SETIAP orang memiliki akal sehat, atau setidaknya kesempatan asasi untuk diposisikan dan diperlakukan demikian, itu adalah sebuah fakta. Namun, bagaimana cara setiap orang berpikir dan mempergunakan akal sehatnya, itu adalah sebuah tanya.
Kita seringkali dibuat terheran-heran, mengapa seseorang atau sekelompok orang bisa setuju serta sepakat pada sesuatu yang terang-terangan keliru, salah, atau bahkan ngaco dan membahayakan? Kita pun jadi mempertanyakan: “Mereka enggak bisa mikir atau gimana, sih? Sudah jelas-jelas ngawur begitu, kok malah diiyakan?” Dari yang kurang lebihnya begitu, sampai yang riuh akhir-akhir ini, macam UU KPK, RUU KUHP, RUU PKS, dan beraneka keberisikan terkait hajat hidup orang banyak lainnya.
Dengan terlontarnya pertanyaan bernada protes di atas, perasaan atau kesan superior memang tak terhindarkan. Kita, dengan segala pemikiran dan seperangkat argumentasi yang kita miliki, seolah-olah lebih baik daripada mereka. Dan mungkin begitu pula sebaliknya. Akan tetapi, apakah sekadar perbedaan pemikiran yang menjadi masalah utamanya, ataukah ada persoalan yang jauh lebih mendasar dan lebih penting di balik polemik itu? Seberapa perlu, atau sejauh dan sedalam apa kita perlu melihat dari sudut pandang orang lain (yang pendapatnya berbeda) tersebut? Untuk berusaha mengetahui dan memahami beberapa hal:
- Apa yang mereka anggap benar, dan kenapa?
- Apa yang mereka taati serta patuhi, dan kenapa?
- Apa yang mereka dengar, percayai, dan kenapa?
- Apa yang menyebabkan dan mendorong mereka bersikap demikian?
- Apa yang mereka lihat, dan bagaimana mereka melihat sesuatu?
Tak hanya bersikap dan berpikiran kritis terhadap orang lain, bagaimanakah kita bersikap dan berpikiran kritis terhadap diri kita sendiri? Bisa jadi salah satunya karena ini…
“Orthodoxy means not thinking–not needing to think. Orthodoxy is unconsciousness.”
Apakah berpikir, apalagi berpikir kritis dan cermat memang sesusah, atau semenyusahkan itu? Saking susahnya, sampai-sampai dihindari, bikin malas untuk dilakukan, dan menjadikan banyak orang–barangkali termasuk kita–untuk bersikap iya-iya saja, dan mengikuti yang ramai di depan mata?
Kutipan di atas saya temukan dari novel “1984”, salah satu karya George Orwell keluaran 70 tahun lalu. Dan entah mengapa, kutipan itu tampaknya bakal sering saya celetukkan, utamanya ketika mempertanyakan sikap diri terhadap sesuatu. Di dalam novel itu pun disajikan sebuah plot, yakni manakala masyarakat–orang banyak–dicegah agar tak mampu berpikir kritis lewat pembatasan bahasa dan kosakata.

Dalam hal ini, kepatuhan; keputusan untuk patuh terhadap sesuatu pasti ada penyebabnya. Kita meyakini pula, penyebab(-penyebab)nya juga pasti tersusun lewat proses pemikiran dan seperangkat argumentasi. Lalu, sudah sepaham apakah kita, untuk bisa menunjukkan serta menyatakan bahwa dasar-dasar argumentasi tersebut nyata salahnya dan perlu dihadapkan dengan koreksi?
Membaca dan membayangkannya saja cukup bikin spaning kepala, tetapi berpikir kritis sejatinya sebuah kemampuan berbasis kebiasaan. Makin sering dilakukan, makin mulus prosesnya, serta justru makin membuat kita haus akan referensi dan terus mencari sudut pandang berbeda, meskipun tentu saja menyita tenaga, waktu, perhatian, dan stamina.
Dan lagi-lagi, mungkin itu sebabnya berpikir serta berpikir kritis dirasa terlampau merepotkan bagi banyak orang.
“Orthodoxy means not thinking–not needing to think. Orthodoxy is unconsciousness.” Berpikir kritis, demi terhindar dari pandangan keliru dan bias, fanatisme, serta apatisme dan ketidaktahuan.
[]