“AKU berpikir, maka aku ada.” Ini kata René yang Descartes, bukan yang Suhardono.
Sementara, tanpa disadari, inilah yang terjadi dalam kehidupan kita hampir tiap hari: “Aku memikirkannya, maka itu ada, dan terjadilah.”
Sebuah masalah baru akan benar-benar menjadi masalah ketika terjadi. Namun, dengan mempersilakan masalah itu mewujud dalam bentuk pikiran-pikiran negatif, kegelisahan dan kekhawatiran yang berlebihan, serta memasrahkan diri untuk terus-menerus dilumat rasa takut, kita seolah-olah membantunya agar lebih cepat terjadi. Di tengah-tengah deraan masalah tersebut, barulah kita mencari-cari dispensasi dari mana saja. Melemparkan kesalahan kepada orang lain, kepada situasi dan keadaan, juga kepada diri sendiri secara keliru (menyalahkan diri sendiri untuk alasan yang salah).
Kita kerap tidak bisa santai barang sedikit saja terhadap diri sendiri. Didorong oleh banyak aspek dalam kehidupan–misalnya lingkungan sosial budaya dan tempat tinggal, kecenderungan sifat atau pembawaan dari lahir, maupun lewat nilai-nilai yang ditanamkan orang tua dan keluarga–kita diajari agar selalu curiga terhadap kehidupan. Bukan waspada, melainkan berprasangka.
Perbedaan antara waspada dan curiga adalah apa yang dipikirkan, dan apa yang akan dilakukan dalam menyikapi sesuatu.
Waspada lebih kepada bersiap-siap, berjaga-jaga, atau mempersiapkan diri terhadap sesuatu yang barangkali bisa terjadi. Tentunya ada sejumlah pertimbangan, perhitungan, dan antisipasi rasional yang dibangun. Kemampuan melihat dan berpikir secara jernih pun mutlak diperlukan, supaya tahu benar apa yang bakal dihadapi dan bagaimana menghadapinya. Apabila perubahan diperlukan, seseorang dengan kewaspadaan bisa menyesuaikan diri dan gesit bertindak. Tidak terlampau lama membuang-buang waktu dan tenaga untuk hal-hal tak perlu.
Berkebalikan dengan sikap waspada, curiga lebih berupa pikiran dan perasaan negatif yang tidak berujung ke mana-mana melainkan ke objek kecurigaan itu sendiri. Terdiri atas sekumpulan ketakutan, kekhawatiran, kegelisahan, keragu-raguan, kebingungan, penolakan membuta, yang pada akhirnya hanya bisa dikenali dan dirasakan sebagai sebuah ketidaksukaan besar, atau bahkan kebencian yang sukar dijelaskan alasan mendasarnya.
Saking kuatnya rasa tidak suka itu, sampai bisa memengaruhi dan menyetir tindakan kita. Cukup membuat kacau, membuat banyak hal terbengkalai, hingga justru menjadikan objek kecurigaan tadi menjadi kenyataan. Sebuah kondisi yang semestinya bisa diantisipasi atau dielakkan, malah kita fasilitasi biar terjadi… dan kembali lagi, tatkala peristiwa itu terjadi, ujung-ujungnya yang bisa kita lakukan hanyalah buang bodi, melempar kesalahan.
Kewaspadaan dapat ditumbuhkan dan terus diasah, sedangkan kecurigaan seharusnya dikenali dan diatasi. Manakala kita bisa menyadari sedang memupuk sebuah kecurigaan, angkat dia, siangi dan bersihkan menggunakan akal sehat, lalu coba amati secara cermat. Perhatikan, apakah ada poin-poin dari kecurigaan tersebut yang sekiranya mesti diwaspadai pakai akal sehat?
Kecurigaan yang telah disiangi dan dibersihkan menggunakan akal sehat, akan menyisakan inti masalah yang bisa dilihat dengan apa adanya. Tanpa dibungkus ketakutan, kegelisahan, dan kekhawatiran yang berlebihan. Hanya saja, jika kita telah berusaha keras tetapi tetap tidak mampu melihatnya, jangan pernah ragu untuk meminta bantuan dari orang-orang yang sesuai.
- Takut berpotensi mengidap penyakit tertentu, cobalah konsultasikan ke dokter dan periksakan sebagaimana mestinya.
- Takut berpotensi mengalami gangguan psikis, cobalah konsultasikan ke psikolog. Daripada membangun anxiety dan dibiarkan begitu saja.
- Takut berpotensi tidak berguna secara karier, cobalah bicarakan ke atasan, atau bagian sumber daya manusia.
- Takut berpotensi gagal dalam hubungan, cobalah dimulai dengan berbicara kepada pasangan demi mendapatkan kejelasan atas gejolak yang dirasakan. Dari situ, biasanya, akan ada progres. Setidaknya menjadi tahu agar tidak perlu resah berkepanjangan. Lalu, bisa juga menghasilkan keputusan.
- Takut berpeluang mengalami kegagalan, cobalah berdiskusi dan bertukar pikiran dengan yang sudah pernah mengalami kegagalan sejenis.
- Takut mati, ehm, mungkin cobalah dengan berbicara kepada diri sendiri, sang entitas yang nantinya bakal mati; atau cobalah berbicara kepada tuhan, sang entitas yang dianggap menciptakan dwi kondisi hidup dan mati tersebut. Bisa jadi akan ada jawaban yang menjernihkan pandangan.
[]