Dear Mr. Nolan,
Iโm sorry.
Itโs not you.
Itโs me.
Setengah mati (maaf, bukan bermaksud sengaja) saya berusaha mencintai film Dunkirk. Sampai tiga kali saya mencoba mencintainya.
Namun apa daya, perasaan penuh kasih itu tidak kunjung datang jua.
Ya, sampai tiga kali.
Yang pertama, terjadi akhir pekan lalu.
Menuju bioskop dengan perasaan berdebar. Penantian hampir setahun akhirnya datang juga.
Namun apa yang terjadi?
Dari momen-momen awal film, saya terkejut. Tiba-tiba saja banyak pertanyaan berkecamuk di dalam dada dan kepala. Pertanyaan-pertanyaan seperti, โIni siapa? Kenapa mereka bertingkah laku seperti itu? Kenapa saya malah sibuk memperhatikan tata musik dengan irama dan tabuhan yang menggelora dan membahana โฆ Wait a minute. Ini pasti Hans Zimmer! Lalu sinematografinya kok mirip kayak yang di Interstellar ya di beberapa adegan, terutama tone warnanya โฆ Wait a minute. Ini pasti si Hoytema – Hoytema itu. Aduh, kenapa jadi nggak konsen gini sih?โ
Keluar dari bioskop, saya merasa underwhelmed. Terlalu sibuk terkesima dengan elemen-elemen teknis, saya gagal menyatukan kesemuanya dalam mata saya sebagai satu kesatuan gambar yang utuh. Or did I really fail?
Lalu langkah kaki ini memutuskan untuk menenangkan diri sambil makan di kedai terdekat. Paling tidak ada jeda waktu, sebelum masuk ke dalam bioskop menonton War for the Planet of the Apes. Tidak seperti film sebelumnya, saya malah tersenyum sepanjang film ini. Padahal sudah lewat tengah malam. Namun mata nyaris tak mau berkedip, berpaling dari layar, meskipun banyak adegan keras.
Saya pulang dengan rasa senang atas film yang baru saja ditonton, tapi masih penasaran dengan film yang sebelumnya. Akhirnya saya putuskan, mungkin ada yang salah dengan saya, yang tidak menyukai film Nolan kali ini. Saya protes ke diri sendiri, โNggak mungkin! Wong dulu keluar dari nonton Inception langsung sumringah kayak fanboy lagi kelojotan, kok!โ
Masuk tontonan yang kedua di hari berikutnya. Kali ini di layar lebar yang lebih besar. Mulai memalingkan sisi teknis. Berusaha konsentrasi ke cerita. Mulai โngehโ struktur cerita yang ada. โOh, begini, tho. Gaya penceritaannya tidak linear, atau tidak lurus. Oke. Fine. Tapi dari tadi kenapa nggak ada karakter yang nyantol di kepala ya?โ
Alih-alih konsentrasi ke film, yang ada malah benak saya berputar-putar mengingat-ingat beberapa film perang yang pernah ditonton selama ini. Malah sempat saya berpikir, โApa karena kebanyakan nonton film selama ini, jadi gak bisa menikmati film ini ya?โ
Selesai film, masih merasa aneh sendiri. Lalu baru ngeh, โPadahal semua film Christopher Nolan pasti ditonton lebih dari sekali di bioskop. Dan itu juga karena semuanya gue suka, termasuk Insomnia sama The Prestige yang sebenarnya just okay lah. Tapi kok yang ini โฆโ
Dengan memegang pedoman โthe third timeโs the charmโ, maka keesokan harinya, bergegas saya menonton Dunkirk untuk ketiga kalinya dalam tiga hari di layar yang masih lebar.
Hasilnya? Jidat saya makin lebar, karena masih kebanyakan berpikir. Masih belum puas. Malah sempat protes, โKenapa adegan one-take, single-tracking yang panjang selama 5 menit di film Atonement bisa efektif mengungkap suasana horor di Dunkirk?โ
Dan sepertinya, sampai nonton film terbaru Nolan ini beberapa kali pun dalam waktu dekat, paling tidak sampai 2 minggu ke depan, hasilnya masih akan tetap sama: this time, Iโm falling out love.
Iโm sorry, Mr. Nolan.
Itโs not you.
Itโs me.
Keputusan saya akhirnya menganggap Dunkirk tak ubahnya sebagai karya seni yang bisa saya kagumi, tapi tidak bisa saya sukai, apalagi dicintai.
Genre film perang memang bukan genre film yang lantas muncul paling atas kalau ditanya โjenis film favoritmu apa?โ ke saya.
Tapi dari sedikit film perang yang saya tonton selama ini, paling tidak ada satu hal di semua film-film itu yang membuat saya betah menontonnya.
Manusia dalam cerita film, atau karakter.
Terus terang, saya tidak bisa berempati pada karakter-karakter di Dunkirk, despite their based-on-real-life. Terasa dingin, sedingin tatapan Nolan dan beberapa appraisal terhadap karakter-karakter di film-film Nolan yang katanya dingin.
Taruhlah memang karakter di Dunkirk memang โdibuatโ dingin dan berjarak, berhubung sutradaranya โdingin dan berjarakโ. Dengan pendapat ini, maka saya tak berhenti berpikir: bukankah almarhum Stanley Kubrick juga tidak kalah dingin, namun dia bisa membuat film anti-war humanis dalam Paths of Glory (1957)?
