inTelek šŸ’©

ā€”

Seharusnya ada istilah bagi seseorang yang mengidap atau setidaknya kecanduan untuk dibilang intelek. Bahkan dibilang terpelajar atau cendekia pun terasa kurang. Harus intelek. Cukup. Jangan lebih, tapi juga tidak boleh kurang. Jika ada istilah itu mungkin orang pertama yang perlu disematkan adalah cermin di hadapan saya sekarang. Orang yang ada di cermin ini suka sekali tanpa pikir panjang untuk membeli buku dengan topik beragam, juga membuka jurnal di berbagai situs akademis dan mengunduhnya sebisa dan sebanyak mungkin, walau akhirnya tersimpan rapi dalam berkas penyimpanan komputer dan tak sempat dibaca. Seringkali mengikuti banyak perbincangan menarik dan berkelas dalam debat di media sosial, kemudian diam-diam menindaklanjutinya dengan mencari istilah-istilah asing yang baru didengar untuk dicari tahu apa artinya, dan kapan kata tersebut tepat digunakan. Bisa saja, pada waktunya argumen dalam perdebatan akan lincah, bernas juga mengagumkan ketika didengar dan disimak orang lain. Kalimat keren atau pilihan kata yang lugas juga perlu dikeluarkan kembali dari persembunyiannya ketika menulis sesuatu dalam media tertentu sehingga, yang terpenting, memberi kesan intelek dengan banyak menyimpan pengetahuan dengan baik dan mempergunakannya secara tepat. Hebatnya lagi bagi para pengidap “maunya dibilang intelek” itu merasa bahwa intelek jauh lebih ganteng daripada wajah tampan, lebih berharga dari sekadar dompet tebal dan lebih disukai Tuhan daripada lantunan ayat suci. Ciri lain dari orang yang kecanduan untuk dianggap sebagai sosok intelek adalah pendiriannya yang kokoh untuk tidak follow akun siapapun di twitter. “Intelek sejati tak pernah mengikuti dan arusnya ia yang diikuti”. Jika ada perdebatan sengit yang ia saksikan maka ia akan mengumpat dalam hati: “sebetulnya dua orang yang berbantah-bantahan ini sama-sama bodoh”. Jika ada obrolan di salah satu program acara stasiun televisi, maka ia akan berpikir bahwa seharusnya dialah yang ada di dalam acara tersebut. Bukan pria yang botak dan jika bicara terlalu lama, atau seorang dosen yang terus-menerus bermain kata-kata, bahkan ia merasa melihat sebetulnya begitu banyak hal yang dapat dilakukan oleh pria pembawa acara bersuara serak daripada sekadar memotong perseteruan sengit, menghafal kata-kata mutiara, dan mengundang orang-orang yang doyan adu mulut. Intelek sejati tidak mengumbar kata-kata. Intelek sejati, menurutnya, adalah yang pada setiap kata-katanya tersimpan puncak kegemilangan umat manusia. Kata-katanya adalah mantra, penuh gatra. Saat akan berpergian, sosok intelek akan membawa buku barang satu atau dua biji. Soal nanti dibuka atau tidak, dibaca atau tidak, itu bukan persoalan. Menjadi soal yang pokok jika bahan bacaan tak ada dalam tas atau kantong yang ia bawa. Tokok idola kaum intelek bukan selebritas penuh glamor tapi otaknya kosong. Voltaire atau Noah Harari lebih disukai. Toko buku adalah persinggahan. Bioskop adalah hiburan. Buku adalah perhiasan. Penampilan bukan kisah utama. Perbincangan dan pemikiran adalah tolok ukur. Kemampuan bahasa asing itu utama. Wawasan tentang seniman kiwari adalah pelumas pergaulan. Demikian. Sampai saat ini walau belum berhasil mengetahui apa istilah bagi seseorang yang sebegitunya kebelet mau dibilang intelek, setidaknya sudah dapat dirunut gejala-gejalanya.

Tinggalkan komentar

ā— About Me

Iā€™m Jane, the creator and author behind this blog. Iā€™m a minimalist and simple living enthusiast who has dedicated her life to living with less and finding joy in the simple things.