Tuhan Bukan Penggemar Telenovela

SEBENARNYA, ada berapa banyak orang kita yang merasa jemu sih ketika harus mendengarkan “lagu lama” setiap tahunnya? “Lagu lama” soal friksi-friksi horizontal yang sejatinya personal dan terbatas, namun seolah dikumandangkan dari segerobak pelantang di pinggir jalan. Ada yang berjoget dan memberi saweran, ada yang cuek dan melintas begitu saja, ada pula preman yang minta jatah keamanan.

Bosan banget, tahu enggak sih, kalau setiap tahun harus terus menerus berputar pada masalah yang itu-itu saja. Yang terkini, salah satunya seperti penyempitan makna atas pelaksanaan puasa Ramadan. Ketika ibadah yang semestinya dijadikan wahana refleksi diri dan sarana untuk laku prihatin, apa pun kondisi yang dihadapi, malah menjadi pembenaran untuk bertindak tidak manusiawi. Lebih parah lagi, bahkan dibakukan sekelas hukum positif, bermain di ranah sosial yang konkrit dan dapat dilihat mata kepala sendiri setiap hari.

Banyak banget yang demen acting and enacting like religions’ god. Ya! Religions’ god, karena makin ke sini kayaknya begitu yang terjadi. Seolah tuhan maupun sifat-sifat ketuhanan itu hanya dan hanya bisa muncul dari sebuah kotak bernama agama, yang dibuka dengan pemahaman mahaterbatas milik manusia.

Ah, sok tahu kamu, Gon! Dari mana kamu bisa bilang sedang terjadi penyempitan makna atas pelaksanaan puasa Ramadan? Kamu kan bukan orang Islam!

Betul sekali. Saya memang bukan muslim, dan konon sesuai etiket ketimuran khas Endonesa Raya, saya tidak berhak bicara sepatah kata pun mengenai Islam dan keislaman. Semua pendapat saya tidak valid. Kecuali untuk hal-hal tertentu yang bersifat positif dan memuliakan. Padahal, jelas bahwa yang saya maksud dengan “penyempitan makna atas pelaksanaan puasa Ramadan” adalah soal orang-orangnya, bukan praktik ibadahnya.

Selain itu, terlepas dari dikotomi muslim-bukan muslim atau agama apa pun, pada kenyataannya saya dan Anda sama saja. Kita adalah para manusia yang sampai saat ini sama-sama tidak bisa menjangkau tuhan. Dan entah sebanyak apa pun pengetahuan mengenai tuhan yang kita klaim dari dalil-dalil agama, pada kenyataannya belum tentu benar-benar mampu membuat kita merealisasi Sang Causa Prima.

Kita sama-sama belum tentu benar atau salah.

Let’s say… Kita ambil contoh penerapan Perda larangan berjualan makanan selama bulan Ramadan. Alasannya jelas: menghormati umat muslim yang berpuasa. Ditarik lebih dalam: agar tercipta suasana ibadah Ramadan yang kondusif (baca: minim gangguan berupa aroma, rupa, bahkan suara). Ditarik lebih dalam lagi: supaya puasanya lancar pada hari itu (baca: benar-benar terhindar dari makan dan minum). Ditarik lebih dalam lagi: dengan begitu, umat muslim yang akhirnya berhasil tidak makan dan minum pun berhak mendapatkan pahala karena telah menjalankan perintah agama. Makanya pemerintah membantu para warga yang muslim untuk bisa mendapatkan pahala dengan cara penertiban tempat-tempat berjualan makanan, termasuk dengan cara penyitaan.

Apakah ada jaminan tuhan benar-benar senang dengan cara itu?

Silakan jawab.

That’s attrition. Bandingkan dengan isi doa niat berpuasa.

Lebih galatnya lagi, Perda ternyata juga berlaku untuk rumah makan-rumah makan masakan (yang diduga) non-halal, yang bahkan banyak umat muslim setempat enggan untuk datang di bulan-bulan lainnya.

Capture 1
Dari kawan di Banjarmasin. Yang disita barangkali: Lapchiong, Bakcang, Ngohiong, Misua, Siobak, Chasiu, dan Sate Babi. Barangkali.

 

Capture
Cuplikan share+comment FB seorang teman di Samarinda. Intinya, karena tidak penting, jadi yang lain disuruh diam.

