“PLATONIC love atau Platonic relationship itu bullsh*t, Gon! What’s the point of having a relationship without sex, sih? Not alone it’s impossible.”
Begitulah kurang lebih pendapat sejumlah teman Twitter—yang kemudian menjadi teman di dunia nyata—beberapa tahun lalu tentang pandanganku mengenai hubungan asmara yang mengesampingkan aktivitas persetubuhan atau bahkan nirsanggama, tanpa kehilangan kemesraan dan kasih sayang.
Perbincangan terus berlanjut. Aku sampaikan sebuah analogi, yakni ketika ada seseorang yang melihat setangkai bunga teramat cantik saat sedang berjalan-jalan di taman. Keindahannya memunculkan rasa kagum, takjub, menyenangi apa yang dilihat. Lazimnya, dia akan memetik bunga tersebut dan membawanya pulang agar bisa menikmati keindahannya lebih lama. Sebagai konsekuensi, bunga itu pun akan layu dan mati lebih cepat.
Entah, apakah hubungan Platonis tepat digambarkan dengan analogi di atas atau tidak. Yang jelas, ada keengganan di situ. Tidak ingin melakukan sesuatu yang dapat mengubah situasi menyenangkan. Pasalnya, dipetik atau tidak, bunga tersebut akan tetap layu dan mati pada waktunya. Aktivitas pemetikan akan mempercepat terjadinya proses tersebut. Sementara melalui persetubuhan, hubungan antara dua orang akan beranjak ke fase yang berbeda. Seperti yang pernah kutulis sebelumnya, ada orang yang baper setelah bersetubuh, menjadi lebih clingy dan terikat dengan pasangannya. Sebaliknya, ada pula yang justru kehilangan gereget terhadap pasangan dan hubungan yang tengah mereka jalani setelah bersetubuh. Perlahan-lahan, suasana hati mereka hambar. Aktivitas seksual tak lagi se-exciting dibanding saat pertama kalinya.
Bagaimana seseorang bisa memilih untuk menjalani hubungan asmara secara Platonis? Apa penyebabnya? Lagi-lagi entahlah, tetapi ada kemungkinan besar rasa cinta dan sayang tidak muncul sendirian dalam hubungan tersebut. Ada rasa kagum dan takjub (adoration), rasa hormat (respect), dan perasaan setara atau tidak menganggap pasangan sebagai subordinat. Aktivitas seksual pun tetap bisa dilakukan, bukan sebagai media penyaluran hasrat biologis atau reproduktif semata, apalagi dijadikan parameter penguasaan. Other than a premise for physical and psychological subjugation, intercourse is more likely to be a sensual bodily discussion.
… and by this, I can hear: “Alah… Omong kosong, kamu, Gon.” 😅
Alih-alih terpusat pada aktivitas seksual, rabaan dan sentuhan tetap punya makna khusus bagi para pasangan Platonis. Keintiman fisik, atau sebut saja “skinship” bukan sekadar jadi sinyal pemantik untuk ajakan bersetubuh, melainkan memberi kenyamanan dan perlindungan, rasa aman. Perasaan nyaman, lebih tepatnya … similar to being smitten. Hanya saja, ada pria atau wanita yang tidak tahan dengan perasaan kentang, ada juga yang mampu melaluinya tanpa harus melakukan aktivitas seksual penetratif. Pastinya, setiap orang memiliki keadaan yang berbeda. Tatkala berbicara tentang seksualitas dan hal-hal personal lainnya, tentu tak bisa disamaratakan karena menyangkut preferensi tiap individu.
Ah… Pada akhirnya kembali ke masing-masing. Di sini bukan ranahnya untuk mengklaim bahwa sesuatu lebih baik dan lebih benar dibanding lainnya. Pembahasan ini pun dipilih barangkali lantaran kangen dipeluk, atau merasa sudah bukan umurnya lagi untuk bertualang tanpa pertimbangan.
Bagi yang sedang punya pasangan saat ini, jangan lupa dipeluk, ya. Sebab berpelukan itu menyehatkan dan menyenangkan.
[]
#hugforfree
SukaSuka