Sekitar awal 2017, saya pernah menyebarkan sebuah film dokumenter Minimalism, A Documentary About Important Things yang sekarang bisa ditonton di Netflix. Joshua dan Ryan sepasang teman yang di puncak karirnya merasa kekosongan dalam hidup. Memiliki semua tapi tak memiliki semua. Dan akhirnya menemukan betapa sering mereka membeli barang hanya sekedar membeli hanya karena mampu. Namun berujung pada penumpukan barang-barang tanpa makna.
Pastinya film ini membekas lumayan dalam sehingga saya mencoba mulai mempraktekannya. Walau tak sedrastis mereka, namun sejak saat itu semua barang-barang yang sekiranya masih bernilai saya coba jual ke teman atau di online. Dan barang-barang yang tak bernilai jual, saya bagi-bagikan bagi yang menginginkannya. Pernah di liburan Lebaran, saya membagi-bagikan buku dan dasi yang memang selama ini hanya teronggok tanpa makna. Nyimpen debu istilahnya.
Terompet, alat musik yang selama ini sudah lama tak dimainkan berhasil saya jual. Sepeda yang baru dipakai sebentar berhasil saya berikan kepada teman yang lebih membutuhkannya. Dan yang terakhir menyambut hari Natal, hiasan dekor Natal saya lepas dengan sukacita. Ada beberapa saja yang saya simpan karena pemberian. Untuk kenang-kenangan dan menghias hunian sekedarnya saja. Belum lagi setiap menyambut Imlek, banyak pakaian, tas, sepatu yang sudah lama tak terpakai saya berikan kepada siapa saja di sekitar yang saya rasa akan lebih bahagia memilikinya.
Memang saya tidak melakukan seperti teori yang diajarkan seperti 6 bulan tak terpakai dan perkiraan 6 bulan ke depan tak terpakai. Atau teori dari buku best-seller Marie Kondo. Saya bikin aturan sendiri: dimulai dari gudang. Tempat menyimpan barang yang tak dipakai sehari-hari, atau menduga akan dipakai di kemudian hari. Barang berukuran besar tak terpakai diutamakan untuk dilepas. Menyusul barang-barang kecil sampai printilan.
Saat membongkar gudang, berulang kali saya terkejut karena menemukan banyak barang-barang yang terlupakan keberadaannya dan saya sudah membeli yang baru. Kado-kado yang masih dibungkus rapi belum sempat dibuka. Barang baru yang belum pernah dipakai sama sekali. Semua teronggok rapi tanpa arti. Perasaan bersalah langsung menyerang tanpa ampun. Betapa borosnya saya. Betapa sering saya buang-buang uang. Untungnya perasaan itu segera berganti dengan tekad untuk mengubah gaya hidup berlebihan ini.
Setelah setahun lebih mempraktekannya pelan-pelan, boleh percaya atau tidak, perasaan lega dan lapang datang. Teman-teman yang datang pun bilang kalau hunian saya sekarang “lebih bercahaya”. Kadang ada saatnya menyesal saat memerlukan barang yang ternyata sudah keburu dilepas. Tapi itu tak seberapa dibanding kelegaan yang lebih dahulu menghampiri. Bikin jadi ingin terus mempraktekkan ini.
Yang juga kemudian berujung pada kemawasan saat hendak membeli barang baru. Apakah benar saya menginginkannya? Apa sudah butuh sekarang? *Maaf saya bukan orang yang percaya manusia bisa membedakan kebutuhan dan keinginan. Dan sebelum membeli barang saya yakinkan berkali-kali kalau barang baru itu benar akan saya pakai dan membuat hidup saya kemudian lebih bahagia.
Baju. Bener nih kalau pake baju baru cocok dengan tubuh dan gaya hidup saya? Atau sekedar beli hanya karena lagi diskon? Sepatu. Bukannya sepatu udah banyak? Mau ke mana aja emang? Kalau sekedar untuk bergerak hunian, tempat kerja, olah raga, sepertinya sudah cukup. Buku. Yakin akan dibaca? Ada versi onlinenya aja gak? Daaan berbagai pertimbangan lainnya. Lumayan saya jadi bisa lebih menahan pengeluaran dan kalau pun belanja jadi bisa membeli kualitas ketimbang kuantitas.
Koleksi MangkokAyamID terbaru saya beri nama LOTENG. Banyak yang bertanya kenapa motif cross-stitch ini diberi nama Loteng. Jawabannya ada dua, pertama karena di sebuah film yang saya lupa judulnya apa, ada adegan di mana sebuah lukisan cross-stitch yang indah ditemukan di sebuah loteng dan yang menemukannya langsung bernostalgia. Sesuai dengan desain-desain MangkokAyamID.
Tapi jawaban “ngawang-ngawang”nya, saya merasa sudah waktunya untuk mulai membenahi loteng di dalam hati. Tempat segala perasaan lama dipendam. Terutamanya kemarahan, kekecewaan, kesedihan, dan kenangan-kenangan yang sebenarnya tak perlu dibawa untuk esok. Untuk seketika membuangnya, sepertinya mustahil. Tapi bisa dibenahi.
Perihal yang sebaiknya tak perlu dipikirkan. Belajar untuk memaafkan diri sendiri, kalau memang belum bisa memaafkan orang lain. “Orang lain juga kemungkinan besar udah lupa kali” kata saya berulang ketika mengingat hal-hal yang memalukan saya. Intinya, berbenah. Saya memberanikan diri untuk bertandang ke loteng, ruang gelap berdebu yang keberadaannya selama ini saya paksa lupakan.
Dari situ pula saya belajar tentang diri sendiri. Saya memang ternyata tak suka untuk dingat-ingatkan. Paling malas rasanya baca notifikasi postingan sendiri di masa lalu. Makanya IG Story menjadi tempat yang paling pas. 24 jam hilang. Kecuali ada yang screen cap :p
“Tapi kan akan selalu ada jejak digital” kata teman. Betul juga. Sepertinya untuk benar-benar menghilangkan diri di digital sudah mustahil. Seperti tulisan ini akan selamanya ada di dunia maya. Itu lah penyebab utama mengapa belakangan saya mengurangi keceriwisan di Twitter, lebih selektif saat posting di Instagram Feed. Dan mengapa tulisan di blog pribadi dan linimasa.com berkurang drastis. Currated Post, postingan yang dikurasi. Atau disaring dengan pemikiran yang matang agar tak menyesal di kemudian hari.
2019 sebentar lagi datang. Saya akan melanjutkan perjalanan bebenah ini. Satu-satu masalah akan saya selesaikan pada waktu dan kecepatan yang saya tentukan sendiri.
Aku juga lagi belajar kak
Hmmm belum minimalis banget, tapi udah mengarah ke simple living
Gak kalap belanja; kalau beli baju satu baru, sumbangin yang lama 3. Buku juga gitu
Perabot gak yang gak kepake, disumbangin. Rumah jadi lega dan rapi, gak seperti gudang.
🙏
SukaSuka