Itu sebabnya, antara gelombang pujian dan dukungan, serta cibiran dan hinaan atas gerakan spontan (dan impulsif) pengumpulan dana untuk ibu-ibu warung yang masakannya pada diambilin anggota Satpol PP di Serang oleh seorang kenalan, saya lebih sreg melihatnya sebagai experimental explosion in a social laboratorium, yang ternyata berdampak akhir sangat luar biasa. Minimal secara angka. Membantu subjek? Sangat! Menarik untuk diteliti lebih lanjut? Tentu. Untung aja sampai sejauh ini saya belum ketemu komentar negatif yang mengangkat suku dan agama para pencetus donasi. Kebetulan Tionghoa, dan bukan muslim.

Eits, jangan sedih dulu. Urun pendapat di atas juga berlaku untuk semua agama kok. Kebetulan saja yang berlangsung sekarang adalah ibadah puasanya para ikhwan dan akhwat sekalian. Sebab hampir semua agama yang resmi diakui di republik ini punya ritual puasanya masing-masing. Namun barangkali karena beda cara, gaya, dan waktunya, jadi kurang dianggap layaknya puasa, serta enggak perlu dibuatkan Perdanya. Paling-paling di Bali doang yang jadi semacam aturan publik (Catur Brata Penyepian), dan konyolnya malah dijadikan pembanding tak imbang dengan urusan larangan berjualan makanan. Pasti sudah pernah baca meme-nya, kan?

Bagi yang Kristen, contoh berikutnya. Ada puasa dan berpantang daging maupun ikan selama masa pra-Paskah. Salah satu junior saya yang seorang Katolik di Samarinda mengaku menjalankannya selama 40-an hari. Ada pula sub denominasi Pantekosta yang bervegetarian senantiasa.

Dalam ajaran Khonghucu, sang nabi malah menggunakan istilah “心齋” atau puasa hati, yang sekilas mengingatkan pada konsep menahan hawa nafsu saat Ramadan.

Bagi para Buddhis, terutama mazhab Theravada. Dalam sebulan ada empat hari berpuasa, tanggal 1, 8, 15, dan 23 berdasarkan penanggalan bulan. Makan hanya bisa dilakukan sejak fajar (opsional), sampai sebelum tengah hari. Selain itu, selama sepanjang hari juga tidak boleh melakukan aktivitas seksual, tidak menari, menyanyi, bermain musik, melihat permainan/pertunjukan, tidak memakai bunga-bungaan, wangi-wangian dan alat kosmetik lain untuk tujuan menghias/mempercantik diri, serta menghindari penggunaan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi, besar dan mewah. Semua ketentuan itu ditambah dengan tidak boleh membunuh makhluk apa pun, berbohong, mencuri, dan mengkonsumsi zat pelemah kesadaran. Pada prinsipnya, satu saja yang dilanggar, puasa pun batal. Diperlukan keteguhan hati dan kesadaran yang cukup kuat untuk menjalankannya di lingkungan sehari-hari. Ini baru untuk umat biasa, yang lebih memilih untuk menginap di vihara biar suasananya mendukung. Itu pun kalau bisa cuti. Sedangkan para Bhikkhu menjalankannya setiap hari seumur hidup, ditambah peraturan-peraturan lainnya.

FYI, selama bulan puasa, semua tempat karaoke keluarga di Samarinda harus tutup. Jadwal penayangan bioskop pun hanya sampai sore hari. Malah beberapa tahun lalu, bioskop harus ditutup sebulan penuh dan dianggap sama seperti Tempat Hiburan Malam (THM). Apabila mau dicocok-cocokkan, peraturan seperti ini lebih pas untuk puasa agama apa coba?

Nah, beda lagi ceritanya kalau ada sebuah peristiwa yang bisa “menyatukan” umat semua agama. Tak peduli apa pun agamanya, mereka tetap acting like a god dalam menentukan batas benar dan salah. Ini contohnya.

IMG_0622
Para “tuhan”, yang benaknya kejam.

The world is a fine place and worth fighting for and I hate very much to leave it.” Ini kata Hemingway, dan jangan sampai kita jadikan yang sebaliknya.

[]

4 tanggapan untuk “Tuhan Bukan Penggemar Telenovela”

  1. Ketika banyak orang masih belum begitu mengerti prinsip kemanusiaan namun mengaku sudah memeluk prinsip ketuhanan. #ironic

    Disukai oleh 1 orang

  2. kemanusiaan yang maha esa semestinya diajarkan pertama kali, baru kemudian ketuhanan yang adil dan beradab.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Tapi kemanusiaan-nya ada belakangnya : ADIL dan BERADAB. Ini aja yang suka dilupain sama mereka2 itu.

      Suka

  3. Sedihnya.

    Suka

Tinggalkan komentar

About Me

I’m Jane, the creator and author behind this blog. I’m a minimalist and simple living enthusiast who has dedicated her life to living with less and finding joy in the simple things.