Jenama Agama dan Strategi MarComm-nya

MERUPAKAN salah satu topik yang paling sensitif sepanjang masa, setiap orang memiliki kadar kenyamanan berbeda-beda saat membicarakan tentang agama. Ada yang saking santainya, bisa mengutarakan sesuatu tentang agama seringan obrolan sambil ngopi dan ngudap pisang goreng. Sambil tertawa-tawa.

Namun, tampaknya ada lebih banyak orang yang menganut prinsip Agama jangan dibecandain…” meski ada yang pakai embel-embel tambahan Terutama agamaku. Kalau agama yang lain… terserah, deh. Itu sebabnya, kaitkan saja sesuatu–nyaris apa saja–dengan agama, pasti bisa menarik dan mendapatkan perhatian dalam kelipatan eksponensial, bahkan berbuah tindakan.

Jadikan ini saja, deh, sebagai, contoh, biar lebih “aman”.

Bayangkan bila figur Buddha diganti dengan tokoh spiritual dunia lainnya, atau, dari agamamu.
  • Seseorang berpindah agama. Apalagi dia figur publik, entah apa pun alasan dan latar belakangnya. Heboh.
  • Pernikahan berbeda agama, kelahiran anak, dan urusan masa depannya. Heboh.
  • Perkara kehidupan sosial bermasyarakat, dan kebisingan. Heboh. 
  • Situasi ekonomi, termasuk orang-orang yang berkenaan dengannya. Heboh.
  • Terkait politik, mulai dari persaingan kubu, manuver biar rame, sampai Pilpres. Heboh.
  • Hingga teori konspirasi, yang meskipun asal comot, tetapi tetap diiyakan banyak orang setelah disangkutpautkan dengan agama. Hal-hal yang sejatinya remeh dan bisa dikesampingkan begitu saja, malah ikut jadi sorotan. Heboh.
Foto: SMCP.com

Ialah prinsip dasar komunikasi; pesan disampaikan demi mencapai sebuah tujuan. Dalam konteks soal topik agama tadi, baik penyampai maupun penerima mungkin mempunyai tujuannya masing-masing. Beberapa di antaranya, barangkali seperti ini.

Tujuan PenyampaiTujuan Penerima
– Ingin para pendengarnya mengetahui, dan memahami sesuatu
– Ingin agar para pendengarnya menjadi lebih dekat dengan agama, dan lebih banyak melakukan hal-hal baik. 
– Ingin dipercayai, agar lebih mudah dalam menyampaikan pesan berikutnya; dan agar para pendengar menuruti/melakukan yang dia utarakan. 
– Sekadar ingin melakukan kebaikan, atau yang menurutnya adalah sebuah kebaikan.
– Ingin tahu, ingin belajar, dan ingin memahami
– Ingin menjadi/termasuk/terkesan sebagai orang-orang religius (baca: saleh). 

Mengapa agama bisa menjadi “bungkus” komunikasi gagasan yang efektif? 

Exposure, alias keterpaparan. Macam dalam standar marketing communication. Dalam penyampaiannya, banyak orang yang terpapar secara terus-menerus tanpa merasa terpaksa atau terganggu. Tanpa sadar, ide, gagasan, dan siapa pun yang terkait isu tersebut akan melekat dalam benak pirsawannya. Termasuk orang tua, keluarga, tetangga, rekan kerja, dan masyarakat di sekitar keseharian kita. 

Konsepnya serupa brand exposure demi popularitas. Makin sering sebuah isu dikemukakan, makin tertanam dalam benak khalayak, makin menggoda untuk ditanggapi. Baik berupa tanggapan internal (ikut merasa dongkol, kesal, sebal, marah, lucu, sedih, bersemangat, dan sebagainya), maupun tanggapan eksternal (ikut dibicarakan atau disuarakan kepada orang lain, mencari dan berhimpun dengan orang-orang yang sepemikiran, membenci dan gusar dengan orang-orang yang berbeda pandangan, termasuk berbalas komentar di media sosial, dan sebagainya). 

