Kenapa Anak-anak Harus Beragama yang Sama dengan Orang Tuanya?

BAGI sebagian orang, angka hanyalah angka. Simbol bilangan untuk memudahkan berhitung. Namun bagi para pengelola agama sebagai institusi massa, angka dan jumlah menjadi penanda keberlangsungan. Sehingga kerap diperlakukan lebih penting dibanding hal-hal lainnya. Meski soal ini seringkali hanya disampaikan secara tersirat, dan terkesan agak berbisik-bisik.

Mengapa agama harus disebut sebagai institusi massa? Sebab agama telah terlembaga, dan membutuhkan banyak orang untuk kesinambungannya. Padahal sebagai ajaran ilahiah—sesuatu yang dipercaya berasal dari langit, dan juga dipercaya dapat mengantarkan manusia ke langit yang sama— sejatinya agama tidak perlu manusia.

Ada atau tidak ada manusia; dan ada atau tidak ada penganutnya, kebenaran tetap akan menjadi kebenaran. Sama logisnya dengan pemikiran bahwa ada atau tidak ada manusia; dan ada atau tidak ada umat yang mempercayai dan menyembahnya, (entitas) tuhan tetaplah tuhan dengan segala kemahaannya. Lebih ekstrem lagi, tuhan bahkan tidak membutuhkan agama untuk tetap menjadi tuhan, Sang Adikodrati.

Kalau bagi para ateis maupun nonteis; ada tidak ada manusia, hukum-hukum alamiah (fisika, kimia, biologi) akan tetap ada, muncul karena terkondisi dan bekerja sebagaimana mestinya. Bisa dan akan mengalami perubahan, serta bisa dan akan menyebabkan perubahan mulai di skala atom hingga seluas semesta.

Lantaran angka dan jumlah, para pemimpin agama mengerahkan organisasi religiusnya masing-masing untuk terus menambah umat. Berbagai cara pun dilakukan. Dimulai dari:

  1. Melarang keras umatnya untuk berpindah agama,
  2. Memerintahkan umatnya agar menikah dengan yang seagama, atau membuat pasangannya berpindah agama, mendidik dan membesarkan anak-anaknya dengan ajaran agama yang sama,
  3. Mengagamakan atau menahbiskan seseorang sebagai pemeluk agama tertentu sejak masih kecil,
  4. Menjalankan misi Proselytism atau gerakan “…isasi” untuk menambah jumlah umat baru dengan perpindahan agama,
  5. Mendorong munculnya lingkungan-lingkungan tempat tinggal yang ekslusif, terbatas bagi umat agama tertentu. Termasuk menghalau segala hal yang berkaitan dengan agama lain. Dalihnya, agar tidak tercemar atau terkontaminasi pengaruh buruk,
  6. Mengupayakan eksklusivitas beragama di tingkat politik.

Lalu, mengapa harus menambah umat yang seagama sebanyak-banyaknya?

Pertanyaan di atas bisa dijawab secara normatif, maupun dengan jujur apa adanya.

Jawaban normatif: “Sebagai umat agama anu, saya berkewajiban untuk mengajak sebanyak-banyaknya orang menuju jalan kebenaran demi kebahagiaan di akhirat kelak. Apa yang saya lakukan adalah ibadah, dan bisa mendapat ganjaran pahala serta surga.

Jawaban jujur: Sumber daya. Makin banyak manusianya, makin banyak pula sumber daya yang tersedia. Sebagai sebuah institusi, eksistensi agama bersifat operatif. Perlu tenaga, perlu pikiran, dan perlu dana agar semuanya berjalan sesuai rencana.

Sebagai pemimpin kelompok, para pemuka agama memerlukan pengikut. Tanpa pengikut, para pemuka agama sekadar menjadi umat biasa. Yang tersisa hanyalah hubungan spiritualnya secara personal dengan tuhan. Tanpa pengikut pula, tak ada sumber dana untuk berbagai keperluan. Tempat-tempat ibadah tidak berdiri dengan sendirinya, tanpa bahan-bahan konstruksi, tanpa keringat orang-orang yang mengerjakannya, tanpa uang yang digunakan untuk membayar semuanya.

