Menunda Emosi Sejenak

Seperti layaknya adegan sesi konseling pecandu hal-hal berbahaya yang sering kita lihat di film atau serial televisi, maka saya mau memulai sesi kita kali ini dengan pengakuan:

“Hi. My name is Nauval, and I’m a Netflix addict.”

Lalu Anda semua secara spontan akan menjawab dengan, “Hi, Nauval.
Tapi berhubung saya tidak bisa melihat reaksi Anda secara langsung, maka saya anggap saja Anda sudah melakukannya.

Sebenarnya sudah cukup lama saya berlangganan Netflix. Kira-kira hampir setahun. Saya memilih Netflix dibanding platform video streaming lain, karena kualitas film yang tersedia. Baik itu serial televisi, film pendek, film dokumenter, atau film cerita panjang. Baik itu produksi dan edaran Netflix sendiri, atau dari apa yang sudah dipilih Netflix untuk kita tonton.

Namun frekuensi menonton ini semakin tinggi saat beberapa bulan lalu Netflix menyediakan fitur untuk mengunduh film yang akan kita tonton. Whoa! Ini berarti, tidak perlu putar akal cari koneksi wifi kencang untuk sekedar menonton. Bisa offline viewing!

Tak ayal lagi, langsung saya mengunduh beberapa film dan serial yang sudah masuk dalam daftar film-film yang mau saya tonton. Seketika juga ponsel nyaris penuh. Maka mau tidak mau, saya harus menyelesaikan menonton film yang sudah diunduh. Selesai menonton, langsung delete filmnya. Space yang ada dipakai untuk mengunduh film atau episode serial berikutnya. Begitu terus berjalan.

(pic from marketingland.com)
(pic from marketingland.com)

Selama ini memang saya cenderung ‘mengagungkan’ pengalaman menonton yang saya anggap proper. Sebisa mungkin di bioskop. Kalau tidak, di layar televisi di rumah.

Nyatanya, sebagian besar waktu dihabiskan untuk beraktivitas di luar rumah. Alhasil, film dan serial hasil unduhan saya tonton waktu saya berlari di atas treadmill. Atau saat di atas pesawat, terutama kalau tidak ada in-flight entertainment. Atau waktu naik kereta. Atau di bangku belakang mobil Uber.

Awal-awalnya terasa aneh. Apalagi harus memegang gawai yang harus saya bawa, kalau tidak ada tempat untuk meletakkannya. Selain itu, mau tidak mau saya harus siap untuk menghentikan apa yang saya tonton saat pesawat mau landing, mobil Uber sudah sampai tujuan, atau sesi lari saya sudah berakhir.

Saya sempat ragu, apakah saya bisa menikmati tontonan film dengan cara seperti ini.
Lama-lama, akhirnya saya terbiasa.

Setelah berkutat dengan dokumenter pendek atau serial dengan durasi 30-40 menit per episode, minggu lalu saya menguji kemampuan diri dengan menonton arthouse film sambil berolahraga. Pilihan saya jatuh pada film Aquarius dari Brazil. Durasinya cukup panjang, 2 jam 20 menit. Filmnya tersampaikan dengan baik. Banyak adegan yang tidak memerlukan banyak dialog, namun kita masih bisa mengikutinya.

Sonia Braga in "Aquarius" (pic from latimes.com)
Sonia Braga in “Aquarius” (pic from latimes.com)

Saya menyelesaikan film ini dalam 3 kali lari. Saya memutuskan untuk tidak menyelesaikan, misalnya, saat pulang ke rumah di hari itu juga. Sambungan film tersebut saya tonton keesokan harinya saat saya lari lagi. Demikian pula seterusnya, sampai film itu selesai.

Ternyata, saya masih bisa sangat menikmati filmnya. Setiap jeda yang saya ambil waktu click tombol “pause”, saya ibaratkan seperti menarik nafas panjang waktu membaca buku. Kadang-kadang, membaca buku bisa menguras emosi kita. Atau mungkin kita sudah mengantuk, sehingga kita menaruh pembatas buku untuk menunda sejenak pengalaman kita masuk ke dalam dunia apapun yang ditulis oleh pengarang.

Demikian pula yang saya rasakan saat menonton dunia lain di layar gawai. Sensasi untuk menghentikan sejenak apa yang kita tonton, absorbing what we just saw, kembali ke dunia nyata dan beraktifitas, sambil berjanji untuk meneruskan tontonan esok hari, rasa yang tercuat sama seperti membalik halaman buku, dan menundanya sesaat.

Tentu saja saya masih ke bioskop. Pengalaman ke bioskop dan menonton di layar lebar masih tidak tergantikan. Toh pergi ke bioskop sendiri adalah sebuah kegiatan, an event, yang memang memerlukan persiapan khusus. Secara tidak langsung, mental kita pun sudah menyiapkan diri untuk mengalokasikan 2-3 jam terpaku di layar lebar.

(pic from businessinsider.com)
(pic from businessinsider.com)

Namun di kesempatan lain, kadang kita tak punya banyak waktu untuk menikmati satu tontonan secara langsung. In that case, mengutip lagu Marvin Gaye dan Diana Ross, just stop, look, listen to your heart.

A good story remains good, no matter how many times you pause to take a breath.

Selamat menonton!

7 respons untuk ‘Menunda Emosi Sejenak

  1. Endorser Netflix! Hehehe

    Well been thinking about having one instead of the current cable and local network… Mau tau kalo ada serial ga di sana? N can u play it on TV set?

    Suka

    1. TV series? Banyak banget. Kebanyakan memang yang buatan Netflix sendiri, and those are really, really good in terms of quality. You can play on TV set by connecting your phone/tablet with additional device like Chromecast. Or you can also set up a streaming box like Xiaomi Mi Box or Amazon Fire TV.

      Suka

      1. Owh… Mi Box… Great… Nanti deh… Gw masalahnya bukan tipe yang bisa berkomitmen sama TV. Jadi kalau harus ketemu jadwal, alamat ga pernah dinyalain…

        Particular question: ada Life in Pieces ga di sana?

        Suka

        1. You don’t have to commit to particular schedule kok. Kalau sudah ada di Netflix, you can basically watch anytime at your convenient time. Belum cek apa Life in Pieces ada atau enggak.

          Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s