Seperti mungkin teman-teman juga lakukan, tahun ini saya menonton jauh lebih banyak film dan serial di rumah. Tahun-tahun sebelumnya, biasanya sekitar 50-60 serial saya tonton. Ini berarti 50-60 musim penayangan atau season, ya.
Tahun ini? Let’s just say, kenaikan jumlahnya lebih dari 50%.
Menonton serial berarti menginvestasikan waktu dan perhatian kita terhadap pengembangan karakter yang dibuat lebih dalam dan mengungkap lebih banyak detil, dibanding film. Mengundang karakter-karakter ini masuk ke ruang tamu kita, mengisi waktu kita berjam-jam dalam sehari, mau tidak mau akhirnya serial yang terpatri dalam ingatan kita, adalah serial yang well-written, well-told, with well-rounded characters.
Saya berusaha disiplin dalam menyusun daftar ini, yaitu haya memasukkan serial atau miniseri yang musim penayangannya memang baru dimulai tahun ini. Alhasil, meskipun saya baru menyelesaikan Delhi Crime, Succession – Season 2 dan Watchmen di awal tahun, dan sangat terbuai oleh keduanya, saya tidak bisa memasukkan ke dalam daftar utama 10 serial favorit tahun ini.
Ada lima seri dan miniseri lain yang juga patut teman-teman tonton. They also happen to be the ones I like the most, namun belum masuk di daftar utama atau top 10. Kelima seri ini adalah, sesuai dengan urutan abjad:
• The Baby Sitter’s Club – Season 1
• The Eddy
Lalu 10 serial televisi favorit saya tahun ini adalah:

Sebelumnya saya sempat skeptis. Cerita apa lagi yang mau diangkat, setelah musim pertama yang mencengangkan. Ternyata memang dunia komik tidak pernah kekurangan karakter dan latar belakang keberadaan mereka. This season has more blood and violence than before, and unexpectedly more depth. Dan semuanya dikemas dalam gaya penceritaan yang fun. Tidak ada satu episode pun yang membosankan.
9. Mrs. America

Kisah aslinya memang bikin kita patah hati. Perjuangan emansipasi perempuan di Amerika Serikat ternyata tidak semulus yang kita kira. Dari miniseri ini, saya belajar banyak soal pergerakan perempuan memperjuangkan hak-hak mereka di dekade 1970-an. Tentu saja proses belajar ini semakin menyenangkan karena dituturkan lewat performa yang kuat dari A-list ensemble cast. Cate Blanchett, Rose Byrne, Margo Martindale, Uzo Aduba, Tracey Ullman, Sarah Paulson, semua bermain dalam porsi peran masing-masing, sesuai dengan pergerakan karakter mereka. No one steals the spotlight, because they understand the greater story must be told.

Dari musim penayangan kedua, serial ini semakin menunjukkan taringnya dalam mengolah plot. Dengan cerdik, Jason Bateman dan tim membuat serial ini menjadi character-driven story, karena pergerakan ceritanya bertumpu pada pergerakan karakter. Di musim penayangan ini, the real MVP adalah Laura Linney, the matriarch of the family, and the matriarch of the story. Nyaris keseluruhan musim ini bergantung pada karakter Wendy Byrde dengan segala keputusannya, termasuk kehadiran karakter baru yang mempunyai hubungan darah dengannya. This is Laura Linney’s season, and she excels.

Mungkin inilah serial yang terasa berat untuk ditonton di masa sekarang. That is okay. Saya yakin, Ricky Gervais pun mengerti. Di sisi lain, menonton serial ini mungkin akan menjadi katarsis. Susah rasanya menahan haru mengikuti serial ini. Ditambah lagi dengan kejeniusan Ricky Gervais mencampur komedi dan tragedi, sehingga dalam satu adegan, kadang kita bingung, harus tertawa atau menangis. Yang jelas, ada senyuman setelah kesedihan. That’s the spirit of this very human series.

