Berburu Pembenaran

SELALU terasa nikmat dan menyenangkan (atau paling tidak pernah tahu bagaimana rasanya), ketika ucapan dan perbuatan kita mendapat pembenaran atau pembelaan.

Perasaan menyenangkan itu membekas dalam ingatan sejak dulu, setelah pertama kalinya merasakan “dibela” waktu masih kecil. Saking nikmatnya sampai-sampai tanpa sadar menjadi semacam kecanduan, membuat kita selalu mencari dan berusaha mendapatkan pembenaran dari mana saja.

Kembali ke waktu kecil, kita yang masih bocah biasanya akan datang ke mama/papa/om/tante/kakek/nenek sambil merengek atau mewek. Kebiasaan itu berlanjut setelah dewasa, ketika kita mencari pembenaran dan pembelaan dari sesama manusia, maupun dari buku-buku, teori-teori, dalil-dalil, juga anggapan-anggapan.

Pembenaran menjadi candu karena memberikan validasi, menjadi tameng (untuk mempertahankan) ego, atau bahkan “lubricative arguments” yang membuat kita merasa sudah sangat benar sehingga tidak akan bisa dibantah atau disalahkan. Seolah mempersilakan kita mengatakan kepada orang lain: “Tuh, kan. Gue bilang juga apa. Jangan sotoy deh kalo sama gue” atau “Habisnya dia begini dan begitu sih…” sambil berkacak pinggang.

Mengutip Mas Roy pagi tadi, beberapa contoh lainnya semisal:

“Pakai rok mini, berarti boleh dicolek dong.”
“Pagi hari susah dicari di meja kerja, kan lagi ibadah pagi.”
“Rumah di Bekasi, boleh datang telat dong.”
“Sudah sekolah tinggi, urusan pangkat gua duluan dong.”

Pembenaran untuk hal-hal yang tidak sepatutnya.

Celana pendek dan paha tidak bisa dijadikan pembenaran untuk melakukan pelecehan. Foto: The Odyssey Online

Mungkin seperti itu rasanya kalau jadi invincible, kebal, sakti mandraguna. Terkondisi untuk menjadi pongah dan angkuh. Ditambah lagi, dalam konteks ini pembenaran memiliki konotasi negatif. Pembenaran dimaknai sebagai membenar-benarkan sesuatu yang salah. Saya yakin para ahli bahasa Indonesia pasti punya penjelasannya.

Apabila tidak mendapatkan pembenaran atau pembelaan yang diinginkan, kita cenderung akan membuatnya sendiri. Tepat/tidaknya, logis/tidaknya, patut/tidaknya pembenaran yang kita buat, bergantung sepenuhnya pada kedalaman berpikir serta kemampuan berkomunikasi dalam menyampaikan pembenaran tersebut. Termasuk cocoklogi, mencocok-cocokan banyak hal sesuka hati dengan pemahaman ala kadarnya. Uthak athik gathuk, istilahnya dalam bahasa Jawa.

Kita baru benar-benar terpojok tatkala sudah tidak mampu memikirkan alasan apa pun untuk dijadikan pembenaran. Saat itu terjadi, hanya ada tiga bentuk respons yang bisa dilakukan. Menjadi defensif dan tetap mati-matian menolak untuk disalahkan entah bagaimana pun caranya (mengamuk, menangis hingga pingsan, menyalahkan orang lain, mengancam ingin bunuh diri, dan sebagainya); menerima kesalahan dan mengakui kekeliruan yang diperbuat; atau malah bersikap biasa-biasa saja alias cuek.

Kondisi ini alamiah dan merupakan bagian dari mekanisme perlindungan diri. Pasalnya, setiap orang hanya melekat kepada hal-hal yang menyenangkan, serta menjauhi semua yang sebaliknya. Semua ingin menjadi yang benar, dan tidak ada satu pun yang mau dianggap bersalah atau disalahkan karena… rasanya tidak menyenangkan.

Kendati demikian, akan jauh lebih baik bila sifat ini dikikis perlahan. Dengan kecanduan pembenaran dan pembelaan, kita tidak bertumbuh dalam kedewasaan berpikir dan bersikap.

Mandiri itu bukan semata-mata urusan mampu makan, minum, mandi, cebok, cuci-cuci, berpenghasilan, beli apartemen/rumah/kendaraan sendiri, tapi juga termasuk dalam berpikir dan bertindak. Yakni mampu mempertimbangkan sesuatu sebelum dilakukan, serta mampu menghadapi konsekuensi dan tanggung jawab yang muncul belakangan.

Kemampuan mempertimbangkan ini pun bukan sekadar urusan “apa untung-ruginya buat aku?” namun termasuk “apa dampaknya bagi orang lain dan lingkungan?

Kita semua tahu persis betapa menyebalkannya orang-orang yang selalu mencari dukungan untuk tindakan yang mereka lakukan. Keadaan ini ada hampir di segala lingkungan; di rumah, di sekolah atau kampus, di kantor, di lingkungan tempat tinggal, dan sebagainya. Asal jangan lupa, ada kalanya kita pun bisa bersikap seperti itu. Kita menjadi orang yang menyebalkan bagi orang lain, dan mencari-cari pembenaran atas perbuatan kita sendiri.

Semuanya sama-sama bangke, cuma beda kesempatan dan penempatannya saja. Siapa yang menjadi pelaku, dan siapa yang menjadi pemirsa.

Terus? Mesti ngapain?

Coba saja diawali dengan bercermin lebih sering, bukan cuma untuk melihat pantulan wajah dan tubuh sendiri, melainkan melihat apa yang ada di dalam diri. Bagaimana kita memutuskan untuk berucap atau berbuat sesuatu? Seberapa mampu kita bertanggung jawab atas semua ucapan dan perbuatan sendiri? Seberapa siap kita untuk tidak kalang kabut mencari pembenaran ketika dikonfrontasi? Seberapa berani kita mengakui kesalahan dan menelan rasa malu?

[]

2 respons untuk ‘Berburu Pembenaran

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s