Pulang ke Samarinda

PERNAH ada masanya, saya mencoba mengkritik orang-orang muda yang memilih untuk tidak pulang ke kota asal setelah bersekolah atau merantau ke luar daerah; pulau; negara; bahkan benua, terutama yang dianggap lebih maju dari tempat asalnya.

Kini, situasi itu berbalik. Kritik yang sama juga bisa ditujukan kepada saya, si penyampainya. Meskipun tetap dengan sejumlah pembeda. Salah satunya seperti bersedia muncul di video dokumenter—semacam endorsement—mengenai Samarinda berikut. Terlepas apakah tayangan ini dijadikan salah satu objek komunikasi politik menjelang Pilkada Kota Samarinda setelahnya, atau tidak. 😅

Kehidupan memang bergulir dan bekerja dengan cara yang amat misterius. Dalam tulisan “Pindah Kota” Desember tiga tahun silam, posisi dan perspektif saya tentulah sebagai seorang pemuda tanggung asal ibu kota Kaltim, yang belum pernah menetap lama (lebih dari sebulan) di luar rumah orang tua. Sekarang, tulisan ini dibuat di Samarinda, saat sedang merasakan pulang kampung untuk ketiga kalinya. Baru yang ketiga kalinya.

Lalu apa yang membuat hal ini begitu signifikan, sampai-sampai bisa dibahas khusus di Linimasa? Autokritik, keberlanjutan, dan keinginan untuk berbagi cerita saja. Senada dengan yang diutarakan Mas Roy tentang hari jadi tiga tahun blog gotong royong ini:

Cerita kami adalah cerita biasa dari orang biasa. Idealnya kami masing-masing punya waktu 7 hari untuk hidup, dan 1-2 jam untuk menuliskan hodup kita ini. Bisa juga soal ide, soal wacana, atau soal curahan hati.

~ “Ketika Nilai Tak Lagi Dinilai

Autokritik muncul sebagai salah satu bentuk koreksi, bahwa dulu pernah keliru melihat sesuatu. Pernah menganggap keengganan berkarya di kota asal dengan antusiasme dan idealisme yang sama seperti sebelumnya merupakan hal absurd dan mudah ditepis, asal ada kemauan. Pernah menganggap keengganan seseorang untuk balik kampung adalah risiko, alih-alih konsekuensi logis bagi para orang tua yang mengirimkan anak-anaknya bersekolah ke luar daerah. Semua ini hanyalah generalisasi, dan baru akan berubah jika dialami sendiri.

Akses, alternatif, dan kanal media yang terbatas di daerah asal selalu menjadi alasan keengganan. Walaupun pada dasarnya, penghuni setiap kota di Indonesia pasti akan mengeluhkan masalah serupa. Hanya berbeda skala dan cakupannya saja.

Seorang muda asal Samarinda yang tinggal di Jakarta, Surabaya, Singapura, sampai Melbourne pasti sangat melihat berbagai kekurangan dari kota asalnya. Begitu pula dengan orang Jakarta yang tinggal di Singapura, Melbourne, New York, London, dan kota-kota lainnya, pasti juga sangat melihat berbagai kekurangan dari kota asalnya.

Teringat celetukan seorang kawan: “Kalau kreatif ya kreatif aja, di mana pun dan dengan kondisi apa pun. Kalau sudah malas, biarpun semuanya serbalengkap, enggak bakal ngapa-ngapain juga.

Pada kenyataannya, selalu ada yang baru setiap kali pulang. Kota ini tidak pernah gagal memberi kejutan, terutama yang berkaitan dengan kreasi dan anak muda yang haus eksistensi aktualisasi diri.

Dalam kepulangan kali ini, baru tahu kalau Samarinda telah memiliki creative community hub yang baru kendati tetap dibayangi akuisisi oleh perusahaan rokok melalui sponsorship. Ada pula lonjakan pertumbuhan coffeeshop atau kedai-kedai kopi kekinian, tampaknya mengulangi tren yang pernah terjadi sekitar 2007-2008. Bedanya, beberapa coffeeshop dibuka oleh anak muda, berbeda dengan yang terjadi sepuluh tahun sebelumnya. Kemudian, setidaknya sudah ada dua coworking space, yang mudah-mudahan termanfaatkan dengan sebagaimana mestinya.

Foto: Deni Dermanto

Samarinda memang tidak seramai Solo, Semarang, Malang, atau kota-kota menengah lainnya di Indonesia, namun dari ketiga contoh kejutan di atas saja, sudah mematahkan anggapan soal surutnya antusiasme di daerah.

Dengan demikian sekali lagi, ini bukan perkara benar at salah, melainkan tentang konsekuensi. Baik jadi pendatang yang memilih berpindah tempat tinggal, maupun yang tetap “balik kandang” semua punya impact-nya masing-masing.

Di kota asalnya atau di perantauan, mereka tetap bisa berkarya.

[]

6 tanggapan untuk “Pulang ke Samarinda”

  1. […] Selalu dan selalu, pernikahan serta kehidupan setelahnya menjadi topik pembicaraan yang membahana ketika mudik. Termasuk saat pulang kampung akhir November lalu. […]

    Suka

  2. […] SELALU dan selalu, pernikahan serta kehidupan setelahnya menjadi topik pembicaraan yang membahana ketika mudik. Termasuk saat pulang kampung akhir November lalu. […]

    Suka

  3. oleh oleeehhh
    #eh

    Suka

  4. Nyimak Sambil ngunyah bacang nyonya lena #korbanpostingansebelumnya

    Suka

    1. mau bacangnya jugaaa
      #BM

      Suka

  5. aku ga punya kampung

    *ga ada yg tanyak!!

    Suka

Tinggalkan komentar

About Me

I’m Jane, the creator and author behind this blog. I’m a minimalist and simple living enthusiast who has dedicated her life to living with less and finding joy in the simple things.