The miniseries that came out of nowhere, made its move, and checkmate. Tidak ada dari kita yang menyangka, sebuah miniseri tentang catur, yang bukan biopik, akan menuai kesuksesan besar. Scott Frank dan tim penuh percaya diri membuat “The Queen’s Gambit” sebagai studi karakter, dan Anya Taylor-Joy dengan gemilang menghadirkan performa yang sangat terkontrol, something only an actor of great caliber can do.

Sebagai generasi 90-an yang tumbuh besar dengan majalah remaja HAI dan menonton pertandingan NBA sesekali di hari Sabtu pagi di SCTV, mau tidak mau menonton miniseri dokumenter ini membuat saya tersenyum. Ditambah lagi, menonton di saat pandemi, membuat kita semakin kangen suasana pertandingan langsung olahraga. Kehadiran “The Last Dance” menjadi pengobat rindu, baik terhadap Michael Jordan dan Chicago Bulls di masa kejayaan mereka, maupun terhadap riuh rendah suasana gelanggang olahraga, yang entah kapan bisa kita rasakan lagi.

The feels. Seusai mengikuti perjalanan cinta Marianne dan Connell sepanjang 12 episode, ada semacam rasa ‘klangenan’ yang hadir di hati, yang tak kunjung berhenti. Sangat jarang ada sebuah tontonan yang bisa menghadirkan perasaan seperti itu. Sebagai kreator, Lenny Abrahamson bisa mengadaptasi cerita yang kompleks dengan tutur visual yang tenang, dan mau mengeksplorasi dua karakter utama ini in great details. We may never see a series like this in a long time.

Another case of the unexpected victory. Saya tidak tahu sama sekali tentang sketsa komedi Ted Lasso yang dibuat Jason Sudeikis. Namun saya langsung jatuh hati di episode pertama. Serial ini seperti ditulis dan dibuat dengan positivisme yang berlebih, and strangely it works. There is no single mean bone in the series at all. Kelucuan yang hadir terasa natural, believable, dan yang tak kalah penting, it makes us feeling good long after it ends.

Michaela Coel dengan tegas menceritakan bahwa seorang karakter yang mengalami kekerasan seksual akan tetap berusaha hidup dan menjalani hari-harinya seperti apa adanya. Termasuk tertawa, meskipun kasus belum selesai, dan terus membuat kesalahan demi kesalahan. Semuanya dilakukan atas nama bertahan hidup, dan itulah yang membuat serial “I May Destroy You” sangat hidup, vibrant, dan nyata. It takes one to know one. Dan itulah yang membuat Michaela Coel beserta karakter Arabella yang dia ciptakan menjadi the boldest and most original singular voice in TV series this year.
Dan serial favorit saya di tahun 2020 ini adalah …
1. Paatal Lok

Inilah satu-satunya serial yang saya tonton selesai dalam sehari, lalu mengulang di beberapa bagian untuk memastikan detil cerita tak terlewat sama sekali. Sembilan episode drama thriller tentang kekerasan dan ketidakadilan sistem kasta di India, yang mengoyak tatanan hidup, sekaligus membuka jati diri orang-orang yang terlibat dalam kasus percobaan pembunuhan yang menjadi fokus utama serial ini. Lalu saat satu per satu plot mulai dibuka, kita dibawa ke labirin yang mencengangkan, namun kita tidak pernah kehilangan arah, karena penuturan cerita yang kuat fokusnya. Kualitas desain produksi serial ini terlihat raw, gritty, sekaligus terasa epik, namun tetap membumi, karena pada akhirnya, serial ini bermuara pada mantra, bahwa never mess around with human hearts. Inilah web-series terbaik dari India sejauh ini, dan serial terbaik tahun ini buat saya.
Silakan klik di setiap judul serial yang ada di atas untuk langsung membuka situs tempat menonton masing-masing serial tersebut.
Jadi, apa saja yang sudah teman-teman tonton tahun ini?
The Mandalorian Season 2
What We Do in the Shadows Season 2
Ted Lasso Season 1
The Queen’s Gambit
The Boys Season 2
The Last Dance
Dark Season 3
The Crown Season 4
I May Destroy You
Better Call Saul Season 5
SukaSuka