Menghayati Makanan

PAṬI’SANGKHA yoniso bhojanang paṭi’sewami,

Newa dawaya na madaya na maṇḍanaya na wibhusanaya,

Yawadewa imassa kayassa ṭhitiya yapanaya wihingsuparatiya brahma-cariyanuggahaya,

Iti puraṇanca wedanang paṭihangkhami nawanca wedanang na uppadessami,

Yatra ca me bhawissati a’nawajjata ca phasu-wiharo cati.

Yang baru saja kamu baca tadi, populer dianggap sebagai “doa sebelum makan” dalam tradisi Buddhisme–khususnya mazhab Theravada–dengan sedikit penyesuaian penulisan agar lebih gampang dibaca.

Tenang aja… kamu enggak otomatis convert menjadi seorang Buddhis setelah membacanya, kok. Sebab, meskipun tercantum dalam salah satu bagian kitab suci Tipitaka (MN 39), makna syair demi syairnya tidak eksklusif menggambarkan atau mengacu pada ajaran Buddha saja.

Itu juga alasannya mengapa saya sebut “doa sebelum makan”; pakai tanda petik. Karena alih-alih berisi pujian atau ucapan terima kasih, “doa sebelum makan” ala Buddhisme ini lebih berupa perenungan, dan tidak ada peraturan yang mengharuskannya dibaca setiap kali sebelum menyantap makanan.

Supaya makin jelas, kurang lebih berikut artinya.

Secara cermat dan berhati-hati, saya menggunakan makanan ini,

Bukan untuk kesenangan; bukan untuk merasakan mabuk; bukan untuk menggemukkan badan; bukan pula untuk keindahan,

Tetapi hanya untuk mempertahankan kelangsungan (kerja) tubuh ini, menghentikan rasa tidak nyaman (akibat lapar), dan mendukung kehidupan luhur (yang tengah dijalani),

Demikianlah saya akan menghilangkan perasaan yang lama (lapar), dan tidak menimbulkan perasaan yang baru (dari makan yang berlebihan),

Dengan ini saya akan mempertahankan diri ini, menjauhi kesalahan-kesalahan, dan berdiam (hidup) dalam ketenteraman.

Poin-poin inilah yang–seyogianya–dihayati setiap kali ada hidangan tersaji di hadapan kami–umat Buddhis. Melihat makanan secara hakiki dan apa adanya; berupaya melepaskan diri dari kemelekatan terhadap rupa, aroma, dan rasa; serta tetap mampu berterima kasih atas bahan penunjang kehidupan yang diberikan/dibuatkan/dibeli, sehingga bisa dikonsumsi sebaik-baiknya dan tidak menyebabkan kemubaziran.

Pada dasarnya, perenungan ini dilakoni oleh para bhikkhu maupun samanera (calon bhikkhu) dalam keseharian. Alasannya, sebagai petapa selibat mereka telah melepaskan diri dari kehidupan duniawi, termasuk keleluasaan memilih/memasak/membeli makanan sendiri. Mereka hanya makan sekali atau dua kali setiap hari (konsepnya mirip intermittent fasting) dan merupakan donasi dari umat penyokong. Diberi, bukan meminta. Seperti yang kerap terlihat di negara-negara Indocina, ketika setiap pagi sebarisan bhikkhu membawa mangkuk masing-masing, menerima persembahan makanan dari umat.

Begitu pun bagi umat biasa, perenungan ini juga bertujuan untuk menyadarkan diri akan hakikat makanan. Selama makanan tersebut layak, dibuat secara baik, serta tetap mengandung nutrisi, makanan itu tetap bisa berfungsi sebagai pemberi asupan bagi tubuh dan menunjang proses berpikir. Tak ada sedikit pun ruang batin yang pantas diberikan untuk sifat kemaruk, rakus, tamak, banyak mau, susah dilayani, tidak perhitungan, dikendalikan oleh emosi yang mudah berantakan hanya gara-gara hal sepele, angkuh, dan sebagainya.

Saat kepingin makan sesuatu, mood tidak uring-uringan begitu mendapati restorannya tahu-tahu tutup. Tidak melekat; hanya mau makan makanan mahal dan mewah. Tidak gegabah; mengambil atau menumpuk makanan kesukaan sebanyak-banyaknya untuk kemudian tidak dihabiskan, atau malah menjadi begah.

Di sisi lain, sebagai umat biasa kita memang relatif sukar menghindari niatan makan untuk mendapatkan keindahan fisik. Bagi yang ingin bulking dan membangun massa otot, makan dalam jumlah banyak dan lebih sering dari biasanya. Sementara yang ingin langsing mengurangi porsi dan intensitas makan, menolak bahan-bahan makanan tertentu, atau justru disulitkan/menyulitkan oleh orang lain perihal makanan.

Image result for food for bulking"
Foto: YouTube

Keadaan-keadaan itu mustahil dihilangkan sepenuhnya, tetapi tetap bisa dibarengi dengan perenungan tentang makanan. Sekali lagi, setidaknya kita bisa berusaha agar tidak melekat. Melatih diri menghindari sikap yang bisa membuat kita marah-marah kepada orang lain hanya karena makanan, atau membuat hidup kita sepanjang hari terasa kacau berantakan hanya karena makanan.

Demikianlah. Dibawa santai saja.

Menghayati makanan sebagaimana adanya.

[]

Perenungan terhadap makanan di atas tertulis sesuai pelafalan penutur bahasa Indonesia. Dalam bentuk transliterasi latin aslinya, tertulis seperti berikut:
Paṭisaṅkhā yoniso bhojanaṃ paṭisevāmi,
Neva davāya na madāya na maṇḍanāya na vibhūsanāya,
Yāvadeva imassa kāyassa ṭhitiyā yāpanāya vihiṃsuparatiyā brahma-cariyānuggahāya,
Iti purāṇañca vedanaṃ paṭihaṅkhāmi navañca vedanaṃ na uppādessāmi,
Yātrā ca me bhavissati anavajjatā ca phāsu-vihāro cāti.

4 tanggapan untuk “Menghayati Makanan”

  1. […] beruntung terbiasa dengan perenungan terhadap makanan, sekaligus punya lidah yang tidak cerewet. Hampir semua sajian yang ditinggalkan di depan pintu […]

    Suka

  2. Dian Wulandari Avatar
    Dian Wulandari

    Pengingat yang indah… Terimakasih mas dragono

    Suka

    1. Terima kasih juga, sudah membaca. 😊

      Suka

  3. Pada tahapan yg lebih tinggi, perenungan makan adalah sarana utk pengembangan batin yg lebih luhur yaitu mengembangkan kesadaran penuh (sati sampajanna atau dikenal sebagai mindfulness) atas aktifitas batin dan jasmani ketika makan.
    Dengan perenungan yg dikembangkan setiap saat dlm berbagai aktifitas akan menguatkan sati seseorang utk melihat karakteristik sejati dr batin dan jasmaninya sendiri yg berujung pada pembebasan atau pencerahan.

    Suka

Tinggalkan komentar

About Me

I’m Jane, the creator and author behind this blog. I’m a minimalist and simple living enthusiast who has dedicated her life to living with less and finding joy in the simple things.