Jangan lupa, tuhan sebenarnya tidak membutuhkan tempat ibadah. Manusialah yang membutuhkan tempat ibadah sebagai lokasi khusus untuk bisa merasa terhubung dengan tuhannya. Oleh karena itu, agak kurang tepat bila tempat ibadah disebut rumah tuhan. Sebab tuhan semestinya tidak membutuhkan tempat, ruang berbatas tembok dan atap dalam tiga dimensi, apalagi dibuatkan oleh manusia, makhluk ciptaannya sendiri.


Muncul pertanyaan berikutnya. Kenapa anak-anak harus beragama yang sama dengan orang tuanya?

Lagi-lagi ada dua sudut pandang untuk menjawabnya. Dari perspektif para orang tua sebagai umat sebuah agama, dan perspektif agama sebagai sebuah institusi.

Setelah orang tua meninggal, anak-anaknyalah yang memanjatkan doa dan “mengirimkannya” kepada arwah para mendiang. Agar doa-doa tersebut bisa “tersampaikan” dengan baik dan dikabulkan, maka metodenya pun harus sesuai. Kesamaan metode sama dengan kesamaan agama. Tanpa kompatibilitas seperti ini, mustahil doa-doa yang dipanjatkan bakal diterima. Lha wong tuhannya berbeda.

Dalam sejumlah agama malah diajarkan bahwa apabila anak berbeda agama dengan orang tuanya, maka mereka (para orang tua) akan mendapatkan keadaan yang sengsara di alam kubur sana. Menjadi semacam siksaan pra akhirat. Pandangan ini biasanya dimiliki oleh agama-agama samawi.

Penjelasan semacam di atas telah diterima umum, serta dianggap sebagai kebenaran yang lazim. Itu sebabnya hampir semua orang tua di Indonesia mengagamakan anak-anak mereka sejak baru lahir (diazani, dibaptis, dan sebagainya), membesarkan mereka dengan indoktrinasi agama, memasukkan mereka ke sekolah-sekolah agama yang sama, dan seterusnya. Pokoknya, anak-anak harus beragama sama seperti orang tuanya.

Apakah tindakan para orang tua tersebut salah? Tentu saja tidak. Bagi para orang tua itu, agama merekalah yang paling benar. Titik. Sehingga membesarkan anak-anak mereka sesuai “satu-satunya” ajaran agama yang benar merupakan sebuah keniscayaan. An obvious decision. Lagipula hanya ajaran agama itu saja yang mereka pahami, tidak ada lainnya lagi. Bakal menjadi sebuah keanehan sosial, ketika sepasang orang tua beragama A membesarkan anak-anaknya dengan ajaran agama B.

Ada sebuah pengecualian di Indonesia, utamanya pada keluarga-keluarga Tionghoa. Para orang tua yang menjalankan kepercayaan tradisional—yang kerap mereka sebut sebagai “agama Khonghucu” padahal berbeda dengan Khonghucu yang baru saja diresmikan sebagai agama keenam—membesarkan anak-anak mereka dengan ajaran tradisi warisan, tanpa penjelasan keagamaan yang memadai. Sembahyang di meja altar, hayuk. Sembahyang di kelenteng ya juga oke.

Saat menginjak usia sekolah, anak-anak tersebut banyak yang dikirimkan ke sekolah Kristen maupun Katolik. Berkat paparan ilmu dan pemahaman agama yang intensif, tak mustahil beberapa dari mereka pun berpindah agama.

Bagaimana para orang tua Tionghoa Indonesia menyikapi perpindahan agama yang dilakukan oleh anak-anak mereka? Ada yang gusar dan tidak terima, tetapi banyak juga yang biasa-biasa saja. Masalah baru muncul ketika anak-anak mereka yang menjadi umat gereja konservatif dan/atau karismatik, mati-matian menolak menjalankan tradisi Tionghoa. Sebagai jemaat denominasi gereja tersebut, semua ritual tradisional Tionghoa dianggap sesat dan penuh kuasa gelap.

Berbeda dengan umat Katolik, mereka (yang Kristen karismatik) tidak boleh memegang hio, tidak boleh memasak-menyantap makanan bekas sajian di altar, dan menuding patung-patung dewata Tionghoa dilingkupi muslihat setan. Berbarengan dengan itu, mereka pun berusaha keras untuk mengajak orang tua untuk turut berpindah agama. Meninggalkan semua praktik-praktik purba dan primitif.

