Tantang(an) Lajang!

Kalau ada satu makanan yang sangat saya suka, namun tidak bisa sering dibeli, adalah martabak manis. Ya, martabak manis. Sebagian dari kita menyebut makanan ini dengan nama “terang bulan”.

(Sumber: ngegas.com)
(Sumber: ngegas.com)

Apakah ada alasan kesehatan tertentu, sehingga saya tidak bisa sering mengkonsumsi makanan ini? Alhamdulillah, sejauh ini tidak ada. Meskipun begitu, jujur saya akui, sering kali saya bergidik melihat takaran gula pasir dan mentega yang dituangkan dalam satu adonan martabak. Hiii, serem! Lebih baik memang tidak melihat proses membuatnya secara langsung.

Lalu, apa yang membuat martabak manis ini jarang dibeli?
Tak lain dan tak bukan adalah karena ukurannya.
Sungguh sangat tidak manusiawi untuk para lajang yang tinggal sendiri.

(Sumber: sarihusada.co.id)
(Sumber: sarihusada.co.id)

Beneran, lho!

Ukuran normal martabak manis paling kecil itu sudah cukup besar buat saya. Malah terlalu besar. Meskipun sudah dipotong kecil-kecil supaya bisa muat di dalam kotak bungkusan makanan, tetap saja jumlah potongannya banyak sekali. Sementara buat saya, cukup 2-3 potongan martabak manis sudah membuat cukup eneg.

Memang bisa saya masukkan ke kulkas, lalu dimakan keesokan harinya. Ada kesenangan tersendiri menghangatkan martabak dingin di atas wajan panas. Bunyi “kretek-kretek” dari bunga es yang ada di atas martabak itu, menyenangkan untuk didengar dan dilihat.
Tapi tetap saja, cuma 2 potong yang saya sanggup makan sambil menemani kopi di pagi hari. Sisanya? Terpaksa bertemu tong sampah. Selalu sayang rasanya membuang makanan.

(Sumber: bogasari.com)
(Sumber: bogasari.com)

Intinya, martabak manis adalah salah satu makanan yang sangat tidak single-and-living-alone friendly.

Selain makan martabak manis, ada satu kegiatan lain yang susah dilakukan oleh para lajang yang tinggal sendirian.
Kegiatan yang cukup vital untuk kesehatan, yaitu menggaruk punggung sendiri.

Susah ‘kan?
Memang sih, saya jarang mendapati rasa gatal di punggung. Cuma kadang-kadang keinginan untuk menggaruk punggung itu pasti ada. Kalau sudah begitu, kesusahan sendiri setengah mati. Paling banter cuma menggosokkan punggung di sofa.

Dan sampai sekarang, belum ada keinginan untuk membeli alat penggaruk punggung yang biasanya terbuat dari kayu itu. Soalnya kemunculan rasa gatal ini lebih jarang dari rasa lapar menahan beli martabak manis malam-malam.

Kalau sudah begitu, saya cuma bisa tersenyum kecut. Untungnya, kejadian-kejadian ini sudah terbiasa terjadi. Dan memang masih terjadi.
Apalagi di tengah begitu banyak tawaran-tawaran materi untuk yang berpasangan.

“Mau beli tiket satu lagi? Untuk film ini, buy 1 get 1 free, mas.” / “Oh nggak usah, mbak. Satu aja.”
“Ini sudah satu paket dagingnya, mas. Kalau mau beli satuan, lebih mahal, lho.” / “Gak papa, pak. Masaknya buat satu orang aja.”
“Meja untuk berapa orang, pak?” / “Satu saja, mbak.” / “Di bar atau dekat dapur atau dekat tong sampah, boleh?” / “Terserah!” (Lho kok galak?)

Memilih untuk hidup dan menjadi lajang memang harus kuat. Kuat secara ekonomi karena membayar konsumsi barang untuk diri sendiri. Kuat secara fisik, karena jatah makan banyak orang pun dimakan sendiri. Kuat secara mental, karena it’s not easy to go through your loneliness alone.
Kalau lagi nggak kuat, just smile. In any circumstances.

Termasuk senyum sendiri saat saya menonton film The Happy Ending (1969) beberapa minggu yang lalu, dan menemukan salah satu karakternya berbicara seperti ini:

Flo: Daddy, what’s marriage?

Sam: Business. BIG business. The U.S. economy depends on marriage.

Mary Wilson: Not U.S. Steel?

Sam: Marriage. Once, people saved up to get married. Now, there’s credit. Credit means buying. That means stores, shipping, buildings, factories. Marriage means sex. Beauty. Luxury. Diamonds. Furs. Perfumes. Cars. Gifts for her. Gifts for him. Gifts for them. Marriage means a home. That means painters, plumbers, carpenters, furniture, rugs, curtains, linens, silver, dishes, electric washers, driers, mixers, fixers, stoves, clocks, radios, T.V.’s – thirty billion dollars every year, just to get married… If marriage is made in heaven, a broken marriage is financial blasphemy. Bachelors, divorcees, widows are unprofitable… and that makes them Un-American.

Ah, senyumin aja.
Malah kita masih perlu banyak bantuan orang lain, justru karena kita sendiri, bukan?

😉

Daaagh, nek!
Daaagh, nek!

26 respons untuk ‘Tantang(an) Lajang!

  1. haha iya pernah terjadi soal martabak, udah buat snack sebelum bobo, udah dibagi ke tetangga kost, sama buat sarapan juga.. haha

    klo soal punggung, masalahnya di pasang koyo x_x

    ahh aku lajang bangget brarti.. ehehe hehehe

    Suka

  2. Rumit banget pemikirannya. Padahal .kalau takut martabaknya mubazir, Bisa di bagi bagi loh martabaknya sama temen satu kosan, atau di bagi ke saya aja niscaya kita akan bahagia sambil mengendut bersama 😂

    Suka

  3. Penyelesaian martabak: ada martabak unyil sekarang di Fatmawati (bukan endorsement)

    Kalau penggaruk punggung: pojokan meja/kursi cukup nyaman

    Kalau ditanya gapapa duduk dekat dapur/tong sampah/wastafel: ngga saya mau duduk di meja bulat besar di tengah…

    Suka

      1. Baru sampe kamar. Housemate lg di Semarang. Sepi.

        Sabtu sore sampai malam diisi dengan nonton di bioskop. Sendirian, meski bioskop penuh.

        Sebelum tidur mulai buka linimasa; salah satu hal yang bisa disyukuri dalam hidup sebagai lajang.

        Terima kasih sudah menemani dengan tulisan yang selalu bikin anget selama ini.

        Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s