Urusan Tapak Kaki

SELAIN Songkran–festival tahunan yang bikin banyak orang rela berdiet dan intensif ngegym itu, salah satu perayaan budaya bernuansa Buddhisme ala Thailand yang diincar para wisatawan adalah Loi Krathong. Atmosfernya sangat berbeda. Songkran terkenal dengan basah-basahannya, sedangkan Loi Krathong identik dengan melarung pelita.

Suasana Loi Krathong di Pattaya tahun lalu. Foto: lovepattayathailand.com
Suasana Loi Krathong di Pattaya tahun lalu. Foto: lovepattayathailand.com

Sepeninggal Raja Bhumibol Adulyadej 13 Oktober lalu, Thailand berkabung sepanjang tahun. Semua kegiatan publik yang ingar-bingar dan penuh sukaria pun diredam, bahkan banyak yang dibatalkan. Loi Krathong di Pattaya salah satunya, sementara di daerah-daerah lain tetap diselenggarakan meski dibuat lebih prihatin. Naga-naganya, ada doa dan harapan berbeda dalam pelaksanaan Loi Krathong November mendatang. Setiap pelita daun pisang yang dilarungkan ke danau, sungai, maupun laut nantinya, bakal diiringi rasa belasungkawa dan dukacita.

 

Dalam sebulan terakhir hingga pertengahan November, prosesi yang sekilas mirip Loi Krathong dilangsungkan secara kecil-kecilan di berbagai kota Indonesia. Pelita-pelita kertas berbentuk teratai tidak dilarungkan di danau, sungai, apalagi laut, melainkan di kolam-kolam kecil dalam kompleks vihara mazhab Theravada. Bukan Loi Krathong namanya, tetapi Siripada Puja, bagian dari peringatan hari raya Kathina. Tidak ada hubungannya dengan masa duka di Thailand sana.

Berbeda dengan Loi Krathong yang bisa diselenggarakan secara serentak di seluruh Thailand, pelaksanaan Siripada Puja di Indonesia harus diatur dengan jadwal, lantaran total Bhikkhu yang hanya ada 84 orang (dikutip dari sini). Dibagi dalam kelompok-kelompok kecil berisi empat sampai delapan Bhikkhu, mereka ditugaskan untuk menjalani semacam roadshow mulai dari pulau-pulau luar Jawa dan Sumatera. Di Jakarta sendiri, salah satu sesi Kathina dan Siripada Puja penutup dijadwalkan berlangsung Sabtu kedua November mendatang.

14633226_204169956677634_5990129097486499728_o
Siripada Puja dimulai oleh para Bhikkhu di Vihara Santi Graha, Tanjungredeb, Berau. Minggu (18/10). Foto: comot dari Facebook teman.
img_1954
Siripada Puja di Vihara Muladharma, Samarinda. Minggu (23/10) lalu. Foto: comot dari Path teman.

Serupa tapi tak sama. Pelarungan pelita saat Loi Krathong lebih bertujuan untuk memanjatkan doa-doa khas ritual keagamaan, serta sebagai bentuk pemujaan kepada dewi air dalam kepercayaan lokal Thailand. Sedangkan Siripada Puja merupakan tradisi Buddhisme mazhab Theravada asal Asia Selatan, berupa penghormatan kepada tapak kaki Sang Buddha (dalam bahasa Pali, pada: kaki) yang konon tersebar di India dan Sri Lanka. Siripada Puja dimaknai sebagai penguatan tekad untuk mengikuti jejaknya.

Mengapa Siripada Puja dilakukan dengan melarungkan pelita di perairan, meskipun cuma kolam kecil?

Pertama. Siripada Puja merupakan prosesi simbolis, bukan ibadah atau persembahyangan. Toh, Buddhisme memang tidak mengenal konsep sembahyang. Selain itu, satu orang membawa satu pelita. Kelihatannya lebih keren sih apabila pelita-pelita tersebut dilarungkan dalam jumlah yang lebih banyak, dan di perairan yang lebih luas, tapi jatuhnya bakal seperti prosesi penerbangan lampion di areal Borobudur saat peringatan Vesak. Belum lagi sampah sisa-sisanya. Salah satu prosesi Siripada Puja yang pernah pertama dilakukan di perairan umum Indonesia adalah di Tangerang, 2008 lalu (CMIIW). Pelita dilarungkan ke Sungai Cisadane. Dampaknya, bahkan banyak Buddhis lokal yang mengeluhkan pelaksanaan yang berisik, tidak khusyuk, dan menyisakan sampah. :p

