Guntur susul-menyusul di kejauhan. Awan kelabu bergerak lambat-lambat dari seberang jendela. Anakku pulang tepat waktu sebelum hujan tumpah dengan derasnya. Ia harus membawa informasi penting dari sekolah. Informasi yang bisa mengusir awan gelap di grup Whatsapp orang tua siswa yang membumbung sejak seminggu lalu.

Dito menikmati situs porno bersama dua kawannya di rumah. Mereka membanggakannya di sekolah. Selingan rehat makan siang itu, entah bagaimana, sampai ke telinga guru mereka. Ini bukan yang pertama kali. Hal serupa pernah juga terjadi setahun lalu, dilakukan dua orang murid yang lain. Kami yakin, sekolah punya rumus jitu untuk menghadapi Dito dan dua kawannya tadi; selain pengalaman. Mereka dipanggil kepala sekolah. Dinasihati.
Hal yang lumrah dilakukan anak remaja saat hormon seksualnya berhamburan. Satu penelitian mengatakan bahwa 5 dari 8 anak terpapar pornografi pada usia 9 tahun. Dan hampir semua remaja berumur 17 tahun saat ini sudah pernah melihat pornografi berat. Baik sengaja maupun ndak sengaja. Kita sedang ndak membicarakan pengalaman seksual ya, beda lagi itu.
Sama seperti narkoba dan minuman keras, mereka bisa menimbulkan kecanduan. Semakin dini kita mendeteksi, semakin baik. Untuk kasus pornografi, alangkah baiknya jika dibicarakan dengan santai. Jangan berekasi secara berlebihan. Marah, dosa, neraka apalagi rasa malu justru akan menutup kesempatan diskusi dengan anak yang membutuhkan bimbingan. Seperti biasa, arus informasi ndak bisa kita lawan. Bagaimana anak menyikapinya yang mesti dipersiapkan. Menjerumuskan anak pada ancaman dosa yang berakibat laknat tuhan menurutku tindakan ndak bertanggung jawab. Dan kita justru menjadikan tuhan sebagai algojo untuk kesalahan diri sendiri dalam menghadapi anak kita.
Pertama, belajarlah. Baca banyak buku tentang pornografi. Pelajari sejarahnya, industrinya, efek psikologisnya, sampai bagaimana menanganinya. Bagikan itu dengan remaja kesayangan kita. Siapkan batasan-batasannya. Ceritakan bahayanya. Dan tutuplah dengan, “kasihtau mama/papa kalo kamu ndak bisa ya…” Cara inipun belum tentu langsung berhasil. Dalam kasus kecanduan berat yang berakibat seseorang sangat tertutup bahkan menghindari sex sesungguhnya; membebaskan mereka butuh proses bimbingan-konsultasi yang panjang. Ribet? Well honey, you don’t deserve a fucking child!
Entah apa yang sekolah bicarakan dengan Dito dan dua kawannya. Tapi, tiga hari lalu kami dengar Mamanya Dito dipanggil ke sekolah. Hanya mamanya Dito. Ndak ada bukti kalau Dito yang menginisiasi kegiatan ini, kan? Bukannya masih ada dua kawannya yang sama bersalahnya dengan Dito? Tahun lalupun ndak ada orang tua siswa yang dipanggil? Tentu kami ndak berdiam diri. Empati sesama orang tua murid bangkit. Kami minta klarifikasi dari pihak sekolah, ndak diberi. Antara diam saja atau menolak memberi keterangan. Mereka terkesan menutup-nutupi kasus ini. Tindakan yang diambil terlalu mencurigakan. Sampai kami memutuskan menggunakan anak masing-masing sebagai informan.
“Dito bilang dia udah biasa pegang-pegang perempuan telanjang gitu, Om…”
“Siapa Kak?”
“Mamahnya…”
Seketika semua pengetahuan pornogafiku runtuh. Aku ndak tau harus gimana. Aku ndak siap, tepatnya. Masalahnya bergeser jauh dari yang bisa aku hadapi. Yang bisa pihak sekolah mediasi. Hujan semakin deras. Udara lebih dingin dari biasanya. Suaranya mendayu-dayu membawa pikiran terburukku saat itu. Aku kok agak menyesal tau soal ini ya? Dan, sudah empat hari grup Whatsapp kami sepi.
Waduh!
SukaSuka