PERNAH ada masanya, suasana hati dan kepribadian seseorang tak hanya diraba lewat isi tulisan, tetapi diamati sekaligus dari penampilan dan bentuk tulisan tangannya.
Kala itu, masyarakat cukup enteng menganggap bahwa seseorang yang bisa menulis dengan rapi dan teratur, memiliki pembawaan yang tenang; sabar; telaten; halus perasaannya; serta memiliki karsa artistik tinggi lantaran peduli kepada keindahan. Jika ditarik mundur lebih jauh lagi, bahkan bisa menulis saja sudah identik dengan kepandaian dan berpendidikan. Makanya, dahulu ada jabatan carik, kerani, atau klerek. Posisi mentereng yang bisa bikin para orang tua di zaman itu bangga. Padahal tugasnya ya cuma satu, menulis. Yang ditulis pun bukan luapan isi hati, melainkan ucapan, komando, maupun perintah atasan. Bila tulisan pujangga bisa menggetarkan hati dan menggerakkan jiwa, tulisan carik dipercaya bisa menyejahterakan rakyat atau justru sebaliknya.
Kendati menyinggung tentang keindahan, menulis dalam konteks ini tetap berbeda dari membuat kaligrafi. Menulis, tujuan utamanya bukan untuk menghasilkan karya seni atau pajangan, tetapi mencatat. Baik untuk dibaca kembali di kemudian waktu, atau untuk disuratkan. Itu sebabnya, lambat laun aktivitas menulis bisa tergantikan oleh mengetik untuk hasil tulisan yang pasti lebih mudah dibaca, enak dilihat karena bentuk dan jarak yang konsisten, serta lebih hemat waktu maupun tenaga. Termasuk ketika harus digandakan menggunakan mesin stensil atau fotokopi. Ironisnya, bisa saja tulisan tangan para ahli kaligrafi terlihat biasa-biasa saja, tak seindah kaligrafinya, atau malah cenderung berantakan. Kurang lebih cakaran ayam.
Lalu, bagaimana dengan kita sendiri? Kapan terakhir kali kita menulis? Apalagi untuk tulisan yang agak panjang, bukan sekadar catatan daftar belanja atau mengisi formulir pendaftaran tertentu. Itu pun biasanya diminta dalam bentuk huruf balok atau huruf kapital semua biar lebih gampang dibaca.

Ini contohnya. Seorang teman di Samarinda dikirimi kartu pos. Bentuk dan susunan tulisan yang sedemikian rapi bikin betah dilihat berlama-lama, nyaman di mata.
Dari foto di atas, si empunya tulisan pasti masih rajin menulis. Lewat hasil tulisan tangan, kita dapat dengan mudah mengenali tangan yang masih luwes, dan yang sudah kaku. Silakan saja bandingkan tulisan tangan Anda saat ini, dengan tulisan tangan waktu masih SMA atau kuliah, di saat kita harus menjawab soal esai di berlembar-lembar kertas folio bergaris. Sebelum akhirnya buku-buku catatan atau penjepit kertas berlubang, digantikan dengan laptop dan halaman blog berisi makalah tugas.
Terlebih jika Anda terbiasa menulis huruf bersambung. Makin ke sini, ada makin banyak huruf yang bentuknya tak tertulis utuh sempurna, atau berasa tersendat-sendat. Belum lagi sensasi pegal di pergelangan tangan, maupun di pangkal celah-celah jari.

Sementara itu, tidak salah juga apabila soal tulisan tangan ini dianggap perkara sentimental belaka, atau pun bagian dari kerisauan para produsen alat tulis. Sampai-sampai ada hari bernama National Handwriting Day di Amerika Serikat setiap tanggal 23 Januari. Pasalnya, sekarang sudah zaman sarat efisiensi dan efektivitas, kecepatan dan ketepatan, serta hasil akhir sesuai keinginan. Sehingga segala hal yang bertentangan, atau berpotensi menjadi penghalang, sah-sah saja untuk ditinggalkan. Termasuk tulisan tangan.
Para jurnalis, misalnya. Saat ini para pewarta yang mencatat wawancara makin langka dijumpai. Alih-alih membawa notes, mereka merekam suara narasumber menggunakan ponsel. Walhasil, mereka memang memiliki instrumen informasi yang autentik dan bisa diputar kembali, tetapi dalam prosesnya mereka condong untuk tidak/kurang menyimak pernyataan. Ya … lagi-lagi ini perkara efisiensi waktu dan tenaga saat bekerja.
Untung saja, kita bernasib baik terlahir dan menjadi penutur bahasa Indonesia dengan bentuk tulisan yang cukup sederhana: alfabet. Yang kalaupun sudah lama tidak menulis, dampak buruknya tak separah orang-orang Tionghoa. Perubahan kebiasaan dari menulis tangan ke mengetik, membuat mereka lupa caranya menulis. Buta aksara sebagian; mengenali tulisan dan bisa membacanya, tetapi sulit menuliskannya.
Selebihnya, bisa jadi karena itu pula (dunia yang menuntut segalanya serbacepat, efisien, dan efektif), menulis dengan tangan jadi semacam penenteram hati, rekreasi batin, atau sejenis upaya melarikan “diri” dari kejenuhan.
[]
(Di atas ini sebenarnya ada satu tautan video dari Facebook. Apabila video tidak termuat, klik di sini.)
Hi Gono! Ketemu lagi disini :)) Skrg lg mulai membiasakan menulis jurnal di buku untuk my future babies. Seru, karena nulisnya bener2 gak boleh berhenti (untuk mengedit kata, atau mikir angle cerita) hahaha
SukaSuka
Hai, Mbak! Ketemu lagi. Hehehe…
Btw, seru banget menulis jurnalnya. Jadi sesuatu yg unik, personalized, dan menyenangkan, tuh. Pokoknya, yg penting sehat-sehat selalu, ya mamanya, ya si kecilnya. Dilancarkan semuanya.
SukaSuka
Tulisan tangannya bagus, mas. Aku mau dong dikirimin kartu pos gitu….
SukaSuka
Tulisan di kartu pos tentu saja bukan tulisan saya. Hahaha!
SukaSuka
Euh… yang saya bilang bagus emang tulisan yang di bukunya pameran Pram itu sih….
SukaSuka
Wah… terima kasih. Baiklah kalau begitu.
SukaSuka