SELAMA masih ada anggapan bahwa “murni” lebih baik daripada “tidak murni”, selama itu pula akan selalu ada yang terdorong, bahkan terobsesi terhadap pemurnian. Terlebih pada hal-hal yang ideologis; sesuatu yang dipercaya dan diyakini sepenuh hati, termasuk agama serta berbagai aspeknya.
Saya iseng kepingin menulis tentang ini, karena baru tahu ternyata bisa juga ada sidang perkara penodaan agama Buddha di Indonesia, dan prosesnya masih berjalan hingga sekarang, kayaknya. Berbeda dengan beberapa perkara penodaan agama yang sebelumnya lantaran melibatkan dua kelompok keyakinan berbeda, kasus kali ini terjadi antara sesama Buddhis, tetapi berbeda mazhab.
Gambaran singkatnya, sang terlapor memiliki pandangan ortodoks, berpegang teguh pada ajaran mazhab yang diyakini paling minim diintervensi, yang berupaya mempertahankan “keasliannya” sejak lebih dari 2.000 tahun silam. Terdengar wajar, ya, karena seperti berbagai agama lain di dunia, terutama yang diturunkan langsung oleh tuhan melalui para perantara, ajaran yang murni merupakan penyampaian ilahiah, tidak melenceng apalagi dibelokkan.
Namun, pandangan ortodoks yang dipegang teguh oleh sang terlapor ini, membuatnya bisa bertindak lebih jauh. Ia kerap diundang memberikan ceramah karena dianggap memiliki latar belakang praktik religius yang tinggi. Dalam ceramah-ceramahnya, pesan dan seruan agar menghindari ajaran mazhab lain selalu disuarakan. Selain menyebut pokok-pokok ajaran mazhab lain sesat, ia juga menyampaikan bahwa figur-figur populer di mazhab lain itu adalah perwujudan setan, dan iblis. Secara spesifik, ia sasarkan hujatan tadi kepada sosok Avalokitesvara, atau yang dikenal luas sebagai Dewi Guanyin/Kuan Im. Umat mazhab Mahayana, Tantrayana, dan Buddhayana termasuk warga Tionghoa pada umumnya, memang bersembahyang dan mengkultuskan figur tersebut baik sebagai bagian dari kepercayaan tradisional (ikut-ikutan keluarga), maupun dipelajari di konsep ajaran masing-masing mazhab.
Puncak tindakannya adalah ketika ia menginjak-injak, membakar, dan mencelupkan kitab-kitab sutra mazhab lain. Seperti Maha Karuna Dharani (大悲咒), yang rekaman kidungnya kerap diputar di kelenteng-kelenteng, dan Sutra Hati atau Prajna Paramita Hrdaya Sutra (般若波羅蜜多心經), yang salah satu versi paling terkenalnya adalah milik Buddhisme Jepang, dan oleh karenanya sering digunakan dalam berbagai bentuk budaya pop.
Dalam Buddhisme ortodoks, figur-figur tersebut memang tidak diperkenalkan sebagaimana yang populer saat ini. Tidak pula dimunculkan sebagai objek persembahyangan. Adapun beberapa sutra dan kitab sektarian objek perkara juga tidak termasuk dalam set kitab Tipitaka ortodoks yang dipatenkan (agar tidak dikurangi, ditambahi, dan dimodifikasi lagi). Meskipun demikian, dan sutra-sutra tadi tergolong pustaka apokrifa (diragukan keasliannya) komoditas era Jalur Sutra, tetap tidak patut menginjak dan merusaknya.
Secara pribadi, saya bermazhab yang sama dengan pelaku. Saya pun cukup akrab dengan seperangkat argumentasi yang kerap ia sampaikan dalam ceramah berkaitan dengan kemurnian ajaran Buddhisme (yang sepatutnya diterima dan dijalankan oleh semua Buddhis). Hanya saja, argumentasi-argumentasi tersebut identik, dan cenderung diminati oleh mereka yang baru “puber” belajar Buddhisme. Jangankan dengan melakukan perusakan dan sejenisnya, penghinaan dan hujatan terhadap praktik keagamaan orang lain tidak akan mengantarkan ke mana-mana, selain meninggikan ego dan memunculkan rasa benci, serta justru akan menjauhkan seseorang dari peluang untuk belajar lebih luas dan lebih jauh.
Kebenaran memanglah kebenaran, khususnya untuk sesuatu yang absolut dan matematis. Namun, kebenaran ideologis tidak bisa diperlakukan sekaku itu. Baik dan benar, bukan semata-mata berlawanan dengan buruk dan salah, melainkan ada kategori di antaranya: Belum. Di sisi lain, selama kita belum bisa membuat mesin waktu untuk kembali ke masa lalu (dan melihat peristiwa sebenarnya), atau berkesempatan memperoleh pengalaman ilahiah dalam hidup, satu-satunya peluang paling signifikan untuk membuktikan kebenaran ilahiah adalah … setelah mati. Ketika perbedaan konsep tentang murni dan tidak murni benar-benar tak ada faedahnya lagi.
Begitulah. Pada benda mati, kondisi murni identik dengan nilai yang tinggi. Makin murni komponen yang dikandung, makin langka dan makin mahal harganya. Hanya saja, pandangan ideologis bukan benda mati. Tak bisa dipegang, hanya bercokol di pikiran untuk kemudian berakar di hati dalam bentuk keyakinan yang menyamankan.
Sekadar rasa nyaman.
Selamat berlibur panjang. Biarkanlah yang murni hanya miliknya …
“Susu murni… nasi-o-nal.”
[]