalu bertemu dengan rekan kerjanya yang sedang merokok. Mereka bercerita banyak hal, termasuk tentang kebutuhan untuk punya psikiater. Alia yang masih skeptis, bertanya kenapa temannya perlu terapi. Kurang lebih dialognya seperti ini:

“Do you go to therapy, so you can tell others you’re gay?”
(smile) “I go to therapy so I can tell myself I am gay.”

Because it takes a winning mental health to have a winner mentality.

Alia Bhatt in Dear Zindagi (source: thequint.com)

2 respons untuk ‘Mental Agar Tidak Ment(h)al

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s