”Untung dulu belum ada Facebook.”
“Kenapa?”
“Gue juga bakal masuk jangan-jangan.”
“Amit-amit ah, Mi.”
Ami (bukan nama sebenarnya), masih umur 6 tahun waktu Om Dodi yang sering berkunjung ke rumah rajin masuk kamarnya. Melakukan satu hal yang mereka sebut “disayang-sayang.”
“Kalo Om Dodi masuk kamar, terus minta ‘disayang-sayang’ itu artinya gue kudu buka baju. Celana dalem. Semuanya… Enggak, gue nggak diperkosa, tapi…”
“Mi…”
“Om Dodi pegang dari rambut, kaki. Terus… Dia mulai jilat-jilat pantat, memek gue. Lama banget. Gue diem aja sih…”
“Kamu diancem waktu itu?”
“Enggak juga. Dia kan Om gue, ya nurut aja.”
Cerita ini meluncur waktu kami sudah di bangku kuliah. 15 tahun sejak Om Dodi minta “disayang-sayang.” 1 tahun setelah Om Dodi meninggal karena Diabetes. Butuh lebih dari satu dekade buat Ami kecil sadar, apa yang dilakukan paman kandungnya itu jauh dari kasih sayang yang dibenarkan. Ami kecil cuma jadi anak patuh yang menuruti kata orang tua.
“Kamu ndak cerita sama siapa-siapa Mi?”
“Enggak.”
“Mama, Papa?”
“Enggak lah. Gila aja. Lagian gua nggak tau itu mesti diceritain gitu.”
Om Dodi berhenti minta “disayang-sayang” waktu Ami menginjak 9 tahun. Pindah ke Jakarta dari Semarang. Entah karena Om Dodi ndak tertarik lagi, atau jarak yang menyulitkan. Tapi 3 tahun pelecehan yang dialami Ami, sekarang terkubur bersama tingginya gula darah Om Dodi di pekuburan Karet.
“Gue nggak tau trauma apa enggak. Butuh rehab gitu-gitu. Yang jelas, kadang-kadang kalo lagi inget ya nyesek juga.”
“Kok kadang-kadang?”
“Udah lama itu. Kadang inget. Kadang lupa kan.”
Ndak ada luka fisik yang Ami kecil alami. Ia bersikeras bukan korban perkosaan. Entah apa namanya, salah kasih sayang? Tapi kami tahu. Kadang-kadang yang ia maksud bertahan seumur hidup. Ami selalu ingat, ia pernah “disayang-sayang” Om Dodi. Di mana kejadiannya. Bagian tubuh mana saja yang Om Dodi jilati. Bagaimana Om Dodi merayu Ami kecil sampai mau menuruti keinginan ganjilnya. Om Dodi akan jadi bagian dari Ami, selamanya.
Terlambat? Oh sama sekali ndak. Ami segera menghubungiku setelah melihat kasus Lolly Candy di LINE Today.
“Soal Om Dodi udahlah. Udah mati juga orangnya. Sekarang gue minta lo ceritain soal gue ini ke Sekar. Cuma ini caranya.”
Kita ndak mungkin membayangi anak kita 24 jam sehari. Sementara 90% pelaku pelecehan seksual pada anak-anak adalah keluarga dekat. Orang yang bisa dipercaya. Punya pertalian darah. Paman, ayah, tetangga, guru ngaji, guru sekolah, satpam, siapapun yang gila rasanya kalau kita curigai. Mereka sembunyi begitu rapinya di balik kedok kasih sayang dan patuh pada orang tua.
Ami percaya, ceritanya bisa menyelamatkan anak lain. Mereka harus tau apa yang mereka mesti lindungi. Siapa yang berhak atas tubuh mereka. Dan apa saja yang mesti diceritakan pada orang tua mereka, segera.
Untuk menghadapi monster yang ndak jelas wujudnya. Kita mesti mempersenjatai anak kita dengan pengetahuan dan kemampuan.
“Nah, kalo ada yang mau begitu sama kakak kayak Om-nya tante Ami. Kakak tau kan harus gimana?”
“Iya. Aku bunuh.”
“Kalo ndak mati?”
“Aku kasitau Om, biar Om Gendut yang bunuh.”
Mau komen ngasal di tulisan seserius ini gak enak juga. Tapi emg iya sih, skrg predator itu bisa jadi siapa aja. Tua muda, single double, dll. Big warning buat para ortu.
SukaSuka
Meskipun di buat seringan mungkin, bahkan terkesan tidak serius,..
SukaSuka
😦
SukaSuka