Kedua. Konon terdapat lima titik tempat Buddha meninggalkan cenderamata berupa tapak kaki di batu. Kelima lokasi tersebut adalah: Nammada, Yonakapura, Sumanakuta, Suvannapabbata, dan Suvannamalika. Dua titik di antaranya masih bisa ditelusuri hingga saat ini, yaitu Nammada yang kini dikenal sebagai Sungai Narmada atau Sungai Reva di India, serta Sumanakuta (Puncak Sumana) di Sri Lanka. Jadi, pelita yang dilengkapi dupa wangi, diniatkan mengalir sampai ke lokasi-lokasi tersebut.

Khusus untuk Sumanakuta di Sri Lanka, situs ini masih ada, masih bisa dikunjungi, dan tentu ramai peziarah… dari banyak agama. Seperti Yerusalem yang jadi tempat suci bagi umat tiga agama besar Samawi, Sumanakuta juga jadi “miliknya” Buddhis, Muslim, umat Hindu, dan umat Kristen. Semua terpusat pada satu bekas jejak kaki yang sama. Nah loh!

Ini di Puncak Sumana/Adam's Peak, tapi itu bukan bekas tapak kaki yang sebenarnya. Kabarnya, tapak kaki yang asli sudah dikubur. Foto: islamiclandmarks.com
Ini di Puncak Sumana/Adam’s Peak, tapi itu bukan bekas tapak kaki yang sebenarnya. Kabarnya, tapak kaki yang asli sudah dikubur. Foto: islamiclandmarks.com

Bagi Buddhis, tapak kaki yang ada di Puncak Sumana tersebut dipercaya adalah milik Sang Buddha, ketika berkunjung ke Sri Lanka atas undangan Raja Maniakkhika dari Kerajaan Kelaniya.

Bagi Muslim dan umat Kristen, lokasi tersebut dikenal sebagai Adam’s Peak (Puncak Adam). Entah bagaimana ceritanya, konon tapak kaki tersebut dipercaya sebagai jejak Nabi Adam setelah diusir dari Taman Eden atau firdaus dan terpisahkan dengan Hawa.

Bagi umat Hindu, tapak kaki tersebut dipercaya adalah milik Dewa Siva. Selebihnya, Puncak Sumana juga dipercaya sebagai bagian dari ibu kota Kerajaan Alengka saat dipimpin Dasamuka alias Rahwana dalam periode Ramayana. Dewi Sinta pernah diculik dan dibawa ke sana.

Puncak Sumana/Adam's Peak. Foto: Pinterest
Puncak Sumana/Adam’s Peak. Foto: Pinterest

Kalau sudah begini, mana yang benar? Itu tapak kakinya siapa sih? Apa mesti harus minta bantuan Teko Ajaib miliknya Pangeran Dandan dan Putri Syalala supaya bisa ke masa lalu? Bagi saya yang Buddhis, ya terserah saja sih mau tapak kakinya siapa pun itu. Lagian tidak ada keharusan untuk melakukan ritual Siripada Puja, dan niat awalnya adalah sebagai simbolisme untuk diri ini bisa bersikap baik, dan berusaha menjadi sama seperti Buddha. Apalagi kebetulan, we’re encouraged to doubt, examine, and came with the final result; supaya jangan sok-sokan fanatik kalau sendirinya enggak benar-benar tahu apa yang pernah terjadi dulu.

[]

8 respons untuk ‘Urusan Tapak Kaki

  1. Teko ajaib, pangeran Dandan, Putri Syalala… lhah ini tontonan saya pas masih esde. :))

    Koh, nanya, kalau ada mesin waktu, pengen pergi ke zaman apa?

    Suka

    1. Ya sama… Pokoknya tontonan waktu masih pada bocah dah. 😂

      Hmm, kalau soal mesin waktu, penginnya ke mana ya? Banyak sih, tapi yg paling realistis pengin balik ke masa kecil. Biar insiden-insiden kecil bisa dicegah, dan akunya yg sekarang jadi gantengan. HAHAHAHA! Cetek abis.

      Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s