JONATHAN
Selagi kering “handuk” adalah saat terbaik untuk menyisir rambut supaya terlihat rapi sepanjang hari. Tepat sepuluh senti diatas kuping kanan ia tarik perlahan rambutnya ke kiri dengan sisir rapat. Sampai kaku. Rambut Jonathan seperti terbuat dari kayu besi Kalimantan yang dilumuri vernish. Sejak Jonathan berumur delapan ia sudah mahir mematut diri di depan cermin tanpa bantuan ibunya. Sekarang, genap dua tahun ia melakukan rutinitas sebelum berangkat sekolah tersebut seorang diri.
Bukan cuma urusan dandan-berdandan rupanya Jonathan ingin mandiri. Dengan penuh tanggung jawab, Jonathan mengajukan proposal kemandirian pada kedua orangtuanya seminggu lalu. Dengan bahasa ringkas tercetak komputer pada secarik kertas A4:
“Papa Mama, Nathan sudah besar, Nathan ingin:
1. Jadi kakak
2. Berangkat sekolah sendiri
3. Masak sendiri
4. Gendong mama
5. Cari uang sendiri
6. Menikah
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Jonathan Liem”
Membaca isi kertas itu ayah Jonathan memuntahkan tiga tegukan tehnya kearah hidangan di meja makan. Betapa pagi yang mengerikan, anak semata wayangnya minta hal-hal yang “mematikan selera makan”. Terutama pasal ke enam, sepakat ayah dan ibunya mengkhawatirkan kertas itu.
Berhubung Jonathan berdiri diam di depan kedua orangtuanya menunggu sebuah jawaban, atau sebuah keputusan, atau sebuah hukuman, atau entahlah-iapun tak hendak memikirkanya. Ibu bertanya apakah poin-poin ini sebuah urutan keinginan. Dimana jika keinginan nomor satu belum terkabul maka ia tidak akan menginjak ke nomor berikutnya?
Jonathan mengagguk tegas tanpa bicara. Jelas keinginan pertama sudah terkabul, entah disadari atau tidak oleh Jonathan. Sejak tiga bulan lalu Ibu tidak lagi memakai celana jeans kesayanganya. Perut ibu sudah sama dengan boneka beruang di kamar dan ibu menutup semua cermin di rumah kecuali cermin Jonathan.
Oleh karena anggukan Jonathan tadi kedua orangtua muda itu merasa sedikit berlega hati. Bukan karena merestui kehamilan ibu yang dengan ajaib terjadi dikala ayah selesai melakukan pengangkatan testikel akibat kanker prostat. Atau berkurangnya budget pendidikan yang telah dialokasikan ayah jadi iuran judi Macau di mangga besar. Tapi karena poin ke enam masih “agak” jauh, dan harus melewati poin-poin sebelumnya yang-menurut anggapan mereka cukup berat.
Berselang duapuluh menit dari serah terima kertas proposal tadi barulah Ayah memberikan keputusanya. Beliau mengabulkan semua rinci permintaan Jonathan tanpa kecuali dengan persetujuan ibu tentunya. Karena diberikan dalam sebuah lembaran resmi terketik rapi, maka Jonathanpun meminta jawaban berupa pernyataan resmi hitam diatas putih juga terketik rapi. Ayah segera membuatkan memo resmi yang bertuliskan:
“Papa Mama setuju, dengan catatan Nathan tetap sayang sama Papa Mama apapun yang terjadi.”
JAM HAMPIR MENUNJUKKAN PUKUL 07.30 pagi, pertanda Jonathan harus berburu dengan waktu menuju sekolah. Ia memutuskan tetap pakai jasa Pak Kardi dan mobil jaguar hitam ayahnya pagi itu. Tapi tidak untuk siang nanti saat ia selesai sekolah. Sepanjang perjalanan ke sekolah ia mencatat semua hal yang dilihatnya berkenaan dengan bus metromini di kiri kanan jalan. Nomor bis, perhentian, trayek, bahkan tulisan hitam yang menghiasi perut bis. Jonathan berniat menaiki bis-bis jingga itu menggantikan jasa Pak Kardi dan Jaguar.
