Kunjungan Malaikat

Seandainya Angeline tidak meninggal dan tumbuh menjadi dewasa, dan kemudian membenci orang tua aslinya yang telah menyerahkannya pada orang tua angkat yang terus menyiksanya seumur hidup. Berhak kah Angeline? Perih luka fisik hilang seiring pertumbuhan sel baru. Luka batin dan kenangan buruk, selamanya melekat. Saat Angelin dewasa menyimpan dendam pada orang tua kandung dan angkatnya, berhak kah kita menghakiminya sebagai anak kurang ajar?

Di sekolah, Angeline akan diajarkan untuk menghormati orang tua. Tanpa syarat. Karena di kelas reproduksi dijelaskan bagaimana Ibunya telah mengandung selama 9 bulan dan mempertaruhkan nyawanya saat melahirkannya. Angeline diwajibkan untuk menulis puisi sebagai bentuk penghargaan kepada Ayah yang telah bekerja keras membanting tulang untuk biaya sekolah dan masa depannya. Siapa bisa membayangkan, apa yang akan ditulis Angeline?

Di rumah ibadah, Angeline diwajibkan untuk terus tunduk dan patuh pada orang tuanya. Karena Surga ada di telapak kaki Ibu. Melawan orang tua, apalagi dendam adalah dosa. Dan terkutuklah anak yang membenci kedua orang tuanya. Angeline ditugaskan untuk memberikan tanda bakti kepada orang tua yang sering pula disebut perwakilan Tuhan di dunia. Entah apa yang bermain di benak Angeline saat dia bersimpuh di depan kedua orang tua angkatnya?

Di pergaulan, saat Angeline berkeluh kesah tentang kedua orang tua asli dan angkatnya, kalimat sakti “biar bagaimana pun juga, mereka adalah orang tuamu” akan meluncur untuk membungkam. Angeline yang ingin sedikit saja meringankan beban batinnya, bisa jadi mati akal tak tahu harus ke siapa mengadu. Berkeluh kesah di blog dan media sosial pun bisa jadi dilock, karena Angeline khawatir dihujat oleh jutaan manusia dan bisa jadi bencana nasional dengan julukan “ANAK DURHAKA” saat masuk ke media.

Tulisan ini ditulis dengan asumsi bahwa pemberitaan di media 100% benar. Karena toh bukan itu pointnya. Lepas dari bagaimana cerita sebenarnya, pernahkah kita berpikir bahwa cinta kasih dan penghargaan anak ke orang tua, adalah kealamian yang harus ditumbuh kembangkan. Bukan otomatis  yang kalau menjadi kewajiban semata, akan menjadi kebohongan dan kemunafikan tersendiri. Sebaliknya, apa rasanya menjadi orang tua yang mendapatkan penghargaan dan cinta kasih anak yang palsu? Lebih baik daripada ketulusan? Banyak yang bilang, ketulusan sudah menjadi barang langka yang sebentar lagi masuk museum.

Hanya karena, seorang pria dan wanita bersetubuh, kemudian sperma muncrat dan salah satunya berhasil sampai ke telur, maka mereka lantas dinilai pantas berpredikat orang tua. Padahal menjadi orang tua adalah gelar prestisius yang diberikan oleh semesta saat kedua orang tak hanya menciptakan, tapi juga mengasuh, membimbing, dan membesarkan anaknya dengan penuh rasa cinta. Gelar sekolah saja baru diberikan setelah melalui beragam tes dan ujian.

Sejak dilahirkan, anak dirawat dan dibesarkan sampai orang tau menganggap anaknya pantas menjadi anak orang tuanya. Sebaliknya, setelah anak dewasa dan mulai memiliki pikiran dan perasaannya sendiri, akan menilai apakah semua yang telah dilakukan orang tuanya cukup pantas untuk dianggap sebagai orang tua yang baik.

Tragedi Angeline ini semanusianya patut untuk dijadikan refleksi diri. Apakah kita selama ini sudah dengan mudah menghakimi anak yang tidak mencintai orang tuanya, sebagai anak durhaka? Apakah orang tua selama ini sudah menganggap anak sebagai investasi yang harus balik modal saat anak telah dewasa? Kalau anak selalu dicekoki untuk berbakti dan mencintai kedua orang tuanya, sudahkah orang tua melakukan yang sepantasnya dilakukan? Kalau anak selalu dirasa kurang pantas untuk disebut anak, bagaimana dengan orang tua?

Dalam sebuah komentar, seseorang dengan penuh emosi berkata “enggak kira ya, orang berpendidikan bisa sesadis itu!” Ini adalah masalah baru lagi. Saat orang yang dinilai berpendidikan, beragama dan beruang (bukan binatang – red.) maka segala tindakan dan ucapannya sering langsung dianggap kebenaran dan manusiawi. Lebih bermartabat dan pantas dihormati. Hanya karena seseorang keturunan bangsawan, konglomerat, pejabat, purnawirawan bahkan dukun dan orang tua, sering langsung posisinya ditempatkan di atas rakyat biasa. Dan ketika mereka melakukan kesalahan atau tindakan yang tidak pantas, bukan hanya kaget tapi kita kecewa. Padahal kita dikhianati oleh pencitraan yang kita telah bangun sendiri. Sapa suruh?

Siapa yang mengucapkan sering dianggap lebih penting daripada apa yang diucapkan. Makanya kita sering terbius oleh quote-quote, kata-kata berima dan pantun yang indah ketimbang berpikir kritis tentang isinya. Saking terbiusnya kita, sampai membawa seseorang yang pandai berkata-kata bisa menjadi menteri.

angel_wings_psd_by_mithos_2000

Dari cahaya engkau diciptakan. Sampai pagi setelah malam. Sampai terang setelah gelap. Sampai hidup setelah mati. Sampai bercahaya setelah kembali.

Selamat jalan, Malaikat. 

 

 

 

7 respons untuk ‘Kunjungan Malaikat

  1. Orang tua sering lupa nak, apa karena sebutan kami orang tua sehingga dimaklumi jika acapkali lupa atau pikun? Padahal dalam bahasa inggris sebutan kami adalah “parent”= induk (kata mbah google), parenting = pengasuhan, mengasuh. Seharusnya begitulah tugas utama kami ini, mengasuh ya mengasuh dengan asih…itu yang kami lupa, kami acap lupa tapi justru menuntut dan menjadikanmu sumber kebahagiaan dan kebanggaan kami, padahal seharusnya kami yang menjadi sumber kebahagiaanmu dan kebanggaanmu, mencintaimu seharusnya menjadi surga kami. Maafkan kami nak…kami sering lupa..

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s