BIKSU. Kata ini tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menjadi sebutan baku dan populer untuk para pendeta atau petapa (Buddha) pria yang memiliki sejumlah ciri khas. Karena itu, cenderung sangat mudah untuk mengira seseorang yang berkepala plontos, dan mengenakan pakaian berkibar seperti jubah berwarna abu-abu/kuning/cokelat/merah maroon sebagai biksu. Padahal, belum tentu.
Sampai saat ini, Buddhisme terbagi dalam tiga mazhab utama. Dengan perspektif ortodoksi, urutannya adalah Theravada, Mahayana, dan Tantrayana dengan area persebaran berbeda. Theravada lebih banyak ditemui di negara-negara Indochina, dan Sri Lanka; Mahayana mendominasi Asia Timur; sedangkan Tantrayana berpusat di Tibet.
Diserap dari bahasa Sanskerta (bhikṣu), sebutan biksu lebih banyak digunakan dalam lingkungan Mahayana. Sementara penganut Theravada menggunakan sebutan Bhikkhu dari bahasa Pali, bahasa tutur yang digunakan Buddha saat berkomunikasi dengan umat, murid, dan orang awam dari berbagai macam golongan. Sederhananya, apabila Sanskerta adalah bahasa khusus kasta-kasta tinggi, maka Pali digunakan oleh rakyat jelata dan kaum paria yang berada di luar kasta. Tidak punya bentuk tulisannya sendiri.
Bhikkhu dan biksu pada dasarnya sama-sama menjalani kehidupan petapa, bukan profesi atau sekadar gelar. Lelaku. Ada seperangkat aturan kedisiplinan dan kepatutan yang tidak boleh dilanggar sepanjang hidupnya, dengan sanksi paling berat berupa pelepasan jubah dan dikembalikan menjadi umat perumah tangga.
Setiap mazhab memiliki standar etikanya masing-masing. Bhikkhu Theravada tunduk pada 227 aturan baku, tetapi berbeda dengan biksu Mahayana. Jumlah aturan yang dijalankan di Mahayana Tiongkok berbeda dengan di Jepang dan Korea, begitu pula dengan di Tibet. Terlepas dari itu, tetap ada sejumlah perbedaan mencolok antara aturan yang berlaku dalam tradisi Theravada dan Mahayana.
Perihal diet dan makanan, Bhikkhu Theravada masih diperkenankan menyantap daging (selama memenuhi kondisi-kondisi tertentu), namun harus menjalankan puasa makanan sejak tengah hari sampai fajar. Namun biksu Mahayana harus menjadi vegetarian, dengan frekuensi yang lebih banyak. Biksu Mahayana juga ada yang boleh bercocok tanam, terutama untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri.
Bhikkhu dan biksu sejatinya adalah orang-orang miskin, tidak memiliki harta atau kekayaan materi, dan lazimnya hidup dengan sokongan dari para umat perumah tangga. Termasuk saat bepergian, atau memenuhi undangan. Selalu didampingi umat biasa. Menerima pemberian untuk memenuhi kebutuhan pokok, tapi tidak boleh meminta apalagi meminta-minta. Kondisi yang seperti ini pernah menyebabkan para Bhikkhu di India terdesak pada beberapa abad lalu. Banyak di antaranya terpaksa kembali menjadi umat biasa, ada pula yang eksodus ke Sri Lanka.
Jangankan memiliki harta atau kekayaan materi, para Bhikkhu bahkan tidak diperkenankan menyimpan atau memegang uang, emas, logam-logam mulia, permata, dan sejenisnya. Dari ketentuan ini saja, bisa tampak jelas mana yang merupakan Bhikkhu sungguhan, dan yang gadungan. Terlebih di Indonesia, hanya ada sedikit Bhikkhu dan biksu. Jauh berbeda dengan, katakan saja, Thailand. Ketika kita bisa melihat beragam kelakuan aneh orang-orang yang berjubah Bhikkhu di sana. Termasuk yang menggunakan penampilannya sebagai kamuflase atas tindakan kejahatan.

Sayangnya, jangankan orang-orang yang non-Buddhis, banyak juga umat Buddhis awam yang masih terlampau asing dengan figur para pemimpin agamanya sendiri. Sehingga gampang ditipu Bhikkhu atau biksu abal-abal, terutama dari Tiongkok. Biasanya sih, para biksu palsu tersebut datang dengan membawa gelang atau aksesori sejenis, menawarkannya dengan bahasa Tionghoa yang agak kurang jelas, kadang-kadang malah cuma bicara “Amituofo… Amituofo…” Di Samarinda, saya bahkan pernah ketemu biksu palsu yang ngomong “Gongxi facai! Gongxi facai” Lah, dia pikir lagi Imlekan apa ya?! Begitu saya jawab pakai bahasa Tionghoa, dia terkejut. Tampang saya mungkin enggak ada Cina-cinanya sama sekali. HAHAHA!
Di Indonesia, cukup imigrasi saja yang bertindak. Kebetulan para biksu palsu tersebut adalah warga negara asing. Tidak perlu seperti di Malaysia, yang sudah memiliki Sangha Sanctity Protection Centre (SSPC), semacam Satgas untuk menyisir dan menindak biksu gadungan.

Buddhis Indonesia pasti gedeg juga sih dengan keberadaan biksu-biksu palsu, maupun mereka yang memanfaatkan ketidaktahuan umat awam untuk mencari keuntungan. Tapi bagaimanapun juga, penting untuk selalu kritis dan berusaha terus mengenali.
[]
3 respons untuk ‘Antara Biksu, Bhikkhu, dan yang Palsu’