SULAIMAN
Tegukkan terakhir teh Ibu Mirnah yang ia bawa pulang semalam tandas pagi ini. Pukul 4.30 pagi Sulaiman siap berangkat kerja. Tidak seperti biasanya ia bersiap-siap dini hari, bahkan istrinya belum bangun untuk menyuguhkan kopi.
Sejak seminggu lalu Sulaiman jadi pendiam. Sering termenung. Tidak hanya di rumah tapi juga di pangkalan, di warung atau di jalan. Istri Sulaiman-Jasiyam dan ke lima anaknya mengira sang ayah sudah bosan jadi supir bus. Mungkin ia ingin sekolah, kuliah, dan mendapatkan uang banyak sebagai pegawai kantoran?
Sulaiman dikaruniai lima orang putri dan seorang putra bungsu bernama Bayu yang telah berpulang karena demam berdarah tiga bulan lalu. Peristiwa itu meremukkan hati Sulaiman. Putra gagah satu-satunya yang seharusnya akan naik ke kelas lima SD ditaklukan oleh seekor nyamuk belang terkutuk. Kini Ia rajin berkunjung ke Masjid dan menjamah akrab Al-Qur’an. Melantunkannya dengan sangat merdu setiap malam di rumah gubuknya yang berbatas anyaman bambu dengan tetangga. Walau ia tak mengerti apa arti ayat-ayat yang ia lagukan itu, Sulaiman melakukanya berjam-jam diselingi tangis atau senyum melihat anak-istrinya terlelap bermukena di sekeliling ruangan rumahnya. Semacam perasaan hangat menyergap Sulaiman setelah ayat-ayat tersebut puas ia lagukan. Ia lalu merapikan posisi gadis-gadisnya kemudian tidur membujur bersama sang istri di kaki kelima anaknya tadi. Sudah seperti jaminan baginya malam itu ia terbebas dari beban pikiran akan putra tercintanya, Bayu.
Berkali-kali Mpok Inah menawarinya pekerjaan untuk anak-anaknya. Sebagai pembantu rumah tangga atau penjaga warung tengah malam di Ceger. Sulaiman selalu menolak tawaran itu. Ia beranggapan bahwa “seragam” akan menjanjikan hidup yang lebih baik bagi putri-putrinya. Maka Sulaiman bertekad untuk menyekolahkan mereka setinggi mungkin.
Jasiyam adalah malaikat untuk Sulaiman. Selagi Sulaiman pergi kerja, ia mencuci pakaian titipan tetangga sekitarnya dengan upah lumayan. Setidaknya lepas makan sehari untuk keluarga sudah dapat teratasi. Malam tadi sedikit janggal bagi Jasiyam karena diperintahkan suaminya untuk menyetrika rapi kemeja biru yang sudah dua tahun kusut tak tentu arah. Seusai sholat Isa dan mengaji, ia tak kunjung tidur. Seperti seorang bocah baru bisa membaca, Sulaiman menyobek secarik kertas Koran alas tidur dan membacanya hati-hati.
Setengah berbisik, Sulaiman membacakan sebuah kisah anak-anak yang tertulis dalam robekan koran tersebut pada anak-istrinya. Kisah Burung Pipit dan Rajawali… mereka terlelap.
JONATHAN – SULAIMAN
Seminggu lalu setelah Jonathan menerima persetujuan dikabulkanya isi proposal kemandirian menjadikan ia begitu percaya diri. Sekolah berakhir tepat pukul 1.30 siang. Jonathan menghampiri Pak Kardi yang gontai menyeruak dari arah pohon pinang tempat ia tidur pulas. Pak Kardi diperintahkanya untuk pulang ke rumah lebih dulu. Tidak perlu mengantar dan menjemputnya di kemudian hari. Pria buncit itu mengerutkan dahi, bingung, dan sakit hati, salah apa kiranya ia sehingga layak menerima pemecatan sepihak ini. Majikan kecilnya menjelaskan bahwa ia sekarang sudah besar dan ingin naik bus metromini berangkat dan pulang sekolah. Lagipula jarak rumah dan sekolah tidak terlalu jauh. Kemang-Pejaten, sedikit belokan dan jarang macet kalau bukan jam kantor, liburan, malam minggu, atau kecelakaan dan bencana alam. Catatan di kertas Jonatahan sepanjang pagi tadi sudah cukup menjelaskan rute mana dan bus macam apa yang harus ia naiki.
