Saya bisa menikmati musik Jazz atau komposisi Mozart atau Beethoven, tetapi apabila saya mendengarnya saya tidak pernah merasa melihat diri saya sendiri dan berada di rumah sendiri. Saya bisa berjingkrak-jingkrak mendengarkan musik rock atau reggae, tetapi tetap merasa tidak di rumah sendiri. Ini berlainan dengan apabila saya mendengar lagu keroncong, gending-gending Jawa dan Madura, degung dan kecapi Sunda, atau gamelan Bali. Di sana saya merasa di rumah dan melihat diri sendiri. Suatu jenis musik bisa dikatakan sebagai hasil kebudayaan bangsa, apabila ia lahir dan tumbuh, serta dicipta oleh seniman yang hidup di negeri tempat bangsa itu besar dan tumbuh. Unsur-unsurnya mungkin dipengaruhi oleh kebudayaan lain di luarnya, tetapi ia bukan hasil tiruan dan jiplakan, bukan karena di-xerox. Tumbuhnya pula bukan disebabkan oleh adanya industri hiburan, melainkan disebabkan oleh kreativitas dan keperluan masyarakat pendukungnya itu sendiri –Abdul Hadi WM, Islam, Tradisi Estetika dan Sastranya di Indonesia 2006
Kira-kira dua kilogram lebih dua ons tahi sabar mengantri saat saya menulis ini. Mereka kena PHP karena saya ndak lantas segera ke kakus. Jadual hari sabtu saya untuk menulis hampir terancam tak dipergunakan. Saya ketiduran. Semalam saya rapat hingga dini hari. Menghasilkan risalah dini hari. Lalu tiba-tiba terbangun karena ngidam nonton The Revenant. Tapi saya urungkan niat. Saya belum bayar tagihan macam-macam. Saya harus giat bekerja. Termasuk menulis. Termasuk menyapa Anda.
“Hai…”
Bagi masyarakat Indonesia, filsafat bukan sekadar pengetahuan rasional, tetapi harus dibuktikan dapat dipraktikkan dalam hidup sehari-hari. Filsafat sebagai wacana kurang dilakukan, tetapi filsafat sebagai ‘pegangan hidup’ sejak dulu dipraktikkan. Inilah sebabnya, untuk mengetahui ‘filsafat’ orang Indonesia, kita perlu membacanya dalam berkas-berkas hasil tindakannya. Filsafat masyarakat Indonesia adalah praktik hidupnya sehari-hari. Filsafat Indonesia tidak berwujud diskusi-diskusi verbal yang abstrak rasional seperti biasa kita baca dalam sejarah Barat (Eropa-Amerika)–Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
“Kejahatan adalah nafsu yang terdidik. Kepandaian, seringkali, adalah kelicikan yang menyamar. Adapun kebodohan, acapkali, adalah kebaikan yang bernasib buruk. Kelalaian adalah itikad baik yang terlalu polos. Dan kelemahan adalah kemuliaan hati yang berlebihan.” ― Emha Ainun Nadjib, OPLeS: Opini Plesetan.
Negeri ini sungguh-sungguh membutuhkan pemberani-pemberani yang gila, asal cerdas. Bukan yang tahu adat, yang berkepribadian pribumi, yang suka harmoni, yang saleh alim, yang nurut model kuli dan babu.”
― Y.B. Mangunwijaya, Burung-Burung Rantau
“Tanah air ada disana, dimana ada cinta dan kedekatan hati, dimana tidak ada manusia menginjak manusia lain.”
― Y.B. Mangunwijaya, Burung-Burung Manyar
Sebagian kecil dari kita memang dilahirkan untuk menjadi serius. Amat sangat serius sekali. Juga lebay, seperti kalimat tepat sebelum ini. Sebagian dari kita dilahirkan untuk berkata-kata dengan suara serak, melebihi seraknya Karni Ilyas. Menjadi orang sok tahu, melebihi sok tahunya Benhan. Menjadi oportunis hoki, melebihi oportunis hokinya golongan tua semacam Ndorokakung. Sebagian lagi jauh lebih terkenal dari seorang Aulia Masna. Atau lebih garing dari lawakannya Raditya Dika. Lebih cina dari Ernest Prakasa. Lebih bawel dari cerewetnya Joko Anwar.
Menjadi manusia sosial media, adalah menjadi seolah-olah menjadi warga biasa yang kemampuan analisisnya melebihi google. Petualangannya keliling dunia melebihi Ngabdul.
Semua orang, hidup atau mati, murni kebetulan,
kata seorang pria suatu ketika sebelum ia mati pada 11 April 2007. Pria yang kebetulan bernama Kurt Vonnegut.
Tapi sudahlah. Telah tumbuhlah benih-benih pengakuan, bahwa yang benar-benar penting dalam sejarah justru adalah hidup sehari-hari, yang normal yang biasa, dan bukan pertama-tama kehidupan serba luar biasa dari kaum ekstravagan serba mewah tapi kosong konsumtif. Dengan kata lain, kita mulai belajar, bahwa tokoh sejarah dan pahlawan sejati harus kita temukan kembali di antara kaum rakyat biasa yang sehari-hari, yang barangkali kecil dalam harta maupun kuasa, namun besar dalam kesetiaannya demi kehidupan. [Impian dari Yogyakarta, hlm. 38]”― Y.B. Mangunwijaya

Saya suka kutipan ‘Impian dari Yogyakarta’ Romo Mangun. Jadi ingat dulu pernah baca sewaktu kuliah:)
saya juga baru saja menamatkan Burung-Burung Rantau. buku yang bagus 😊
kirain linimasa hari sabtu kemarin libur 😀
by the way, terimakasih om Roy, tulisannya selalu bikin hati jadi anget 😀
ndak libur kok. cuma selalu terbit sore karena banyak hal yang harus didahulukan. begitu.
terima kasih masih sempatkan waktu membaca.
salam anget ya.