SAYA masih ingat rasanya, menjadi satu-satunya wartawan yang Tionghoa di Samarinda sampai beberapa tahun lalu.
Jangan bayangkan Samarinda seperti Pontianak atau Singkawang. Karena meskipun sama-sama berada di pulau Kalimantan, orang Tionghoa Samarinda tidak terlalu banyak. Komunitasnya kecil dan rapat, kecenderungan perilakunya relatif mudah terbaca, serta beberapa preferensinya terbatas; sedikit saja perbedaan atau ketidaklaziman akan sangat tampak.
Situasi itulah yang membuat kewartawanan saya cukup “mengemuka”. They had made it quite a big deal … in such an ambiguous way.

Saya masih ingat rasanya ketika merespons pertanyaan: “Kerja di mana?” dari sesama Tionghoa Samarinda, lalu melihat ekspresi terkejut mereka yang (mungkin) merasa ganjil dengan jawaban saya.
Saya juga masih ingat rasanya, ketika dipersilakan dan dibebaskan untuk menulis artikel sosial budaya mengenai warga dan budaya Tionghoa secara regional di Samarinda maupun global, bahkan sampai diberikan satu halaman rubrik khusus yang terbit setiap hari Minggu. Rubrik tersebut hadir selama tiga tahun, dan–sayangnya–ditangani sendirian, walaupun sebenarnya turut mengantarkan saya menjadi Redaktur Pelaksana.
Hal tersebut berlangsung tanpa sengaja. Tidak ada rencana khusus dari dewan redaksi yang mengarahkan saya menjadi wartawan Tionghoa yang bebas mengangkat tentang ketionghoaan dan budayanya. Sama seperti wartawan koran pada umumnya, saya bekerja sesuai penugasan rapat redaksi setiap pagi meliput banyak topik. Hingga muncul pemikiran: “Dia kan Cina, mending dia aja yang liputan supaya enggak salah-salah…” menjelang Tahun Baru Imlek.
Dari momen tersebut, artikel dan rubrik yang berkaitan dengan warga Tionghoa Samarinda tidak hanya mengenai budaya. Saya bebas membahas tentang sejarah dan bisa terhubung dengan para narasumber saksi mata; membahas stigma sosial baik internal (dari orang Tionghoa memandang di luar komunitasnya) maupun eksternal (pandangan terhadap orang Tionghoa), “Kenapa orang Tionghoa pelit? Apakah karena itu mereka jago dagang?“; hal-hal trivial seperti “Kenapa orang Tionghoa sembahyangnya pakai hio terus diacung-acungkan?” atau mitos tujuh kali mengelilingi halaman kelenteng satu-satunya di Samarinda di malam Capgomeh supaya bisa mendapatkan jodoh, dan sebagainya; termasuk juga autokritik terhadap warga Tionghoa Samarinda sendiri.
Sejak pindah ke Jakarta 2016 lalu, aftertaste sebagai mantan wartawan yang Tionghoa luntur drastis. Selain lantaran tak lagi berprofesi sebagai wartawan, ada banyak warga Tionghoa yang menjadi wartawan media massa arus utama di ibu kota. Mereka pintar-pintar, lulusan universitas ternama di dalam dan luar negeri, serta bekerja di kantor berita nasional, bahkan internasional. Para wartawan mumpuni.
Namun, saya penasaran dengan bagaimana mereka melihat ketionghoaan mereka dalam konteks profesional.
Mungkin sayanya yang kurang banyak membaca, tetapi sejauh ini saya baru menemukan beberapa wartawan/penulis yang (sepertinya) Tionghoa, dan mengangkat tentang tema-tema ketionghoaan di Vice Indonesia, sebagai penyaji, bukan pelaku. Sementara, bagaimana di jenama media lainnya?
Entahlah. Topik-topik ketionghoaan dari sudut pandang orang pertama bisa jadi memang terlalu segmented, tak terlalu menarik (bahkan orang Tionghoa Indonesia sendiri), dan hanya cocok dijadikan konten pelengkap di momen-momen tahunan.
… dan kalaupun akhirnya para wartawan yang Tionghoa ingin berhimpun, dan mengangkat perspektif ketionghoaan secara spesifik, akan menghasilkan platform konten serupa Suara Peranakan, yang berupa blog reramean. Mirip Linimasa, tetapi penulisnya adalah para wartawan keren nan kekinian.
Apa pun itu, di mana pun mediumnya, semoga makin banyak Tionghoa Indonesia yang menulis dan berbagi sudut pandang. Sebab, ketionghoaan di Indonesia bukan sekadar tradisi saat Tahun Baru Imlek, pantangan-pantangan selama masa sembahyangan Cit Gwee Poa/Qi Yue Ban/bulan 7 tanggal 15/Festival Hantu yang jatuh hari ini, atau pun Festival Kue Bulan yang berlangsung 1 Oktober mendatang.
[]