Lupa Kalung di Leher Sendiri

 

“Selamat, semoga bahagia dunia akhirat…” Kalimat yang sering terucap ketika ada kolega yang bertambah umur ataupun menikah, tanda bahwa kita turut berbahagia. Tiga peristiwa tadi adalah kondisi di mana tak mungkin ada kesedihan bagi yang sedang menjalankannya.

Indeks kebahagian secara nasional (Indonesia) meningkat. Pada 2013 pada skala 0-100, indeks kebahagiaan rata-rata masyarakat Indonesia adalah 65,11. Sedang pada tahun berikutnya melalui data Badan Pusat Statistik (BPS), indeks kebahagiaan masyarakat kita meningkat menjadi 68, 28.

Sedikitnya ada 10 aspek yang mendasari pengkalkulasian indeks kebahagiaan dan yang paling banyak kontribusinya adalah kehidupan interaksi keluarga. Ini menandakan bahwa bahagia itu sangat erat dengan perasaan senang dan bersosialisasi. Namun, interpretasinya menjadi beragam seiring dengan perbedaan aspek-aspek lain yang mendasarinya. “Bahagia menurut saya adalah punya rumah, mobil, istri cantik, suami ganteng, smartphone dengan kamera 30 megapixel” Lalu sebagian lainnya mengatakan; “Bahagia itu terlepas dari jeratan hutang” Kemudian beberapa teman pernah bilang; “Saya bahagia bila gaji saya dua digit”

Beragam tujuan yang akan membuat hati kita menjadi bahagia, namun pertanyaannya apakah tujuan itu kini telah tercapai? Lantas bila tujuan itu belum kita capai, kemudian tidak (belum) bahagia? Atau setelah tujuan-tujuan itu tercapai, maka rasa bahagia kita otomatis hilang?

Rumi, seorang filsuf, pernah berkata; “Kita mencari kalung permata dari ruangan ke ruangan yang sebetulnya ada di leher kita sendiri” Bagi saya, pernyataan tersebut bisa jadi sindiran. Pernah waktu saya baru lulus kuliah, setelah setengah tahun menganggur akhirnya dapat pekerjaan. Senangnya luar biasa karena saat itu cukup lama menganggur, saya tidak peduli dengan gaji yang kecil asalkan bisa punya kegiatan. Dua bulan berikutnya ada pertemuan para alumni di kampus, mau tak mau saya berjumpa dengan rekan-rekan satu angkatan di sana. Pertemuan kami bercerita mengenai pengalaman hari pertama bekerja dan (tentunya) bayaran yang didapat dari pekerjaan tersebut. Seketika kebahagiaan saya hilang alias meratapi, kala mendapati gaji teman-teman yang jauh di atas apa yang saya dapatkan saat itu, mungkin ada tiga sampai lima kali lipatnya. Kebahagiaan saya yang baru mendapatkan pekerjaan setelah lama jobless tiba-tiba berubah menjadi kebencian, benci kepada diri sendiri (sama dengan benci kepada Pencipta) yang merasa malu dengan apa yang didapatkan dibandingkan rekan-rekan. Lalu muncullah rasa iri.

Dalam Al Kitab disebutkan; “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang” (Amsal 17:22). Apakah kita hanya bisa gembira saat bahagia? Bagaimana jika sedang tidak bahagia, masih bisakah kita tersenyum? Berat boss! Jika sedang berduka kita tertawa, malah disangka kurang waras.

Di ajaran Islam, Rasul mengatakan ada tujuh aspek kebahagiaan menurut Islam. Aspek yang paling pertama adalah hati yang selalu bersyukur. Saya sangat sepakat, bahwa gembira menurut saya tidak tergantung dengan hal lain (termasuk orang lain). Urusan bersyukur merupakan hal privat, urusan saya dengan Sang Pemberi.

“Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”  (QS Ibrahim:7).

Sekali lagi, selamat, semoga bahagia dunia dan akhirat bagi Anda yang saat ini sedang melangsungkan peristiwa kebahagiaan. Tapi entahlah, itupun jika Anda masih percaya akan adanya akhirat. Bila tidak (belum), ya setidaknya berbahagialah di dunia ini.

 


Penulis: @ayodiki

 

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s