Ku Tunggu Kau di Ranjang

“Mas cepat pulang, aku tunggu di ranjang yah” Pernah terima atau mengirim pesan instan seperti itu? Apa rasanya ketika membaca kalimat tersebut? Terpikir membeli pelumas di jalan pulang?

Lux bed

Tak ada tempat yang lebih membahagiakan selain kamar. Di ruangan tersebut lah justru banyak peristiwa bermulai. Denyut kehidupan yang terus berputar seakan menenggelamkan esensi dari akar kehidupan di sebilah ruang. Adalah ranjang yang kemudian menjadi alat atau barang utama penghuni kamar. Siapa yang tak kenal ranjang, ‘mahluk’ persegi yang menyimpan bertriliunan cerita.

Ngik nguk ngik nguk, begitu kiranya bunyi ranjang usang ketika digunakan. Kadang mengganggu, kandang juga menimbulkan sensasi tertentu untuk membangkitkan semangat. Di luar itu, secara definisi ranjang ialah suatu mebel atau tempat yang digunakan sebagai tempat tidur atau beristirahat. Benda ini juga bisa dijadikan status sosial bagi penggunanya bila dilihat dari sisi harga pembeliannya. Maka tak heran, perbedaan tingkatan pada hotel atau penginapan salah satunya dari jenis serta ukuran ranjang yang disediakan.

Ranjang juga menjadi indikator bagi para pencari cinta semalam untuk membelanjakan penghasilannya kepada hiburan erotis. Belanja besar bisa mendapatkan servis penjaja seks komersil ditambah treatment khusus, mainnya pun di ranjang king size. Belanja agak besar yah bisa jadi seperti sewa kamar hotel bintang tiga lah. Lalu yang anggaran ‘jajan’nya pas-pasan paling dapet di lokalisasi ilegal atau di balik semak belukar, tinggal modal lotion anti-nyamuk saja.

poor bed

Bicara perputaran uang, prostitusi memang sedikit banyaknya menjadi lahan yang menggiurkan. Havoscope, sebuah lembaga peneliti aktivitas pasar gelap merilis 12 negara yang paling banyak melakukan aktivitas tersebut. Indonesia termasuk di dalamnya (urutan 12), dengan pengeluaran kurang lebih Rp 30 triliun pertahun, wow! Angka yang cukup fantastis. Di urutan pertama diduduki oleh Tiongkok dengan pengeluaran sebesar Rp 982 triliun, disusul oleh Spanyol, Jepang, Jerman, AS, Korsel, India, Thailand, Filipina, Turki, Swiss, dan Indonesia. Untuk detail spending di tiap-tiap negara tersebut, Anda bisa mencarinya melalui Google.

Menurut data pemerintah, ada sedikitnya 168 titik lokalisasi dengan komposisi para PSKnya berjumlah 56 ribu jiwa. Di luar dari lokalisasi, kemungkinan angkanya bisa mencapai 150 ribu jiwa. Dari angka tersebut, 30% nya melibatkan anak-anak di bawah umur. Tiap tahun angka tersebut bergerak naik, entah karena apa, yang pasti faktor UANG menjadi yang paling utama.

Ada seorang professor dari Universitas Birmingham yang menulis buku berjudul “Perbudakan Seks di Asia” yakni Lousie Brown. Menurutnya, ada tiga klasifikasi penjaja seks yang membentuk sebuah piramida, di antaranya;

  1. Kelompok wanita super cantik yang memilih profesi menjadi PSK dengan bayaran yang tentunya tinggi. Di sini tidak banyak yang menjadi pemain. Selain itu, kebanyakn dari pelanggannya pun kalangan berkelas.
  2. Kelompok PSK yang biasanya dikoordinir oleh mucikari. Mucikari lah yang juga berperan dalam memilih serta menentukan harga tiap PSK.
  3. Kelompok wanita yang sedang mengalami keterdesakan ekonomi cukup serius sehingga memilih jalan tersebut agar bisa keluar dengan segera. Di layer ini kemungkinan pelaku (PSK dan pelanggan) nya cukup banyak.

“Pelacuran itu buruk, dan harus dihentikan” Begitulah kebanyakan komentar orang lain, bahkan bila kita bertanya kepada para PSK terkait profesi mereka jawabannya pun sama. Meski semua setuju pelacuran itu buruk, tentunya semua orang punya solusi untuk menghentikannya. Nyatanya, di era media sosial ini justru prostitusi telah menemukan ‘rumah’ baru untuk menjadi lebih berkembang. Siapa yang salah? Apakah kita turut andil? Apakah kepekaan sosial kita telah tumpul?

Selayaknya industri, pelacuran menjadi cukup memiliki nilai ekonomi karena adanya perbandingan yang lurus antara permintaan dengan jasa servisnya. Di Indonesia sekarang cukup lumrah bila menyajikan sebuah pesta yang disertai wanita penghibur dalam melancarkan bisnis. Konsumerisme secara awam kita ketahui hanya berkutat pada produk. Namun, dengan fakta industri pelacuran hari ini, jelaslah bahwa konsumerisme juga terjadi pada pemenuhan hasrat biologis yang kebanyakan menempatkan perempuan sebagai ‘produk’ semata.

Jujur saja, penulis merasa jijik kepada diri sendiri karena secara tidak langsung masih memiliki pola pikir superioritas maskulin dibanding feminim. Tak jarang memosisikan biarkan perempuan lain itu jalang tapi tidak dengan pasangan kita sendiri yang harus baik!

[[]]

Penulis: @ayodiki

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s