Tukar Jadual dan Penjara yang Terbawa Kemanapun Kita Pergi

Ketika ada satu dan lain hal yang menjadikan kita berhalangan untuk hadir, maka kita membutuhkan orang lain.

Misalnya saja Lei yang tak kuat lagi menahan derita untuk meluangkan waktunya menulis di hari jumat, maka ia bertukar jadual dengan saya. Maka hari ini dan setiap jumat kedepan saya akan mengisi pagi Anda. Salam jumpa. 😉

Ketika teman atau rekan sejawat menikah dan melangsungkan resepsi, dan karena kita bukan amoeba yang bisa membelah diri, maka teknologi bernama “titip amplop” adalah bentuk solusi paling ringkas.

Juga ketika rekan kerja pergi keluar kota karena cuti, bukan berbagi kata kunci komputer pangku, melainkan sebelum pamit ia memberikan beberapa berkas salinan lunaknya kepada kita dengan harapan jika saja bos meminta perkembangan pekerjaan maka kita dapat menggantikan perannya dalam penyelesaian tugas.

Contoh lainnya jika kita tak sempat mengambil buku laporan pendidikan anak kita, maka istri dapat menggantikannya, walau idealnya bersama-sama. Juga soal lain seperti titip absen saat kita bolos kuliah. Titip absen saat sidang dewan perwakilan rakyat. Titip doa saat kita malas ke masjid dan gereja. Walau kalimat terakhir agak janggal karena soal doa adalah soal yang sangat intim dan privat dan sebetulnya tak perlu diwakili siapapun. 🙂

Soal mewakili adalah soal amanah dan kepercayaan. Sebuah mata uang paling penting saat ini. Menjaga kepercayaan dan menunaikan tugas. Hal ini, menurut hemat saya, lebih penting dari menunaikan ibadah haji.

Banyak cerita sukses seseorang bukan karena ia bangsawan dan lahir dari orangtua kaya raya, tetapi karena ia pandai menjaga amanah. Karena ia disenangi orang berduit. Karena ia menjadi favorit atasan. Karena ia didukung rekan sejawat. Karena ia baik di mata semua orang. Dapat dipercaya. Menjadi idola tua muda kaya miskin dan orang-orang terdekatnya.

Dari kisah demokrasi, kita dapat berkesimpulan bahwa demokrasi adalah permainan politik dengan cara mengumpulkan amanah sebanyak-banyaknya. Secara logika seharusnya ini menjadi sebuah aturan main yang jelas dan tegas. Karena setiap nyawa memiliki hak untuk mengemukakan pendapat. Apapun latar belakang dan kondisinya.

Dalam alam demokrasi kita tidak sedang mencari orang yang pandai, ganteng, seagama, sesuku, apalagi sedarah. Kita sedang bermain amanah. Siapa yang layak paling dipercaya. Karena tuhan sudah memberikan sebuah mekanisme kepemimpinan di dunia dengan aturan manusia yang waras dan sehat akalnya.

Ndak mesti orang beriman itu pandai menjaga amanah. Ndak mesti. Tapi orang yang menjaga amanah sudah pasti adalah sosok yang meyakini pendiriannya untuk terus berkomitmen untuk dapat dipercaya orang banyak. Bukankah ini lebih luhur dari sekadar beriman?

Tapi ada satu hal dari memberikan amanah yang perlu didahulukan yaitu menjaga kesabaran atas kepercayaan yang telah kita berikan. Percuma saja jika amanah hanya sesaat dan kita sudah tak percaya lagi kepada orang yang sebelumnya kita percayai. Perlu ada mekanisme untuk menarik kepercayaan itu. Toh amanah diberikan bukan kepada sembarang orang, karena kita meyakini bahwa saat amanah diemban, maka sang penjaga amanah harus terus memperbaiki diri dan menambah kapasitasnya baik secara kompetensi maupun integritas.

Balik lagi soal tukar jadual. Juga soal titip amplop. Mereka ada karena kita memang memiliki kepentingan dan prioritas masing-masing. Jika Lei meminta hari Sabtu karena baginya akan ada cukup waktu luang untuk menulis di hari ia tak bekerja. Bagi saya, hari apapun sama saja. Kenapa saya sering titip amplop kepada teman yang akan menghadiri resepsi karena saya beranggapan ada resepsi lainnya yang jadualnya bersamaan dan lebih perlu dihadiri langsung. Bagi teman saya yang dititipi, dia akan hadir dimanapun ia diundang dan kebetulan tak ada jadual resepsi yang “bentrok”.

Dalam konteks yang lain, ini semacam memandang Ahok dari beberapa sisi. Ahok dipandang oleh orang jawa, ia etnis cina yang jadi gubernur dan was-was apakah akan mementingkan semua hak warganya tanpa kecuali. Jika dipandang orang islam, ia adalah orang kristen yang jadi gubernur dan bertanya-tanya apakah akan memberikan toleransi beragama secara wajar. Jika dilihat dari para pengusaha, ia adalah gubernur yang akan memastikan keberlangsungan usaha secara sehat atau tidak. Jika dilihat dari kacamata politikus, apakah Ahok dapat menjadi kuda hitam dan ancaman bagi perolehan suara kandidat lainnya. Bagi seorang ulama, apakah Ahok dapat mencederai keyakinannya.

Oleh karena itu, makna dari saling titip, tukar jadual dan saling percaya untuk memberikan amanah adalah bahwasanya setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda dan sangat subjektif. Adalah baik ketika perbedaan pemaknaan setiap peristiwa disikapi secara wajar. Bukan salah benar tapi saling pengertian. Bukan boleh atau tidak melainkan permakluman.

Sebuah hubungan yang sehat bagi dua pihak bukanlah hubungan yang saling memenjarakan. Apalagi jika penjara itu dibawa kemanapun kita berada. Penjara tak terlihat yang menjadikan kita membatasi diri dalam berinteraksi. Penjara yang membuat kita sulit bertemu dengan orang lain, memberikan sapaan, senyuman dan saling membuka pembicaraan.

Percaya saja. Jauh lebih baik kita saling bergantung dengan orang lain daripada kita berusaha mati-matian hidup mandiri dan mengasingkan diri. Pertama yang perlu kita coba adalah saling bergantung rasa percaya dan menitipkan rasa riang gembira pada hati orang lain di sekitar kita.

Salam hangat di hari jumat.

Roy

 

 

 

 

 

9 respons untuk ‘Tukar Jadual dan Penjara yang Terbawa Kemanapun Kita Pergi

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s