2 Kg

Warung terbesar di kampung Betawi siang itu ramai dikunjungi pembeli. Maklum sebentar lagi Lebaran tiba. Seluruh warga kampung bersiap menyambutnya dengan berbagai cara. Ibu Pudjo pemilik warung bahkan tak sempat merapikan rambutnya, saking sibuknya melayani pembeli. Beras yang menjadi syarat mutlak bikin Ketupat, laris manis diborong. Sampai semua beras hampir ludes, tersisa 2 kg.

Aminah, salah seorang pembeli warung dengan sigap berkata “Berasnya saya borong semua Bu” kepada Bu Pudjo.

“Waduh maaf Bu, ini beras sisa 2 kilo udah dipesan rumah seberang” jawab Bu Pudjo sambil menunjuk ke sebuah rumah mungil di seberang warung.

“Pesanan Bu Maria? Aduh kan dia gak Lebaranan, Bu Pudjooo…. Buat saya saja lah. Nanti Bu Maria bisa beli beras yang lain” jawab Aminah dengan sedikit merayu.

“Gak enak sayanya Bu, kan sudah dipesan jauh-jauh hari beras ini. Katanya kalau bukan beras ini, kurang enak Ketupatnya” Ibu Pudjo berusaha menjelaskan.

“Tapi dia gak Lebaranan, Bu… Saya yang Lebaranan. Bu Maria kan gak bikin Ketupat juga gak apa-apa… Saya kalo gak bikin Ketupat bisa diomelin Mertua nih, Bu…” Minah mulai mendesak.

Bu Pudjo tampak berpikir sejenak, dan kemudian melanjutkan “gimana kalau Bu Minah ambil saja beras lain, yang ini Bu…” sambil menunjuk ke arah se-karung beras yang belum dibuka.

“Aduh saya gak terbiasa deh bikin Ketupat pake beras lain, nanti hasilnya beda. Beras yang ini paling cocok buat Ketupat…” kata Minah sambil mengeluarkan uang dari dompetnya bersiap membayar. “Ini ambil semuanya aja, Bu Pudjooo” kata Minah.

Ibu Pudjo melihat lembaran uang yang disodor Minah, jumlahnya lebih banyak dari yang seharusnya. Walau sedikit berat, namun bayangan mendapatkan untung lebih banyak menghampiri pikirannya. Tanpa sepatah kata pun, Bu Pudjo pun mengambil beras pesanan Ibu Maria, memasukkannya ke dalam kantong plastik, dan memberikannya kepada Minah.

Aminah mengambil beras yang dia inginkan, dan kemudian melenggang pergi. Sementara Bu Pudjo dengan cekatan memasukkan uang ke dalam laci, sambil bersyukur “Alhamdulillah…”

Tahun ini bukan tahun yang baik untuk bisnis warung Bu Pudjo. Harga-harga melambung tinggi sementara daya beli tak berjalan seiring. Selisih untung yang didapatkan, tak lagi cukup sebenarnya untuk melanjutkan bisnis warung ini. Makanya, sesedikit apa pun untung yang bisa diraih, pasti akan diambil. Warung ini tak hanya menopang keluarga Bu Pudjo, tapi juga 3 orang karyawannya yang sudah bekerja lebih dari 12 tahun.

Di perjalanan pulang, Aminah tersenyum bahagia dan lega. Ketupat yang pulen, bersih, dan tak berair pasti akan menuai pujian dari Mertuanya. Maklum saja, setiap kali Mertuanya datang, sepertinya tak ada sedikit pun yang baik yang Minah lakukan. Semuanya salah. Bahkan sendok garpu yang tak serasi pun bisa menjadi cibiran berhari-hari.

“Mas Warino, boleh tolong sebentar?” panggil Bu Pudjo kepada seorang karyawannya. “Tolong belikan beras tipe ini ke warung pasar seberang. Biar nanti kalau Bu Maria datang, beras pesanannya sudah ada lagi. Gak perlu banyak-banyak, Mas, dua kilo saja cukup” perintah Bu Pudjo sambil memberikan uang kepada Mas Warino. Warino langsung mengambil uang itu dan kemudian bergegas menuju warung pasar seberang.

Di perjalanan, Warino yang tak pernah bersinggungan di dapur mulai berpikir bahwa semua beras baginya sama saja. Semua tampak putih, dan ketika dimasak semua beras akan menjadi nasi. Tak ada istilah kasta dalam beras di kehidupan Warino. Toh selama ini dia tak pernah makan di rumah. Terutama sejak istrinya kena stroke tak lagi bisa beraktivitas. Praktis semua kebutuhan sehari-hari Warino menjadi tanggung jawabnya sendiri. Nasi, yang menjadi makanan pokok selalu dibelinya dari warteg sebelah.