Pak Kardi tidak lantas melepaskan majikan kecilnya itu pada Jakarta. Ia menyembunyikan diri dan mobilnya di balik sebuah kios rokok pinggir jalan berjarak 20 meter dari arah Jonathan berdiri berpanas-panas menunggui metromini bernomor 28 melintas. Hampir sepuluh menit ia jongkok-berdiri di pinggir jalan. Sebuah bus metromini berbelok dari perempatan Buncit. Melihat sebuah kesempatan Jontahan tergegap siaga, mengacung acungkan jari ke depan meminta bus itu berhenti. Bus metromini yang tampak kosong ini berjalan lambat-lambat mendekat dan semakin dekat, sehingga Jonathan dan Pak supir bus saling bertatapan. Entah salah apa, Pak supir mempercepat lajunya. Ia urung berhenti. Metromini butut yang ia kendarai melaju kencang menjauhi Jontahan. Pengalaman pertama bagi Jontahan ditolak bus metromini di samping sekolahnya. Kini sudah dua jam lebih majikan muda Pak Kardi lelah menunggui bus melintas, namun puluhan metromini yang dicegatnya tak hendak berlabuh memberikan tumpangan. Uang, keberanian selangit, dan restu orangtua sudah cukup menjadikan Jonathan sebagai calon penumpang yang layak angkut. Kenapa tak satupun yang berhenti?
SULAIMAN SEPERTI HARI-HARI SEBELUMNYA, pukul 1.30 siang bukanlah jam orang Jakarta antusias memburu bus untuk berangkat ke kantor. Rata-rata mereka pada jam ini sedang makan siang atau berdiam diri di dalam kantor, atau tertidur pulas melanjutkan tidur semalam yang tak tuntas. Metromininya hanya dipenuhi sekitar delapan orang saja, padahal quota kendaraan itu “mampu” mengangkut ratusan manusia, ribuan kecoa, dan berkilo-kilo debu jalan sebagai aksesori. Dari kejauhan Sulaiman melihat seorang bocah laki-laki tersenyum-senyum mengacungkan jari ke depan memintanya berhenti. Ia amati bocah bersih itu dengan seksama. Melambat dan melempar balas senyuman sang bocah. Kemudian menekan gas kencang-kencang. Sulaiman urung berhenti, ia hanya menggelengkan kepala.
Pak Kardi seperti mengerti secara telepati menghampiri Jonathan yang terduduk lemas di pinggir jalan. Ia mempersilakan majikan muda naik ke dalam Jaguar hitam. Mobil nyaman bukan kepayang, dingin AC, kursi lembut, alunan CD Kougajin Midori-serial TV kesayangan Jonathan, atau hentakan Deep Purple kesukaan Pak Kardi siap mengantarkanya ke rumah. Hari ini, besok, lusa, dan kemudian hari terulang peristiwa yang sama. Jonathan gagal memberhentikan bus metromini. Ia pergi dan pulang sekolah lagi-lagi bersama Pak Kardi.
Sulaiman selama seminggu penuh menolak seorang penumpang muda berkulit pucat dan tampan. Ia kerap mengamatinya dan iba-terheran. Ada apa dengan bocah ini? Kenapa harus metromini jika ada jaguar hitam yang menunggui di belakangnya? Tapi wajah bocah gagah itu begitu bersungguh-sungguh, kadang memelas, kadang tanpa ekspresi sama sekali. Pokoknya naik bus metromini! Sulaiman hanya melemparkan senyum pada bocah berseragam yang rajin mencegatnya itu di siang hari.
PIPIT DAN RAJAWALI
Sehari sebelumnya Sulaiman mengajukan ijin sakit pada kepala pangkalan. Maka hari ini ia tidak masuk kerja. Tapi Sulaiman sudah berada di pangkalan sebelum jam lima pagi. Hari masih gelap, matahari belum lagi tampak. Sedikit mengendap Sulaiman menghampiri rentetan kunci-kunci yang digantung di ruangan kepala pangkalan. Mumpung hari masih sepi ia menggapai sebuah kunci yang tergantung dari balik kaca nako. Sulaiman tak lagi memilih kunci mana yang ia ambil. Duapuluh tahun ia bekerja di pangkalan bus ini, sehingga ia tahu persis bus mana yang dapat dinyalakan dengan kunci tadi, lagipula, sejujurnya bus-bus itu tidak terlalu memerlukan kunci kontak untuk menyalakanya.
