The Aftertaste of Revenge

SALAHKAH kiranya jika dikatakan bahwa memiliki dendam adalah hak setiap orang? Hak emosional, lebih tepatnya. Sesuatu yang muncul secara alamiah sebagai sebuah respons.

Menjadi makhluk berperasaan yang memiliki ketahanan mental serta kadar kebijaksanaan berbeda-beda dalam menjalani hidup, barangkali ada orang yang memiliki keteguhan batin tak tergoyahkan, beda tipis dengan cuek, namun ada lebih banyak lagi orang yang awam dengan keterampilan seperti itu. Sehingga mereka hanya bisa bereaksi sesuai aksi: dicubit-sakit, ditampar-perih, ditinju-ngilu, dihina-malu, digunjingkan-marah dan sebagainya. Kemudian rasa sakit, perih, ngilu, malu, dan marah tadi menyisakan ketidaknyamanan—bahkan kebencian—terhadap si pelaku. Mendorong sang korban untuk melampiaskan ketidaknyamanan yang ada. Entah bagaimanapun caranya, yang penting ada pembalasan. Jatuh-jatuhnya, cubit dibalas cubit, tampar dibalas tampar, tinju dibalas tinju, hinaan dibalas hinaan, gunjingan dibalas gunjingan, dan seterusnya. Ada pembalasan yang dilakukan saat itu juga, tapi ada juga yang baru bisa dilakukan setelah si korban benar-benar merasa kuat atau jauh lebih unggul, posisi tertindas-menindas berbalik.

Meskipun jawaban untuk pertanyaan di atas adalah “barangkali tidak salah,” akan tetapi hampir semua ajaran agama mengimbau bahkan memerintahkan penganutnya untuk jauh-jauh dari dendam. Lantaran perasaan tersebut diklaim hanya akan membawa keburukan dalam kehidupan, juga mendorong seseorang cenderung bertindak melanggar aturan kemoralan. Ada ajaran agama yang mendoktrin bahwa memiliki, menyimpan, dan melampiaskan dendam itu pokoknya salah tanpa bisa dibantah. Ada pula yang menjabarkan bahwa memiliki, menyimpan, dan melampiaskan dendam itu sia-sia, semu, dan merugikan diri sendiri. Berikutnya, ada yang lebih ekstrem lagi, sampai-sampai kerap berhasil menjadi semacam turning point dalam kasus ini. Yaitu membalas perbuatan buruk, dengan kebaikan yang jauh lebih unggul. Dengan harapan si pelaku perbuatan pertama bisa merasa malu, sungkan, dan akhirnya menyesal dengan tindakannya. Entah argumentasi mana yang Anda akrabi selama ini, pasti ada alasannya sendiri. Kembali lagi, setiap orang memiliki karakteristiknya masing-masing.

Memang ada istilah “sweet as revenge,” ketika pembalasan dendam terasa begitu nikmat dan menyenangkan. Sama nikmatnya seperti rasa geregetan yang dibayar lunas, gemas yang sudah antiklimaks. Sama rasanya seperti menonton sinetron akhir 90-an sampai pertengahan 2000-an, saat sang protagonis akhirnya mampu membalas perbuatan mertua jahat, dan sebagainya. Hanya saja, dendam membuat keburukan terasa jauh lebih kuat. Teramplifikasi. Membuat kita, sebagai si pembalas dendam, tidak jauh lebih baik dari si pembuat keburukan awal.

Isi paragraf di atas ini memang klise. Sudah kerap disampaikan di sidang jemaat, majelis taklim, maupun mimbar-mimbar khotbah. Lagi-lagi, ada yang nyantol dan berusaha untuk menghindari jadi pembalas dendam. Tapi ada yang saking emosionalnya, sampai-sampai enggak bakal bisa tenang sebelum dendamnya terbalaskan. Ya baiklah. Namanya juga hak emosional. Silakan dilancarkan pembalasan itu. Silakan mengalami puasnya sebuah pelunasan. Silakan merasa jauh lebih hebat dibanding sebelumnya. Nanti kalau semua itu sudah selesai, silakan dirasakan kembali, bagaimana kesannya. Pasalnya, banyak yang kerap luput akan satu hal saat berurusan dengan pembalasan dendam. Yaitu, apa yang ada setelahnya.

Percaya tidak percaya, nikmatnya pembalasan dendam hanya akan menyisakan ingatan dan kehampaan. Sehampa pertanyaan: “Sudah? Begini doang?” atau “Oh, jadi cuma begini doang?” yang disampaikan ke diri sendiri. Seperti kembang api malam tahun baru. Gegap gempita sejenak, kemudian sisa bau abu dan sampah kertas. Kegembiraan atas pembalasan pun paling-paling hanya bertahan dalam waktu singkat, yang walaupun terus dikoar-koarkan dengan penuh kebanggaan, lambat laun bikin bosan juga. Baik si pendengar, maupun si penutur. Kalaupun menghasilkan kesan superior, paling banter cuma feeding the ego. Semu.

Pendapat di atas mungkin cocok untuk pembalasan dendam yang negatif, saat perbuatan buruk dibalas dengan perbuatan buruk. Di sisi lain, bagaimana dengan pembalasan dendam yang positif? Saat perbuatan buruk dibalas dengan prestasi. Keunggulan dalam konteks yang berbeda.

Motivasi untuk menjadi lebih baik atau untuk mencapai kesuksesan, walau hanya gara-gara dipicu dendam, sepertinya memang jauh lebih berfaedah ketimbang sekadar kebencian atau perasaan tidak suka. Tapi silakan konfirmasi lagi diri sendiri, apakah kerja keras dan usaha cerdas untuk mencapai semua keberhasilan itu melulu hanya untuk membalas dendam saja? Kayaknya, terlalu rendah sebuah pencapaian, jika cuma untuk jadi ajang pembuktian keunggulan. Feeding the ego. Saat keberhasilan mandek dan berbalik jadi kegagalan, ada peluang ilusi harga diri dan kebanggaan kembali menggerogoti. Kalau mau keren ya keren aja, bukan untuk bikin mantan nyesal. Kalau mau sukses ya sukses aja, bukan untuk mengalahkan orang lain.

Bisa jadi ini adalah salah satu cara kehidupan membuat kita jadi lebih bijaksana. Bahwa ternyata pembalasan dendam itu cuma senikmat gurihnya snack ciki-ciki di dalam mulut. Setelah masuk tenggorokan, bekasnya hilang tak bersisa. Angin doang.

Enggak percaya? Monggo dicoba. Meski sepertinya, kita semua sudah pernah merasakannya. Baik berdendam, maupun melampiaskannya. Ya setidaknya jangan sampai kita jadi penyebab dendam deh.

[]

Satu tanggapan untuk “The Aftertaste of Revenge”

  1. […] lah, martabat lah, dan sebagainya. Kemudian, tak sedikit yang akhirnya berlarut-larut, menjadi dendam […]

    Suka

Tinggalkan komentar

About Me

I’m Jane, the creator and author behind this blog. I’m a minimalist and simple living enthusiast who has dedicated her life to living with less and finding joy in the simple things.