HARI ini tanggal 14, saatnya Valentine’s Day. Harinya perayaan cinta dan kasih sayang, terutama buat yang sedang berpacaran atau sudah punya pasangan. Selain itu, Tahun Baru Imlek pun tinggal sebentar lagi, tulat nanti. Momen untuk pulang kampung, dan/atau kembali berkumpul dengan keluarga.
Terbawa suasana, rencana awalnya kepingin menulis yang ringan-ringan saja, yang ceria dan positif. Sampai akhirnya melihat twit ini.
Setelah mencermati benar-benar apa yang sebenarnya terjadi, dan mencoba mencari konfirmasi serta informasi tambahan dari sana sini, langsung terheran-heran melihat sekumpulan orang yang seakan kehilangan kemampuan bernalar dengan baik.
Dianggap melakukan “ritual” keagamaan yang melibatkan banyak orang di tengah lingkungan pemukiman, Bhikkhu Atichagaro diminta sekelompok warga setempat untuk menghentikan aktivitas tersebut. Dia bahkan diminta meninggalkan kawasan itu karena dianggap melakukan syiar atau penyebaran agama Buddha, alias mengajak orang lain berpindah keyakinan.
Benarkah demikian?
Apa sih “ritual” keagamaan yang dilakukan oleh Bhikkhu tersebut sampai bisa bikin sekelompok warga tadi berang?
Adalah sebuah … jamuan makan siang!
Ya! Cuma makan siang.
Lah, terus kok dianggap sebagai ritual dan syiar agama Buddha? Nah, entahlah. Apakah sekelompok warga tadi yang terlampau kreatif dan punya imajinasi liar, atau pada dasarnya memang enggan bertanya dan mencoba memahami hal-hal yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
…
Bhikkhu tidak diperkenankan memiliki atau memegang uang dan alat-alat pembayaran lainnya. Oleh sebab itu, Bhikkhu Atichagaro (dan para bhikkhu lainnya) tidak akan bisa membeli makanannya sendiri.
Setelah resmi menjadi bhikkhu, mereka tidak memiliki rumah atau kediaman pribadi, mereka tidak memiliki harta dalam bentuk apa pun kecuali mangkuk makan dan satu set jubah, dan mereka juga tidak lagi terikat hubungan keluarga. Kehidupan mereka pun disokong oleh umat awam/perumah tangga.
Makanan diberikan kepada para bhikkhu sebagai persembahan sekaligus donasi/sedekah. Seringkali terjadi, penyumbang dan makanan yang diberikan jauh lebih banyak dibanding jumlah bhikkhu yang ada.

Sebelum mulai bersantap, ada tradisi dalam mazhab Theravada ketika para bhikkhu mengucapkan terima kasih atas sumbangan dari umat (biasanya dibarengi dengan ceramah singkat), dan dilanjutkan dengan pelimpahan jasa. Serupa tapi tak sama, pelimpahan jasa ini seperti mengirimkan doa kepada sanak keluarga yang telah meninggal, atau melakukan perbuatan baik atas nama mendiang.
Ucapan terima kasih yang disampaikan oleh para bhikkhu ditandai dengan pembacaan syair-syair dalam bahasa Pali, atau bahasa India kuno. Bagi yang tidak paham, kegiatan ini akan terkesan seperti sebuah “ritual” atau persembahyangan. Ceramah singkat yang disampaikan pun umumnya mengenai hal-hal dasar, mengingat durasi yang terbatas (setelah tengah hari, bhikkhu harus berpuasa sampai fajar keesokan harinya).
Banyaknya jumlah makanan yang didonasikan oleh para umat membuat bhikkhu mustahil menghabiskan semua. Di samping itu, bhikkhu tidak diperkenankan untuk melekat pada kenikmatan atas makanan, apalagi sampai mengalami kekenyangan. Makanya, setelah bhikkhu selesai bersantap, giliran para umat yang makan bersama-sama. Tak ubahnya potluck atau botram. Makan-makan yang dilakukan tersebut bukan untuk merayakan sesuatu. Daripada mubazir, atau dibuang.

Dengan begini, wajar dong kalau kemudian mempertanyakan apa yang sebenarnya dipermasalahkan oleh sekelompok warga tadi?
Syiar agama dalam bentuk apa?
Siapa yang diajak berpindah agama?
