Sekitar 15 tahun lalu, saya pernah menjadi juri sebuah lomba pidato bahasa Inggris tingkat SMP. Cukup banyak pesertanya, karena saya ingat, kami baru selesai melakukan tugas penjurian sore hari. Sementara lomba mulai dari pagi.
Selesai pengumuman pemenang, ada seorang ibu datang ke meja juri, bertanya, “Anak saya kenapa nggak menang ya?”
Meskipun ini bukan pertanyaan asing, kami tetap kaget. Lalu saya menjawab, “Peserta yang lain tampil lebih baik. Dan skor anak ibu juga tidak cukup untuk menjadi pemenang.”
Ibu itu tidak puas. Lalu dia menyebutkan nama anaknya. Kami melihat daftar nilai yang masih ada di meja. Cukup baik nilainya, sedikit di bawah nilai pemenang ke-3. Lalu ibu itu menambahkan, “Padahal anak saya sudah sering jadi juara lomba seperti ini lho.”
Anggota juri lain, yang lebih senior dari saya, cuma senyum sambil berkata, “Keputusan kami tidak bisa diganti, bu.”
Ibu itu akhirnya pergi. Anak si ibu tidak bereaksi apa-apa.
Sekitar 10 tahun setelah kejadian itu, di salah satu kompetisi film pendek yang pernah saya buat, rekan saya yang bertugas menyortir pendaftaran, cerita ke saya:
“Mas, guess what? Kemarin ada yang nelpon ke sini. Dia peserta kategori dokumenter. Dia marah-marah, mas. Soalnya filmnya nggak masuk jadi finalis. Padahal filmnya sudah pernah dimuat di beberapa online news, katanya.”
Saya tertawa, lalu bertanya, “Terus, kamu bilang apa?”
“Ya aku bilang aja lah, banyak film lain yang jauh lebih bagus.”
Saya makin keras tertawa.

Dua kejadian di atas sudah terjadi beberapa tahun silam. Cuma masih membekas di kepala saya saat mau menulis hari ini di Linimasa.
Ini adalah soal klasik mengenai rasa kepemilikan terhadap apa yang kita buat. Tentu saja, saat kita membuat suatu karya, saat kita menyiapkan diri untuk berlomba, kita selalu memberikan yang terbaik untuk diri kita sendiri. It’s absolutely, totally fine to implement sense of confidence. Kita harus meyakinkan diri kita bahwa kita membuat yang terbaik, menjadi yang terbaik.
Namun ada garis tipis yang memisahkan rasa percaya diri dan keras kepala.
Percaya diri berarti tahu dan sadar bahwa dalam kompetisi, selalu ada kompetitor atau saingan lain yang bisa jadi membuat karya yang mirip dengan yang kita buat, dalam kemasan yang mungkin sama atau berbeda sedikit dari yang kita miliki. Namun kita juga sadar, kalau kita bisa menjual karya atau kemampuan kita dengan cara kita sendiri, sehingga yang kita buat atau bawakan punya nilai tersendiri.
Keras kepala berarti tidak mau tahu kalau ada persaingan sama sekali. Karya kita atau kemampuan kita adalah satu-satunya yang absolut, yang ada dan layak dikedepankan dalam situasi apapun. Saat dikonfrontasi kalau kualitas karya atau diri tidak up to standard, biasanya si keras kepala akan berkilah, “Lho, salah sendiri dipilih!”
Yang jelas jangan pernah takut untuk berkompetisi. Competition is healthy. Competition is good for us. Bersaing membuat kita hidup, karena kita dituntut untuk terus berpikir, apa yang membuat kita atau karya kita bisa punya nilai unik tersendiri yang membuatnya berbeda dari yang lain.
Semakin sering kita berkompetisi, semakin sering kita kalah atau ditolak, semakin tebal mentalitas bersaing yang kita punya.
Saya selalu bilang ke teman-teman pembuat film pendek, “Kalau mau kirim film kalian ke festival, jangan tanggung-tanggung. Jangan cuma ke 1-3 festival, tapi sekaligus minimal 20 atau 30 festival. Apalagi sekarang pendaftaran bisa online. Kita nggak tahu festival mana yang akan ambil film kalian, tapi selalu siapkan lebih dari yang kalian siapkan. Trust me, the world is big out there.”
Meskipun saat ini kita masih dikurung dalam kediaman kita masing-masing, tapi saya tetap percaya, the world is still big out there.