Mungkin tidak adil membandingkannya, apalagi dengan ada biased opinion bahwa film Paths of Glory memang salah satu film favorit saya sepanjang masa. Toh memang sejatinya a film shall stand on its own, incomparable to others. Tapi sebagai penonton, mau tak mau ada subyektifitas perbandingan saat menonton dua atau lebih karya visual dengan tema atau setting cerita yang sama.
Sepulang menonton Dunkirk, saya menonton ulang beberapa film perang. Saya ingin memastikan, apakah sensasinya sama seperti film Nolan ini.
Yang pertama, The Bridge on the River Kwai (1957). Mungkin lebih dari 17 tahun sudah tidak menonton film ini. Tapi dengan alur yang lambat untuk tontonan masa sekarang, saya masih betah mengikuti ceritanya. Masih kagum dengan bahasa tubuh Alec Guinness sebagai komandan yang terlucuti. Masih gregetan dengan karakter-karakter di film ini.
Lalu saya menonton Das Boot (1981), film Jerman karya Wolfgang Petersen yang mengisahkan tentang usaha kru kapal selam Jerman (U-boat) di Perang Dunia ke-2 untuk menyelesaikan misi mereka, dan bertahan hidup. Terus terang dulu saya pernah menonton film ini waktu kecil, dan tidak selesai. Waktu akhirnya puluhan tahun kemudian saya menonton film ini sampai selesai, tak sadar saya tepuk tangan, meskipun nonton di ruang tamu sendirian.
Film berikutnya yang saya tonton ulang adalah Letters from Iwo Jima (2006) karya sutradara Clint Eastwood. Sepuluh tahun yang lalu, saya menonton dengan terburu-buru. Banyak detil adegan yang tak tertangkap. Sepuluh tahun kemudian, saya melihat lagi film ini, dan menerimanya sebagai studi karakter yang sangat multi-dimensional.
Terakhir saya menemukan film lama yang belum pernah saya tonton di rak film: In Which We Serve (1942). Film ini tanpa tedeng aling-aling menegaskan diri sebagai film perang propaganda, yang memang dibuat untuk membangkitkan moral tentara Inggris waktu itu. Berbicara tentang propaganda, bukankah Dunkirk juga demikian adanya? Dengan fokus kepada pasukan Inggris di Perang Dunia II, film In Which We Serve secara berani menampilkan efek menakutkan sebuah perang besar dalam kehidupan sehari-hari, meskipun payung besar ceritanya adalah perjalanan kapal perang Inggris.
Ada beberapa bagian dalam film In Which yang mau tidak mau mengingatkan saya pada beberapa bagian di film Dunkirk. Adegan para tentara terombang-ambing di laut, misalnya. Dan tentu saja bagian cerita dari In Which juga berkisar seputar penyelamatan tentara di Dunkirk.
Kalau boleh jujur, ini mungkin pertama kalinya saya bisa nonton satu film selama tiga kali berturut-turut bukan karena suka sama filmnya. Justru sebaliknya. Dan rasa ketidaksukaan itu membuat saya semakin penasaran, sampai mencari film-film pembanding lain sebagai visual analysis companion.
Toh tidak suka bukan berarti benci. Hate is too strong of a word when it comes to work of art. In fact, most of the times, I hate the word โhateโ. Buat saya, Dunkirk adalah, lagi-lagi, karya seni yang dibuat dengan perhitungan cermat dan matang oleh pembuatnya. Setiap elemen teknisnya sempurna on their own. Tapi yang saya rasakan adalah the great emotional distance, yang tidak saya rasakan saat menonton film-film macam Saving Private Ryan, atau The Thin Red Line.
In fact, dua film itu, bersama film-film lain yang disebut di atas dan yang tidak disebut, terus menari-nari sepanjang nonton Dunkirk. Seakan-akan saya mencoba mencari paralel potongan adegan tertentu di film-film bertema perang yang pernah saya tonton. Mendengarkannya saja sudah capek, bukan?
Sementara kebalikannya, saya tidak berpikir apa-apa saat menonton War for the Planet of the Apes. Sangat menikmati setiap curves and turns di penceritaannya, meskipun sudah tahu arah ceritanya. Tetapi begitu googling informasi filmnya, saya terkejut membaca bahwa sutradara dan penulis naskahnya, Matt Reeves dan Mark Bomback, menghabiskan banyak waktu menonton film-film lama, di luar trilogi Apes yang asli, untuk mendapatkan inspirasi cerita.
Lalu saya mengingat-ingat lagi, dan sadar bahwa memang ada bagian-bagian cerita di War for the Planet of the Apes ini yang diambil dari film-film John Wayne. Toh yang kita lihat di layar lebar adalah film yang utuh, baik visualisasi maupun penceritaan, yang mampu meramu semua elemen-elemen teknis melebur menjadi satu kesatuan yang cadas dan cerdas.
Christopher Nolan memang mengambil resiko artistik yang besar di setiap filmnya. Mungkin Dunkirk yang paling besar. Mungkin juga yang paling personal, walaupun ini hanya asumsi belaka. Dan setiap seniman yang mampu mengambil resiko artistik yang rapuh dan rentan perlu kita apresiasi. Meskipun apresiasi itu datangnya tidak sepenuh hati.
So, dear Mr. Nolan,
Itโs not me.
Itโs you.
Itโs always you we respect the most.
And sometimes, respect comes from a distance.
Tinggalkan Balasan ke Rheanne Thea Sjahrir Batalkan balasan