Tahun 2020 mengubah cara kita menonton film. Cuma dari Januari sampai Maret saja kita bisa menikmati dan menonton film di layar lebar bersama orang-orang lain, merasakan the heightened sense of emotion lewat tata suara dan gambar yang, literally, larger than life.
Lalu kita terpaksa bermain dengan imajinasi sendiri, membayangkan suasana bioskop di tempat tinggal kita sendiri. Tentu saja suasana tersebut tidak akan tergantikan. Kita harus membagi pengalaman menonton kita dengan kegiatan lain di waktu yang bersamaan, karena kita tidak bisa pergi, sehingga semua kegiatan hidup harus kita lakukan di tempat kita sendiri.
It’s an ovewhelming experience, at first. Lalu pelan-pelan kita terbiasa. Kita membuka diri dengan kemungkinan-kemungkinan baru, termasuk memperkaya tontonan yang kita konsumsi.
Pemutaran film, baik festival, special screenings, atau regular commercial screenings pun harus pindah ke dalam bentuk virtual. Ini berarti semakin terbukanya akses menonton lebih banyak lagi ragam film yang mungkin sebelumnya agak susah dijangkau.
Kesempatan ini terlalu berharga untuk dilewatkan. Maka saya pun akhirnya menghabiskan waktu menonton lebih banyak film. Lebih dari 620 film panjang dan film pendek saya tonton tahun ini. Tentu saja sebagian besar memang menjadi tuntutan profesi. Tahun ini juga saya hadir di lebih banyak festival film internasional yang diadakan secara virtual, baik dengan akreditasi, maupun sebagai penonton biasa. Menyelenggarakan festival film secara virtual pun menjadi pengalaman yang tak terlupakan.
Tentu saja masih banyak film yang belum sempat saya tonton. One simply cannot watch all. Oleh karena itu, saya selalu senang menunggu dan membaca film apa saja yang teman-teman telah tonton dan suka tahun ini.
Berikut ini daftar film-film favorit saya tahun ini. Semoga bisa menjadi panduan untuk ditonton begitu mereka tersedia secara legal. Apabila film-film sudah tersedia di streaming platforms yang ada di sini, saya akan cantumkan tautannya.
20. The Woman Who Ran (Korea, dir. Hong Sangsoo, 2020)
19. They Call Me Babu (Netherlands, dir. Sandra Beerends, 2019)
18. Submission (Portugal, dir. Leonardo António, 2020)
17. Man Up! (France, dir. Benjamin Parent, 2019)
16. Mogul Mowgli (UK, dir. Bassam Tariq, 2020)

15. Sylvie’s Love (USA, dir. Eugene Ashe, 2020) – film ini bisa ditonton di Amazon Prime
14. Wolfwalkers (Ireland, dir. Tomm Moore, Ross Stewart, 2020) – film ini bisa ditonton di Apple TV+
13. Crip Camp (USA, dir. James Lebrecht, Nicole Newnham, 2020) – film ini bisa ditonton di Netflix
12. I Never Cry (Poland, dir. Piotr Domalewski, 2020)
11. Martin Eden (Italy, dir. Pietro Marcello, 2019)

Dan inilah sepuluh film favorit saya tahun 2020 ini:
10. Soul (USA, dir. Pete Docter, 2020) – film ini bisa ditonton di Disney+ Hotstar

Pixar semakin memperdalam diskursi soal kematian dan kehidupan dalam beberapa tahun terakhir di setiap film yang dirilisnya. It does not take a film expert to notice this, bahkan dalam tahun yang sama, Pixar merilis dua film seputar kematian dan harapan untuk bisa kembali hidup. Tetapi Soul mempunyai the X factor berupa balutan musik jazz yang membuat film ini penuh dengan optimisme, yang mau tidak mau membuat kita tersenyum, tanpa harus tercenung.
9. Small Axe (United Kingdom, dir. Steve McQueen, 2020)

Memang Small Axe adalah antologi lima film pendek, yang sebenarnya bisa masuk sebagai miniseri. Namun melihat setiap film yang ada, terutama tiga pertama, yaitu Mangrove, Lovers Rock dan Red, White and Blue, saya merasa antologi ini layak disebut sebagai salah satu pengalaman menonton yang paling mengesankan tahun ini. Tidak sekedar emosional, namun ada empati yang disampaikan dari kisah pergerakan masyarakat imigran di Inggris dari dekade 1960-an dan 1970-an. Steve McQueen menyampaikan kisah ini dari sudut pandang karakter-karakter yang tidak biasa, yang membuat kita semakin memahami cerita yang mungkin belum kita dengar sebelumnya.
8. Sound of Metal (USA, dir. Darius Marder, 2019) – film ini bisa ditonton di Amazon Prime

Inilah desain tata suara di film yang sempurna, yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari sebuah film, karena bagian terpenting dari cerita film ini adalah tata suaranya. Film ini mengajak kita menelusuri pengalaman seorang penabuh drum kehilangan indera pendengarannya, yang berarti kita merasakan the aural experience karakter utamanya. Riz Ahmed bermain sangat cemerlang, mengekspresikan apa yang perlu dirasakan saat kita melihat dan mendengar di saat yang bersamaan. A pitch perfect film.
7. Minari (USA, dir. Lee Isaac Chung, 2020)