Bagi para anak-anak tersebut, keberhasilan mengubah agama kedua orang tua mereka tentu memiliki nilai ibadah. Hanya saja saking obsesifnya mengejar nilai ibadah tersebut, tidak jarang suasananya tak mengenakkan. Misalnya, para orang tua didesak berpindah agama justru menjelang masa-masa kematiannya. Deathbed conversion semacam ini merupakan kisah biasa di kalangan warga Tionghoa Indonesia. Ketika sang orang tua sudah dalam keadaan setengah sadar di tempat tidur, anaknya terus meminta agar calon mendiang menerima agama baru. Peristiwa ini bisa menimbulkan perselisihan di antara saudara. Baik saudara si anak, maupun saudara si mendiang.

Seorang muslim mengangkat hio.
Foto ini sempat viral di Facebook tahun lalu. Ada dua versi cerita: (1) ART yang muslim mengangkat hio untuk majikannya, karena anak-anak mendiang tidak ada yang menjalankan kepercayaan tradisional Tionghoa. Inti posting-an mengkritik fanatisme yang menjauhkan mereka dari berbakti kepada orang tua. (2) Foto diunggah di tionghoa.info, disebutkan bahwa sang ART yang muslim ikut memberi penghormatan terakhir kepada mendiang majikannya.

Nah, persoalan kompatibilitas doa dan agama antara orang tua dan anak juga dapat terjadi pada keluarga Tionghoa yang demikian. Bayangkan jika orang tuanya adalah umat kelenteng dan menjalankan tradisi Tionghoa, sementara anak-anaknya adalah umat gereja karismatik, dipastikan ada jurang kesenjangan yang besar dalam sikap spiritualitas mereka.

Para anak-anak mendiang, tentu tidak akan memiliki meja abu, altar berisi foto mendiang yang biasanya disembahyangi menggunakan hio, dan diberi sajian khusus pada hari-hari tertentu (hari lahir, hari wafat, menjelang Tahun Baru Imlek). Begitu pula saat Festival Qingming atau Ceng Beng, yang merupakan harinya berziarah dan bersih-bersih makam. Tidak akan ada sembahyangan, tidak ada pula aktivitas membakar kertas emas (kimcoa) dan kertas perak (gincoa) serta berbagai miniatur barang. Apabila ini yang terjadi, maka para mendiang pun dikhawatirkan akan menjadi arwah yang kelaparan, miskin tanpa harta, berpenampilan lusuh dan butut karena tidak mendapat kiriman benda-benda.

Setiap orang sangat berhak untuk meyakini agamanya sebagai satu-satunya yang benar, dan meragukan kaidah agama lain sebagai ketidakbenaran. Termasuk dari contoh di atas. Saat gambaran akhirat ala Tionghoa kerap dianggap terlalu imajinatif dan mengada-ada. Bisa saja ada yang bertanya: “Kertas dibakar di sini, di sana jadi uang? Kok konyol?” Akan tetapi jangan lupa, kita sebagai manusia yang masih hidup, sama-sama tidak memiliki pengetahuan apalagi pengalaman langsung tentang gambaran akhirat yang sebenarnya. Boleh jadi akhirat versi agama kita yang sungguhan terjadi, akan tetapi bagaimana kalau akhirat versi Tionghoa yang benar-benar ada di sana?

Aneka replika benda dari kertas di makam Tionghoa.
Kalau sudah urusan ziarah makam orang tua, banyak orang Tionghoa yang sampai sebegininya. Kecuali jika mereka sudah menjadi umat agama konservatif.
Miniatur gedung bank terbuat dari kertas.
Kenapa cuma mengirimkan uang ke alam baka, kalau bisa mengirimkan banknya sekalian? Coba perhatikan nama banknya dalam bahasa Tionghoa, sudah disesuaikan dengan lingkungan “setempat”.
Sedangkan ini … demi terus “membacakan” dan mengirimkan lantunan ayat suci untuk mendiang, dipasanglah MP3 Player khusus murottal Alquran dengan tenaga matahari. Bacaan ayat suci akan terkumandangkan tanpa putus, looping. Niatnya mungkin baik, tetapi anak cucu mendiang barangkali tak bisa berada di sana 24 jam. Tak tahulah. Foto: kabarmakkah.com

Dalam hal ini, celakalah kita semua jika akhirat yang sebenarnya ada adalah versi Mesir kuno. Sebab untuk mencapai kebahagiaan di sana, kita harus dimakamkan sebagai mumi. Hahaha! Soponyono dalam bahasa Jawa, artinya: siapa yang tahu.

