“PAK, kenapa ya, habis lulus kuliah kok sayanya berasa makin bego sik? Bukan malah makin pintar,” tanya saya kepada Pak Dosen, beberapa waktu lalu.
“Ya justru memang harusnya begitu kali,” jawab Pak Dosen, membiarkan pikiran saya mengawang-awang, mencoba mencari batasan yang jelas dalam konteks tersebut.
Saat seseorang berani berharap, berarti seharusnya ia juga berani menghadapi apa pun yang bakal terjadi di masa depan. Hanya saja, lebih sering kita dapati orang-orang yang sangat berharap atas sesuatu, mengerahkan segalanya demi mencapai tujuan, dan terlampau bersemangat menjalaninya tanpa sempat belajar atau mempersiapkan diri mengantisipasi hasil akhir yang mereka temui. Syukur-syukur kalau berhasil mencapai apa yang diinginkan. Namun saat terjadi sebaliknya, kenyataan yang tak sesuai harapan itu malah membuat mereka terhenyak, terpukul, bahkan tenggelam dalam frustasi. Itu pun masih mending kalau dampaknya hanya ditimpakan kepada diri sendiri, namun akan sangat merepotkan jika ikut dicurahkan kepada orang lain. Salah satu contoh nyatanya seperti yang ditulis Ko Glenn, Minggu kemarin. Ketika banyak orang tua berharap anak-anaknya bisa jadi sesuai keinginan mereka, dan seterusnya.
Dalam hal ini, saya mungkin cuma bisa berteori dan terdengar seperti kaset rusak dengan isi rekaman yang sama, tapi kita cenderung lebih suka menyantap keberhasilan maupun kegagalan dalam kesan dramatis. Ya, logikanya, semua orang berharap mendapatkan hal-hal yang baik, maupun sebaliknya, menghindari hal-hal buruk. Hal-hal baik tadi bisa kita rangkum dalam bentuk keberhasilan atas apa pun, dengan kegagalan sebagai lawannya. Monster jahat yang harus diusir jauh-jauh.
Sebagai hal baik, keberhasilan begitu dirayakan sampai bisa bikin mabuk dan lupa daratan. Begitupun dengan kegagalan, yang bila kecantol rasanya kurang afdal kalau tanpa ratapan dan nestapa. Sama-sama menguras perhatian dan tenaga, membuat sesuatu yang sejatinya temporer seolah bisa terasa hingga durasi yang cukup lama. Entah ada apanya, namun banyak orang yang betah berlama-lama dalam apa pun yang tengah mereka rasakan. Susah move on, dan selalu terikat pada kenangan masa lalu.
Tak jarang, orang-orang tersebut adalah kita sendiri.
Keberhasilan dan kegagalan, bila dilihat dalam persepsi yang netral, hanyalah sebuah konsekuensi. Hasil akhir dari sebuah proses dengan segudang pembelajaran di dalamnya. Yang lebih berfaedah untuk dibawa-bawa ketimbang sekadar euforia. Dengan kegagalan, seseorang akan lebih cermat dan berhati-hati bertindak di masa depan. Tapi dengan keberhasilan, seseorang akan lebih mudah bernostalgia dan berupaya agar dapat mengulang pengalaman yang sama. Akan tetapi bila tak hati-hati, dikotomi antara keberhasilan dan kegagalan yang bakal berputar-putar di situ saja, menjadi semacam cincin Uroboros, atau seperti seekor anjing yang begitu bersemangat mengejar ekornya sendiri.
Dengan demikian, mungkin tidak ada salahnya untuk mulai meratapi keberhasilan dan merayakan kegagalan. Sebab keberhasilan berpotensi menjebak kita dalam kenyamanan (secara berulang-ulang), sementara kegagalan dapat mendorong kita agar belajar dan bisa menjadi lebih baik.
“Setelah lulus, justru akan terasa ada begitu banyak hal yang masih harus dipelajari. Makanya berasa bego. Kalau sudah merasa pinter, ya berarti ada yang keliru,” kata Pak Dosen kala itu.
[]
saya suka bagian ininya “meratapi keberhasilan dan merayakan kegagalan” plus ungkapan pak dosennya hehew
SukaSuka
Terima kasih 😊
SukaSuka
Reblogged this on olvayndha.
SukaSuka
pendidikan level perguruan tinggi memang seharusnya menelorkan pribadi yang justru makin haus dan merasa “tidak tahu”. pendidikan menjadi pilihan. belajar jadi suatu kebutuhan. karena belajar adalah hak. dan mengajarkan adalah kewajiban.
boleh?
SukaDisukai oleh 1 orang
Boleh banget, Mas. Karena memang seharusnya begitu. Belajar itu ndak terbatas ruang dan seragam, apalagi iuran SPP.
SukaSuka
Semakin banyak belajar, jadi semakin tahu bahwa banyak hal yang ternyata belum kita tahu..fiiiuuuhhh..
SukaSuka
Begitulah… 😊
SukaSuka