Ia sadar betul telah melakukan penghianatan pada tempat kerjanya. Sulaiman membawa kabur metromini! Sulaiman harus ditangkap! Teriak kepala pangkalan panik setelah diberitahu Mpok Inah bahwa pagi-pagi benar Sulaiman “narik”. Tiga polisi yang berada di pangkalan segera mengontak pusat dan menceritakan segala yang terjadi pagi tadi. Sulaiman menjadi buronan polisi dan seluruh jajaran metromini sejakarta raya. Dimanakah Sulaiman?
PEJATEN. Tempat Sulaiman “menyembunyikan” bus curiannya. Di pinggir jalan antara semak belukar dan perdu, menyusun kayu dan daun bertumpuk di depan-belakang bus sebagai penanda rusak. Tidak seorangpun curiga atas hal itu karena memang ada ratusan metromini bernasib demikian di sudut-sudut Jakarta. Sulaiman sendiri tidak berada di dalam bus, melainkan lima meter di depannya.
Pukul 1.30 siang. Sulaiman bergegas menaiki bus, dan duduk siaga di kursi supir, saat anak-anak sekolahan yang tak jauh dari lokasi pemberhentiannya tadi bubar meruah kearah jalan raya. Sebagian ada yang berlarian kegirangan, sebagian lain dituntun orangtuanya, dan sisanya mengendap masuk ke dalam mobil masing-masing bersama pak supir. Seperti yang telah ia duga sebelumnya, ada seorang bocah muda tampan, berseragam bersih, berkulit putih, berambut rapi, dan berkacamata yang paling berbeda. Bocah itu menjauhi sekolahnya, tidak menghampiri jaguar hitam di balik kios rokok, tapi menunggu dengan semangat di antara rambu jalan dan pohon mangga.
Tidak menunggu lama setelah bocah itu berdiri rapi di lokasi biasa, Sulaiman menekan gas kencang-kencang. Berhenti tepat di depan Jonathan. Semerbak bau oli, asap knalpot dan apek kursi penumpang metromini menyerang hidung Jonathan. Pemuda itu terpaku, ia tak menyangka ada seonggok bus jingga kosong yang berhenti. Sejenak ia tak mengerti apa yang harus dilakukanya. Sulaiman seperti tergesa, menyilakan Jonathan naik ke dalam bus. Jonathan melompat riang ke dalam bus. Ia terkesiap dan duduk di jajaran tengah penuh semangat. Metromini melaju sedang seperti biasanya. Sulaiman tersenyum.
“Sini, duduk di depan di samping Bapak! Jangan di situ sendirian.” Sulaiman melambaikan tangannya menepuk-nepuk kursi hitam di sampingnya. Jonathan berdiri dan berlari kearah depan, seperti yang Sulaiman minta. Ia duduk di kursi kondektur menghadap depan.
“Siapa namanya?”
“Jonathan Pak. Panggil aja Nathan. Nama Bapak siapa?” Jonathan memang pemuda yang berani. Ia membalas percakapan dangan gagah tanpa takut dengan wajah Sulaiman yang hitam penuh carut-marut luka lama waktu ia sempat menjabat sebagai kepala preman Kampung Rambutan.
“Nama Bapak Sulaiman… sering naik metromini? Bapak sering lihat di pinggir jalan tadi.”
“Tidak, baru sekarang saya naik metromini. Saya juga sering lihat Bapak bawa metromini ngebut tidak berhenti.” Sulaiman kaku, perasaanya tak karuan mendapatkan dakwaan dari seorang bocah SD. Mereka kemudian terdiam, memandangi jalanan, merasakan desir angin yang menyelinap dari sela-sela jendela bus. Menikmati bunyi rem dan mesin silih berganti. Jonathan rakus hendak melahap semua pemandangan yang ada di kiri-kanan, depan dan belakang bus secara bersamaan. Kepalanya bergeleng lincah. Sulaiman hanya tersenyum-senyum puas melihat tingkah bocah berseragam itu meski sadar tiga motor polisi, satu mobil URC, dan jaguar hitam membuntutinya di belakang.