Beda lagi ceritanya bila menyangkut anak angkat. Lantaran disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Sosial Nomor 110/HUK/2009, calon orang tua angkat harus beragama sama dengan si anak. Tujuannya untuk menghindari terjadinya pemaksaan agama. Anehnya, untuk anak yang tidak diketahui agamanya (seperti bayi dibuang, bayi gagal aborsi, dan lain-lain), maka agama anak tersebut disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat setingkat desa atau kelurahan.

Bicara soal pemaksaan agama pada anak, bukankah pengagamaan sejak kecil juga bisa disebut pemaksaan agama? Si anak belum memiliki kuasa untuk memilih agamanya sendiri, tetapi harus dibuat tunduk pada kehendak/keinginan orang tuanya. Seringkali tanpa informasi yang berimbang, bahkan bias referensi. Membuat sang anak tumbuh dengan anggapan-anggapan yang bisa menjadi stigma dan stereotip terhadap penganut agama lain.

Oke, itu tadi jawaban dari perspektif para orang tua. Kemudian, mengapa anak-anak harus seagama dengan orang tuanya dari perspektif agama sebagai sebuah institusi?

Sustainability. Keberadaan yang berkesinambungan. Dengan anak-anak yang seagama, itu berarti adanya regenerasi sponsor. Setelah meninggal, akan ada segaris generasi umat untuk menggantikan posisi para orang tuanya di jajaran pemberi sumbangan. Ini adalah salah satu aspek dari sedekah, konsep yang ada di semua ajaran agama. Bedanya, ada praktik sedekah yang sepenuhnya diselimuti keikhlasan, ada pula yang dilakukan demi kewajiban dan imbalan kaveling petak di surga sana.

Prinsipnya: “Ya … uang, uangmu sendiri, suka-suka kamu mau dipergunakan untuk apa.” Jadi, tinggal para pemuka agama saja yang berusaha semaksimal mungkin untuk bisa menggaet para donatur potensial. Jangan heran kalau sentimen tarik-tarikan umat marak terjadi. Tempat ibadah A berusaha menggaet orang-orang kaya, begitu pula pengurus tempat ibadah B. Keberhasilan menggandeng orang-orang kaya menjadi umatnya adalah keberhasilan yang patut dirayakan.

Sebagai konsekuensi, “hubungan baik” tersebut pun harus terus dijaga, di-maintain. Di waktu umat tersebut membutuhkan bantuan doa dan sejenisnya, sang pemuka agama harus siap sedia hadir. Namanya juga umat prioritas, yang posisinya jauh lebih tinggi dan mulia dibanding umat kelas ekonomi.

Ya! Ini terjadi.

Demikianlah sedikit gambaran tentang betapa pentingnya angka dan jumlah dalam agama sebagai institusi, organisasi, dan lembaga. Oleh karena itu, terpujilah badan-badan agama, dan tempat ibadah yang memiliki kemandirian finansialnya sendiri. Tak lagi bergantung pada sumbangan dan donasi umat-umat kelas kakap, melainkan mampu berkesinambungan dengan daya upayanya sendiri. Kendati efek sampingnya akan membuat mereka seolah tidak butuh tambahan umat, dan betul-betul eksklusif dalam kehidupan beragama.

Risiko lainnya, lembaga agama dan tempat ibadah yang mampu berdikari seperti ini, akan mudah sekali dituding sebagai institusi bisnis terselubung, yang sesungguhnya memang benar. Namanya juga social enterprise. Entahlah, mana tahu tuhan pun sebenarnya tidak suka namanya terus menerus digunakan untuk mengumpulkan uang dan sumbangan.

Mana tahu, lho, ya, yang tuhan inginkan bukanlah dompet-dompet yang dibuka. Melainkan hati yang terbuka dengan rendah hati dan sukarela. Bukan karena terpaksa, takut masuk neraka.


Terus, kalau tidak diperlakukan begini dan umatnya makin berkurang, bagaimana kalau agamanya hilang?

Memangnya kamu tahu rencana tuhan?

[]

Tinggalkan komentar

About Me

I’m Jane, the creator and author behind this blog. I’m a minimalist and simple living enthusiast who has dedicated her life to living with less and finding joy in the simple things.