Soal ornamen keagamaan, ehm… yang mana ya? Patung kah? Jubah Bhikkhu yang berwarna cokelat kah? Kepala yang gundul sampai ke kumis, janggut, dan alis?
Kalau mempermasalahkan patung, namanya juga agama Buddha. Mosok mau pasang patung Doraemon? Kan enggak nyambung.
Kaum Buddhis yang benar-benar mempelajari Buddhisme, bukan paganisme Tionghoa dan sejenisnya cukup “kenyang” perihal satu ini. Buddhisme kerap dianggap sebagai agama penyembahan berhala, berorientasi pada patung. 😅 Padahal tradisi membuat patung Buddha baru muncul beberapa abad setelah wafatnya, ketika ajaran menyebar dan mulai dikenal oleh bangsa Yunani yang memang terkenal dengan seni patung realisme Hellenistic. Itu sebabnya, patung Buddha pertama memiliki paras yang kebule-bulean.
…
Saya tidak kenal Bhikkhu Atichagaro (dan menolak untuk menyebutnya sebagai Biksu Mulyanto Nurhalim, sebab nama itu sudah ditanggalkannya). Terlebih lagi, kami pun saling berbeda afiliasi religius. Saya belajar Buddhisme dari para bhikkhu Indonesia yang bernaung di bawah organisasi Sangha Theravada Indonesia (STI), sementara Bhikkhu Atichagaro menjalankan tradisi Theravada Thailand.
Dengan menuliskan tentang ini di sini, saya yakin seyakin-yakinnya pasti tidak bakal sampai juga ke sekelompok warga tadi. Namun, setidaknya ada informasi yang tersampaikan, dan pastinya tidak ada yang salah dengan sedikit lebih tahu mengenai sesuatu.
Sudah banyak banget kasus dan kejadian dengan model seperti ini; gara-gara “tidak tahu” atau “salah paham” semata. Terus berulang.
Contoh lainnya, di video pertama, Bhikkhu Atichagaro direkam saat membacakan surat pernyataan dalam kondisi “nyaris telanjang”. Kain yang ia kenakan saat itu, disebut sebagai jubah dalam. Bukan pakaian yang sepatutnya dikenakan seorang bhikkhu Theravada saat bertemu dengan khalayak. Bedakan dengan model jubah yang dikenakan Bhikkhu Atichagaro di video kedua, ketika tindakan pengusiran tersebut diklaim “bohong”. Lilitannya lebih tebal dan lebih tertutup.
Kalau tidak tahu, ya cobalah cari tahu, jangan malah berlagak sok tahu. Gunakan otak untuk berpikir dalam memahami sesuatu, dan ketika muncul ketidakjelasan, coba ditanyakan pelan-pelan (biar bicaranya enggak belibetan), lalu simak jawaban yang disampaikan. Tidak usah tergesa-gesa. Wajar kok, setiap orang memiliki kemampuan menyimak untuk memahami yang berbeda-beda.
Apabila masih tidak mengerti, silakan tanyakan kembali sampai sejelas-jelasnya. Daripada sudah terang-terangan salah, tetapi malah bersikeras, dan terus main hajar tanpa peduli kanan kiri. Soalnya bikin malu sendiri. Itu pun kalau yang bersangkutan sadar.
Di sisi lain, mediasi dan upaya komunikasi kedua belah pihak memang sempat dilakukan. Hanya saja sangat disayangkan, perwakilan umat Buddha yang semestinya bisa menyampaikan penjelasan dengan baik, justru bertindak sebaliknya. Entah, barangkali ikut merasa tertekan oleh keadaan, atau kebingungan. Kan bisa menggunakan persamaan-persamaan yang dipahami umum.
Donasi makan siang = kenduri atau botram.
Pelimpahan jasa = selamatan atau tahlilan.
…
Ya sudahlah.
Happy Valentine’s Day, sayang. Ada atau tidak ada orangnya, yang penting “sayang” dulu aja mah.
Lebih baik sayang-sayangan, daripada meradang.
[]
“Happy Valentine’s Day, sayang. Ada atau tidak ada orangnya, yang penting “sayang” dulu aja mah.
Lebih baik sayang-sayangan, daripada meradang.”
#EAAAAAAAAAAA
SukaSuka
happy valentine day, kak gono
SukaSuka