“Kalau bisa beli beras yang lebih murah, tentu ada sedikit kelebihan uang yang bisa disimpannya. Lumayan buat nambah-nambah uang rokok” pikir Warino yang hanya bisa merokok seminggu tiga kali. “Beras ya beras, akan menjadi nasi juga” pikir Warino meyakinkan dirinya.

“Ini Bu, berasnya” kata Warino sambil memberikannya kepada Ibu Pudjo. “Gak usah dikeluarkan dari plastik, Mas. Sebentar lagi juga akan diambil” perintah Bu Pudjo yang diikuti dengan anggukan Mas Warino dan kemudian meletakkan satu plastik beras ke dalam ember.

Bedug Maghrib berkumandang, Mas Warino berbuka puasa dengan merokok. Setiap hisapan dinikmatinya dengan sungguh-sungguh. Hatinya seketika hangat seraya bersyukur kepada Tuhannya “Alhamdulillah, telah kau anugerahkan bagiku sebatang rokok yang sungguh nikmat ini yang Allah” doa Mas Warino dalam hati.

Tepat setengah delapan malam, Ibu Maria yang baru saja pulang kantor mendatangi warung Bu Pudjo yang hampir tutup. Dengan segera Ibu Maria membayar dan mengambil beras dalam plastik pesanannya. “Maaf Bu Pudjooo, aku baru bisa ambil jam segini. Jakarta makin macet mau Lebaran. Maklumin ya Buuu…”.

Di perjalanan pulang, Maria tampak tersenyum bahagia dan lega. Ketupat yang pulen, bersih, dan tak berair pasti akan menuai pujian. Walau tak merayakan Lebaran, tapi Ketupat tak punya agama. Boleh dinikmati siapa saja. Dan tahun ini, Maria ingin mengulang kesuksesan Ketupat buatannya tahun lalu. Membahagiakan perut suami yang sudah 3 bulan bekerja di luar kota, menjadi salah satu tujuan hidupnya saat ini. Cinta berbalut rindu, pasti akan menjadi bumbu penyedap alami Ketupat resep keluarga Ibu Maria.

Bedug malam Takbiran bertalu-talu keliling kampung. Semua warga tampak bersemangat menyambut Lebaran. Terutamanya anak-anak yang menganggap malam Takbiran adalah keriaan setahun sekali. Semakin kencang teriakan mereka semakin bahagia hatinya.

Dapur Ibu Aminah mengepul, pertanda Ketupat matang. Dengan hati gembira Minah menggantungnya satu persatu supaya kering dan tak lekas basi. Suami dan Ibu Mertuanya, sedang menjalani Isya terakhir di bulan suci. “Terima kasih ya Allah, dari aromanya saja Ketupat ini pasti pulen dan nikmat. Insya Allah aku dibebaskan dari cibiran Mertua tahun ini.”

Dapur Ibu Maria tak kalah ramainya. Kepulan asap tak hanya memenuhi dapur tapi juga ruang tamunya. Patung Salib Yesus yang ada di ruang tamu seolah ikut menghirup aroma Ketupat. Hati suaminya yang baru pulang di Malam Takbiran itu pun hangat seketika.

salatsalembaKeesokan paginya, Ibu Aminah sekeluarga baru saja selesai menjalankan Sholat Ied. Mengenakan pakaian seragam keluarga putih dengan sedikit aksen berwarna hijau keemasan, mereka sekeluarga berjalan kaki menuju pulang.

Ketika melewati rumah Ibu Maria yang sedang berada di teras, Ibu Maria memanggil dengan lantang “Bu Aminaaah, minal aidin walfaidzin Bu….” sambil berjalan mendekati. Ibu Maria memeluk Ibu Aminah yang disambut dengan mesra dan hangat. “Maaf lahir batin ya Bu…” kata Ibu Maria. “Sama-sama maafin lahir batin ya Bu…” balas Ibu Aminah.

Setelah sedikit berbasa basi, Ibu Maria melanjutkan “aku ada Ketupat untuk Ibu, gak banyak sih tapi biar Ibu bisa icip resep masakan keluarga saya. Semoga cocok. Sebentar ya Bu” sambil bergegas masuk ke dalam rumah.

“Ini Bu, Ketupat resep keluarga saya. Tapi kali ini kurang bagus Ketupatnya. Mungkin lagi musim Pancaroba ya, jadi berasnya kurang pas seperti biasanya. Semoga cocok ya Bu…” kata Ibu Maria sambil memberikan seikat Ketupat dan sayurnya ke Ibu Aminah.

Dari Mesjid terdengar takbir melantun merdu. Menembus setiap hati, tanpa kecuali.


seraya mengenang yasmin ahmad.

selamat idul fitri mohon maaf lahir batin, dear datin.

2 respons untuk ‘2 Kg

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s