How Not To Be Your Parents

what-i-thought-parenting-meme

Dua bulan masuk SMP dan ikut ekstra kulikuler karate, minggu lalu anak saya minta izin untuk ikut ujian kenaikan level di luar kota, dan (kemungkinan) menginap. Jawaban saya: beri waktu ibu untuk berpikir (dalam hati: over my dead body!). Bukannya saya over-protective ya,  ketika SD anak saya beberapa kali pergi berkemah bersama grup kelasnya.

Sebagian dari Anda dibesarkan oleh orangtua yang sempurna, and I’m happy for you. Tetapi mungkin saja ada yang seperti saya, masa kanak-kanak dihabiskan dengan berpikir kalau orangtua adalah setengah dewa, suatu hari terbangun dan sadar kalau mereka hanya manusia biasa.

Bahkan ketika remaja, saya juga mengalami periode menyalahkan mereka atas semua isu yang saya miliki menjelang saya dewasa. Tetapi tentu ketika ditampar dengan kenyataan demi kenyataan baik getir maupun manis tentang tanggung jawab (sebagai orangtua ataupun orang biasa), mendadak luluh hati dan ingin sungkem kepada mereka yang menerima saya sebagai tanggung jawabnya dahulu, tak peduli betapa menyebalkan ketika melewati masa puber.

Ketika anak saya masih kecil, menjadi orangtua yang baik bukan tugas yang terlalu sulit, karena belum ada feedback yang kita dapat secara langsung. Anak tentu masih sangat tergantung kita, dan mereka selalu gembira ria melihat kita pulang ke rumah setelah seharian kerja atau kembali dari pergi ke minimart setengah jam saja. Mereka juga sangat murah hati memberikan pelukan dan ciuman kapan saja kita memintanya.

Tetapi begitu mereka beranjak remaja, hormon yang meledak-ledak dilengkapi dengan sikap sikap yang sering mengejutkan (kok dia jadi begitu ya? Perasaan dulu gue waktu ABG enggak gitu deh), kalau kita tidak sadar dan hati-hati, mudah sekali mengulangi apa yang dilakukan orangtua kita dulu; melarang, mengatakan tidak, dan tidak mau mendengarkan bantahan dan alasan apa pun. Beberapa tahun melakukan itu secara otomatis, suatu hari kita bangun dan terkejut; OH MY GOD, I’M MY FATHER!

Sepertinya ada baiknya kalau saya membuat peraturan untuk diri sendiri supaya tidak terjebak melakukan apa yang saya kurang setuju orangtua dulu saya lakukan.

  1. Jika harus melarang mereka pergi, saya akan menjelaskan alasannya. Papa saya dulu tidak pernah membolehkan saya pergi ke luar rumah setelah matahari terbenam. Kemping bersama Pramuka? Setelah saya SMP karena saya nekad kabur walau dilarang baru bisa ikut, dan siap menghadapi omelan dan bentakan ketika pulang. Jika saya tanya alasan larangannya, Papa saya tidak pernah menjawab, kalau pun menjawab, akan mengatakan,
    “Karena kamu anak perempuan.”
    Nice, pa. Not sexist at all.
  2. Jika melakukan hal reaktif dan berbuat tak adil ke anak, lalu menyadari kalau saya salah, saya akan minta maaf dengan secara verbal mengatakan saya salah, dan minta maaf. Bukan hanya pura-pura lupa dan menawarkan membeli makanan kesukaan anak.
  3. Saya harus meyakinkan anak kalau kegagalan itu biasa, semua orang pernah mengalaminya dan yang membuat seseorang sukses bukan karena kegagalan jarang atau tak pernah terjadi tetapi bagaimana kita bangkit dan belajar dari pengalaman itu. Tanpa terlalu memuji dia, tetapi juga tetap menghargai usahanya sesuai dengan persentase usaha dan potensi yang kita lihat. I know it sounds complicated, but if you’re a parent, you’d know what I mean.

Jadi bagaimana dengan perjalanan karate anak? Akhirnya saya tidak mengizinkan dia pergi kali ini, karena ini adalah hal rutin dan beberapa bulan ke depan akan ada lagi. Alasan saya; di sekolah yang baru ini saya belum kenal teman-teman dia, dan belum sempat bertemu dengan Senpai dan Sensei-nya, jadi saya merasa tidak nyaman membiarkan dia pergi, karena tidak ada yang bisa dititipkan. Untung dia mengerti alasan ini.

parenting-in-public-parenting-meme


Komentar

Tinggalkan komentar