Menonton Minari seperti melihat album foto keluarga sendiri, paling tidak buat saya. Kalau kita pernah melihat dan merasakan keluarga kita berusaha untuk memulai sesuatu yang baru, maka melihat Steven Yuen dan Ye-ri Han sebagai orang tua yang bekerja keras akan membuat hati kita mencelos. Tanpa perlu banyak kata yang terucap, ekspresi tajam mereka terasa menusuk hati, membuat kita diam-diam menangis sepanjang menonton film ini.
6. The Mole Agent (Chile, dir. Maite Alberdi, 2020)

Film yang “nakal”. Kita dibuat percaya bahwa, seperti judulnya, film ini akan bercerita soal investigasi seorang detektif. Ternyata, cerita dibuat berbelok mengenai apa yang sebenarnya dirasakan para penghuni sebuah panti jompo. Tak ayal lagi, film ini menjadi film dokumenter yang mendadak mengharukan, dan membuat kita trenyuh saat menontonnya.
Dan inilah top 5 films of 2020:
5. Jallikattu (India, dir. Lijo Jose Pellissery, 2019) – film ini bisa ditonton di Amazon Prime

What a visual glory! Menonton Jallikattu membuat kita seolah-olah berada langsung di desa di perbukitan kota Kerala, India, tempat cerita film ini berlangsung, dan ikut mengejar banteng yang menjadi pokok cerita film ini. Ritme ketegangan terjaga rapi dengan pengambilan gambar serta visual framing yang membuat kita seolah-olah melihat lukisan hidup, membuat film ini menjadi salah satu pengalaman menonton yang tidak mudah terlupakan. Tiga puluh menit terakhir membuat kita tercengang.
4. You and I (Indonesia, dir. Fanny Chotimah, 2020)

Satu-satunya film Indonesia di tahun 2020 yang membuat saya merenung, dan sadar, betapa banyak hal yang tidak pernah kita ketahui selama ini. Film dokumenter tentang persahabatan dua perempuan eks tahanan politik yang melampaui waktu dan usia ini dibuat tanpa pretensi dan tanpa agenda, sehingga membuat indera kita terus berpikir dan bertanya-tanya. Sangat susah dipercaya bahwa ini adalah debut penyutradaraan Fanny Chotimah, karena observasi beliau mengungkap begitu banyak pertanyaan soal politik, kesejahteraan hidup, dan problema kesehatan serta psikologi usia yang mencuat satu per satu. Film dokumenter paling kaya isu tahun ini, sekaligus yang menampar kita paling keras. One of the most touching Indonesian films ever made.
3. Quo Vadis, Aida? (Bosnia, dir. Jasmila Žbanić, 2020)

Seorang penerjemah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berusaha menyelamatkan keluarganya dari kekejaman perang di Bosnia di tahun 1995. Kekejaman perang ini terekam lewat tatapan mata tajam Aida, karakter penerjemah, yang menjadi kekuatan utama film yang menegangkan ini. Konflik batin Aida sebagai insider yang tak luput menjadi korban perang memberikan perspektif soal perang yang jarang kita temui dalam film. Kita nyaris tidak diberi kesempatan untuk bernafas, karena adegan demi adegan bergulir dengan cepat. Sebuah film yang sangat membekas.
2. Nomadland (USA, dir. Chloe Zhao, 2020)

Di Three Billboards Outside Ebbing, Missouri, Frances McDormand meluapkan emosi yang meledak-ledak lewat karakternya. Di Nomadland, karakter Fern yang dia bawakan memendam emosi dalam hati, melampiaskan rasa frustrasi lewat tatapan jauh dan helaan nafas yang dalam, membuat kita spontan melakukan hal yang sama dalam beberapa adegan. Film ini mematahkan romantisme soal road trip yang sering kita lihat di film-film lain, apalagi saat berkelana menjadi satu-satunya pilihan untuk hidup. Pemandangan alam yang indah bukan lagi menjadi obyek untuk dinikmati, melainkan menjadi penanda untuk bergerak dan berpikir, apa lagi yang harus dilakukan untuk bertahan hidup. This is the most heartbreakingly beautiful film of the year.
Film favorit saya tahun 2020 adalah …
1. Gagarine (France, dir. Fanny Liatard, Jérémy Trouilh, 2020)

Selesai menonton film Gagarine di Cannes film market secara virtual, spontan saya berdiri di ruang tamu, di depan televisi dan komputer, dan tepuk tangan sepanjang end credits. Mungkin saya membayangkan riuh rendah reaksi film ini kalau diputar di Grand Palais. Mungkin rasa kangen saya menghadiri festival film secara langsung, mendadak memuncak. Yang jelas, saya merasakan optimisme yang membuncah selesai menonton film ini. Bahwa sebuah film bisa menjadi a means of escapism, and still grounded to real life. Bahwa cerita soal ketimpangan kesejahteraan sosial lewat penggusuran kompleks perumahan umum, ternyata bisa menjadi pijakan soal coming-of-age tale dengan genre sci-fi, lengkap dengan visual efek yang memukau. Ditambah lagi bahwa film ini adalah debut penyutradaraan dua sutradanya, Fanny Liatard dan Jérémy Trouilh, lengkaplah kalau film Gagarine adalah the most entertaining film of the year. Apabila film ini sudah bisa kita tonton secara legal nanti, do watch it. We’ll get our smile back.
Apa saja film favorit teman-teman tahun ini?