Berapa gaji seorang pemred sebuah majalah wanita bulanan, yang isinya penuh dengan fesyen dan gaya hidup premium, misalnya sebut saja majalah Dewi?
Lantas bagaimana saya menggaji seorang pemred tersebut untuk diminta setiap minggu menulis di kolom linimasa ini?
Nol rupiah.

Berapa Anda membayar google setiap bulannya atas layanan pencarian yang sedemikian ampuh membantu dalam tugas sehari-hari?
Nol rupiah.

Bagaimana saya harus membayar salah satu mantan miss universe untuk juga menulis kolom linimasa setiap minggunya?
Nol rupiah.
Atas semua tulisan linimasa yang sepenuhnya dari hati, berapa rupiah Anda harus membayar?
Nol rupiah.
Jadi apakah kualitas selalu terkait erat dengan harga? Ternyata belum tentu.
Mari kita cari contoh dari sudut pandang lain.
Pada Desember 2008, beberapa koran dan media sosial membahas mengenai kisah seorang pengamen yang membawakan enam buah lagu karya Bach di stasiun bawah tanah kota Washington DC pada Januari 2007 yang dingin.
Pada jam sibuk, stasiun Metro di DC begitu riuh. Pria tersebut, dengan mengenakan topi dan menaruh kantung biola sekaligus wadah untuk uang pemberian di depannya, mulai memainkan lagu sepanjang 45 menit.
Lagu-lagu yang indah.
Beberapa orang berhenti sejenak, namun lekas berbegas. Sebagian melihat arloji dan menyadari harus segera beranjak. Hanya segelintir orang yang sempat memerhatikan. Sebagian besar melewatkan penampilan pengamen ini. Mereka sibuk mengejar prioritas masing-masing.
Dari 45 menit penampilan, hanya beberapa anak kecil yang benar-benar berhenti dan menikmati alunan musik dari pengamen. Tentu saja, sebelum ditarik paksa orang tua mereka untuk segera beranjak.
Dari alunan musik si Pengamen selama 45 menit, dalam kotak biolanya terkumpul 32$.
Tak ada yang menyadari bahwa biola yang dipakai pengamen itu senilai 3,5 juta dollar. Tak ada yang menyadari bahwa pria itu bernama Joshua Bell, salah satu pemusik kelas dunia, yang beberapa hari sebelumnya telah tampil di gedung konservatori dengan rata-rata harga setiap tiketnya 100$ dan ludes terjual.
Penampilan Joshua ini adalah bagian dari eksperimen sosial yang dilakukan Washington Post tentang persepsi, selera dan prioritas manusia.
Temanya jelas: Dalam lingkungan sehari-hari pada jam yang tidak tepat: “Apakah kita melihat keindahan dan keluhuran? Apakah kita berhenti untuk menghargainya? Apakah kita mengenali bakat dalam konteks dan kesempatan yang tak terduga?”
Salah satu kesimpulan dari kisah diatas kira-kira menjadi begini:
Jika kita tidak memiliki waktu untuk berhenti dan mendengarkan salah satu musisi terbaik di dunia memainkan musik terbaik yang pernah ditulis, setiap hari berapa banyak hal-hal indah lain yang luput dari pengalaman kita?
salam anget,
Roy
bonus:
http://www.washingtonpost.com/posttv/c/embed/92068282-4334-11e4-8042-aaff1640082e
6 tanggapan untuk “Inilah Alasan Mengapa Kita Tidak Boleh Menyia-nyiakan Pisang Rebus Tergeletak di Atas Meja”
[…] dibangun secara sukarela. Tak ada sepeser uang pun yang kami miliki diberikan kepada para Penulis. Akan tetapi kami menyajikan tulisan yang panjang […]
SukaSuka
[…] Linimasa.com marks my first regular writing in Indonesian. One of my friends wondered whether I could keep it up. As you can see right here, most of my personal blog posts are written in my unbelievably broken English. I am writing faster in English, indeed, especially to convey personal opinions and thoughts. But Linimasa.com gave me the opportunity to learn the joy of writing to your nearby neighbours, friends, colleagues, and everyone within immediate “reach”. […]
SukaSuka
Pisang rebus yang tergeletak di atas meja memang indah, Roy.
SukaSuka
semoga, Sabtu Om Roy anget ya…
SukaSuka
terima kasih Ruth
SukaSuka
tak terhitung ..
SukaDisukai oleh 1 orang