KASIHAN … atau tidak? Kita mungkin punya pandangan berbeda terhadap hal ini. Sebab setiap orang pada dasarnya berhak menjalani serta mengisi kehidupannya dengan hal-hal baik yang dia tetapkan sendiri, dan bukan demi mengejar pengakuan dari orang lain.
Setiap orang adalah “pemilik” sekaligus pengelola kehidupannya masing-masing. Namun, manakala seseorang bergantung pada pengakuan orang lain, ia seolah-olah kehilangan–atau sengaja mengabaikan–otoritas atas hidupnya sendiri.
Dari beberapa bentuknya, sebut saja beberapa;
- Cari muka (carmuk)
- Cari perhatian (caper)
- Bertindak pasif-agresif
- Merendah untuk disanjung
- Pura-pura setuju
- Keikhlasan dan ketulusan palsu
- Basa-basi
- Berlagak berpengetahuan
- Panjat sosial (pansos)
- Ikut tren
- Sungkan atau tidak enak hati
- Ikut teman
- Seeking approval from others
- Tidak menjadi diri sendiri
Semuanya memiliki kadar yang berbeda, tetapi tetap bersinggungan dengan situasi yang sama: Kepalsuan, alias bukan sesuatu yang sungguh-sungguh kita inginkan sejak awal, hingga kemudian tetap kita jalankan demi tujuan tertentu. Yang bahkan bagi sebagian orang, tujuan tersebut adalah menjaga agar “bumi tetap berputar”; perdamaian dan ketenteraman tetap terpelihara; serta kelangsungan hidup seseorang atau sekelompok orang.
Foto: Adam Jang
Tidak ada yang mengatakan bahwa mencari pengakuan dari orang lain itu salah. Karena tidak ada kesalahan paling dahsyat selain rasa bersalah dan penyesalan mendalam kepada diri sendiri. Jadi, silakan lakukan apa yang biasa kamu lakukan. Toh, yang merasakan betapa melelahkannya mencari pengakuan dari orang lain itu ialah dirimu sendiri. Bukan orang lain.
Yang jelas, semua keputusan ada di tanganmu sendiri. Peraturan, ketentuan, nasihat, serta perintah dari orang lain akan sekadar tersampaikan dan berlalu, kecuali jika kamu ingin melaksanakannya sendiri. Seandainya kamu menyebabkan kerugian dan melukai orang lain (dalam proses mencari pengakuan orang lain), sanksi atau hukuman yang diberikan pun akan menjadi sekadar ganjaran. Bukan menjadi pengubah sudut pandang.
Lalu, apa yang mendorong kita mencari pengakuan dari orang lain?
Tak lain adalah rasa takut, salah satu emosi paling purba yang dimiliki manusia. Ditumbuhkan sejak kecil, dan seringkali berkembang sesuai lingkungan. Makanya, teramat wajar bila sikap ini mengakar begitu kuat, sulit diubah, dan justru diturunkan ke generasi berikutnya.
Yakni rasa takut dikeluarkan dari sebuah kumpulan; takut dianggap asing oleh sebuah kumpulan. Pasalnya, segala sesuatu yang asing cenderung dianggap sebagai ancaman dan harus dimusnahkan. Hal ini juga berkaitan dengan rasa aman ketika kita berada dalam sebuah kumpulan. Kita merasa aman karena tidak sendirian. Oleh karenanya, kita melakukan segala cara agar bisa diakui, dihargai, dihormati, bahkan sampai dikagumi.
Kendati sayangnya, apabila dilakukan dengan kepalsuan, semua pengakuan, penghargaan, penghormatan, dan kekaguman itu diberikan untuk sesuatu yang tidak benar-benar kita miliki.
Melelahkan. Namun, hanya kita dan tuhan saja yang tahu seberapa melelahkannya hal tersebut. Padahal, setiap orang memiliki hak yang sama untuk berhenti berpura-pura, berhenti melelahkan diri sendiri dengan mengikuti pendapat orang lain, dan menjadi diri sendiri.
[]