“Nathan senang dengar cerita?”
“Suka!”
“Bapak punya cerita judulnya Burung Pipit dan Rajawali, mau dengar?”
“Mau mau!”
“Yaa… seekor Pipit melompat-lompat dari dahan ke dahan belajar terbang. Rajawali mengamati dari jauh. Pipit itu sebatangkara bersusah payah belajar terbang, karena orangtuanya telah dilahap Rajawali.”
“Apa si anak pipit akan dimakan juga oleh Rajawali?” Tanya Jonathan tak sabar.
“Tidak! Rajawali selalu melemparkan ranting kearah pipit dikala pipit gagal mendapat injakan kaki, karena sayapnya yang masih lemah. Ia sangat sulit untuk terbang. Suatu siang Rajawali menghampiri si anak pipit dan menawari punggungnya untuk dinaiki. Pipit senang bukan kepalang menaiki punggung rajawali dengan keyakinan ia pasti akan bisa terbang kalau mencapai langit nanti. Begitulah hari-hari berikutnya. Pipit menaiki rajawali dan membawanya terbang tinggi. Membiarkan pipit lepas landas di langit, dan kini pipit mampu melakukanya sendiri.”
“Terus, apa yang terjadi sama Rajawali dan Pipit yang sudah bisa terbang?”
“Bapak tidak tahu, habis koran yang bapak sobek hanya sampai si pipit bisa terbang…hahahaha.” Sulaiman tersipu, kemampuan bercerita yang ia miliki sama buruknya dengan keahlian membaca anak gadisnya. Keduanya tertawa-tawa. Jonathan menertawakan keluguan bapak Sulaiman yang menceritakan penggalan komik koran. Sulaiman menertawakan Jonathan yang mata sipitnya tertutup kala tertawa.
“Ini rumah saya Pak, berhenti disini!” Sulaiman menginjak rem segera, dan membiarkan Jonathan turun dari bus. Belum sempat Jonathan berjalan kearah depan gerbang, ia melompat masuk lagi ke dalam bus dan bertanya:
“Kenapa Bapak tidak mau berhenti waktu saya cegat bus minggu lalu?”
“Bukan Bapak tidak mau berhenti Nathan, tapi bapak tidak yakin Nathan bisa sampai rumah ini dengan selamat kalau ada penumpang lain di dalam bus.” Jonathan menjulurkan tangan ke kepala Sulaiman dan memperbaiki posisi topi Sulaiman yang miring ke kanan.
“Terimakasih Pak Sulaiman!” Ia meletakkan uang sepuluh ribu rupiah di bangku kondektur kemudian melompat masuk ke pelataran rumah.
Lima menit berikutnya, saat Sulaiman yakin Jonathan aman berada di dalam rumah, ia turun dengan kedua tangan terangkat keatas. Ia sadar di luar sudah ada sambutan lima laras 35mm, lima pasang mata tajam polisi dan satu mata tulus Pak Kardi. Sulaiman didakwa atas pencurian kendaraan dan penculikan, dua kasus kriminal yang tergolong berat. Saksinya Jonathan dan Pak Kardi tentunya.
7 tanggapan untuk “BURUNG PIPIT DAN RAJAWALI”
entah kenapa, udah baca untuk kesekian kalinya masih aja diulang2 mampir lagi.. jd bertanya2, “pengalaman pribadi gandrasta kah? sebagai tokoh yg mana?”
SukaSuka
Kok jahat 😦
Kasian Sulaiman……
SukaSuka
Pak Kardi memang diam-diam mengincar Jasiyem. Rencana menjauhkan Jasiyem dan Sulaiman berhasil dengan kesaksiannya yang memberatkan di pengadilan.
Kurang dari setahun kemudian, Jasiyem dan Kardi dikaruniai seorang putera, namanya Kardi Jr.
SukaSuka
Bagus juga ini klo dijadikan film
SukaSuka
Lalu apa yang terjadi dengan si burung pipit, kak?
SukaDisukai oleh 1 orang
Pak Sulaiman: kemakan…
SukaSuka
Nathan, kamu gimana sekarang? Sudah mandiri?
SukaSuka