Beberapa minggu lalu, di tengah-tengah diskusi seputar pekerjaan, seorang rekan berkata, “Sepertinya gue harus update surat wasiat gue.”
Kami yang ada di diskusi itu mendadak diam. Kami kaget, menghela nafas, lalu mulai bertanya mengenai hal tersebut.
Beberapa hari sebelumnya, seorang teman bertanya ke saya, “Elo tahu pengacara atau notaris yang recommended? Gue mau mulai bikin surat wasiat. I don’t have much, tapi gue cuma pengen memastikan saja dalam bentuk tertulis, nantinya akan ke mana saja barang-barang gue ini.” Saya terdiam sejenak, sebelum menjawab kalau saya tidak tahu. Lalu kami membicarakan hal lain, yang tentunya tidak jauh seputar pandemi yang sedang menimpa kita semua ini.
Setelah finansial dan seks, ada satu hal lagi yang ternyata susah sekali untuk kita bicarakan secara terbuka, yaitu kematian. Susah, karena berat. Atau berat, karena susah? Either way, kematian bukanlah sebuah hal yang mudah untuk mulai dibicarakan. Terutama dalam lingkup keluarga, lingkup pertama kita tumbuh dan berkembang sebagai manusia.
Pembicaraan tentang kematian ini bergelanyut di benak saya akhir-akhir ini, terlebih di tengah masa pandemi sekarang. Semakin terhenyak saat saya membaca cuitan Beau Willimon, penulis dan kreator serial “House of Cards”, beberapa minggu lalu. Dia berkata, “We may experience a collective trauma unlike anything most of us have ever experienced … We must mentally and spiritually prepare for that trauma. When my father died last year, my family had weeks to prepare ourselves for the inevitable. That was crucial for us to manage healthy relationship with our grief. We must be thinking about that now – as a nation, as a global community – because all of us will be touched by tragedy in the months to come should the current estimated hold …”
Selengkapnya cuitan beliau bisa dibaca secara lengkap di thread ini.
Membaca kalimat demi kalimat di thread di atas mau tidak mau menyadarkan kita bahwa di masa pandemi ini, kematian begitu dekat. Setiap hari kita membaca dan mendengar berita tentang orang-orang yang mungkin kita idolakan, kita kenal, kita pernah kerja bersama, yang terpapar virus ini, dan tidak bisa bertahan dari serangan yang mematikan. Kita sedih, kita mendoakan mereka, dan kita semakin tidak tahu apa yang akan terjadi nanti.
Meskipun begitu, saya teringat lagi ucapan teman saya tadi yang meminta saya mencari tahu soal info tempat pembuatan surat wasiat. Dia berkata, “Gue cuma realistis saja. Gue punya sodara, gue punya pasangan, gue punya anak. Kewajiban gue buat mempersiapkan mereka apa yang terjadi kalau gue nanti nggak ada. Kita gak tahu kapan giliran kita pulang. Kita cuma bisa mempersiapkan sebisa kita. Itu hak mereka yang jadi kewajiban gue.”

Saya teringat beberapa tahun lalu, ayah saya menyuruh saya untuk duduk dan mendengarkan apa yang akan terjadi kalau beliau berpulang. Waktu itu usia saya masih belum 30. Saya berusaha menolak untuk duduk di situ, tidak mau mendengar. Saya masih egois berpikir bahwa saya masih muda, tidak ada yang namanya kepergian anggota keluarga untuk selama-lamanya. Namun ayah saya bersikeras. Dia tidak mau mendengar rengekan saya. Dia merunut apa-apa saja yang harus dilakukan kami semua sebagai anak-anaknya kalau dia tidak ada, dan semua sudah ada bukti tertulis.
Beberapa tahun kemudian, saya merasa lega karena ayah sempat “keras” soal ini. Tidak mudah membicarakan sesuatu yang akan terjadi, namun kita tidak pernah tahu kapan hal itu akan terjadi. Meskipun kita sudah menyiapkan diri, kesedihan pasti akan melanda. Itu pasti.
Toh satu hal yang kita pelajari dari situasi sekarang, yaitu it never hurts to (over) prepare. Dan ini dimulai dari kemauan untuk membicarakannya.
It is hard to talk. But someone has to start.
2 respons untuk ‘Membicarakan Kematian’