Efek bola salju. Makin heboh sebuah isu, makin banyak orang yang penasaran dan ingin mencari. Ini pun menjadi peluang bagi para penyedia konten digital untuk berlomba-lomba berburu klik–upaya monetization, menghasilkan uang lewat dunia maya. 

Isu agama tak ubahnya jadi jenama. Ada nilainya, diukur dengan satuan rupiah lewat prinsip media brand value. Karena itu, makin sering sebuah topik mencuat, makin tinggi nominalnya. Popularitas setara angka uang yang mesti dibayarkan dalam keadaan normal (netral, tidak populer). 

Begini ilustrasinya. Deddy Corbuzier berpindah agama. Tak hanya berprofesi sebagai bintang layar televisi, sosoknya sendiri sudah cukup kontroversial dan menjadi pembicaraan nasional. Banyak portal berita online yang memberitakannya, terbagi dalam tiga fase: 

  1. Sebelum berpindah agama
  2. Prosesi berpindah agama
  3. Setelah berpindah agama

Katakanlah, Detik adalah salah satu portal berita yang aktif memberitakannya. Readership atau tingkat keterbacaannya cukup tinggi–anggap saja seratus pembaca setiap menit. Selanjutnya, total ada 25 artikel terkait perpindahan agama tersebut, menampilkan tulisan “Deddy Corbuzier” di judul serta paragraf pertamanya. 

Mari kita berhitung. Dengan readership mencapai seratus pembaca setiap menit, Detik memasang banderol Rp100 juta per tulisan (semacam patokan tarif, dikenakan kepada merek-merek yang ingin memuat artikelnya di sana). Dengan demikian, media brand value khusus untuk “Deddy Corbuzier berpindah agama” di sana sudah senilai Rp2,5 miliar! Belum lagi dari media-media lain. Nilai ini bisa saja lebih tinggi dibanding topik-topik Deddy Corbuzier lainnya, semisal “Deddy Corbuzier tantang Kapten Vincent”, “Deddy Corbuzier alami cedera punggung”, atau “Cara Deddy Corbuzier merawat kulit kepala”, dan seterusnya.

Tak tertutup kemungkinan readership-nya bisa lebih tinggi lagi, dan jumlah artikelnya pun terus bertambah, lantaran topik yang diberitakan adalah seorang artis berpindah agama. Bisa bercabang ke mana-mana. Itu pun belum ditambah topik-topik lapis kedua maupun ketiga, yang bagi banyak orang tak kalah menariknya (baca: memicu rasa kepo lebih lanjut). Contohnya: “Siapa guru mengaji Deddy Corbuzier?”, “Apakah anak Deddy Corbuzier juga akan berpindah agama?”, “Apakah Deddy Corbuzier sudah bersunat?”, atau bahkan “Inilah gaya Deddy Corbuzier mengenakan baju koko.”

Sampai ada tagar khususnya, lho: #Deddy Corbuzier Mualaf.

Coba saja kalau seluruh warganet Indonesia cuek bebek dengan urusan kepindahan agama si Deddy Corbuzier, tidak ada kehebohan khusus, media massa online pun cenderung sepi dari pemberitaan tersebut. Suasanya jadi berbeda.

Ya, begitulah. Semua berbau agama, dan tak kurang-kurang contoh lainnya.

Minat seseorang, atau sebagian orang Indonesia, terhadap topik-topik menyangkut agama memiliki spektrum yang luas. Mulai dari rasa terganggu hingga mudah tersinggung; mulai percaya buta tanpa kemampuan berpikir kritis hingga sikap reaktif. Salah satunya seperti:  

  • Langsung memberi komentar berapi-api terhadap sesuatu yang dilihat di media sosial, walaupun baru hanya membaca judul tanpa memahami keseluruhan konteksnya. 
  • Langsung forward atau meneruskan sebuah pesan panjang di grup WhatsApp hanya karena memuat ayat-ayat agama, tanpa sepenuhnya menyimak isi serta konteks yang disampaikan.

Kenapa bisa begitu? Karena berhubungan dengan agama. Apalagi kalau sesuai dengan pandangan yang bersangkutan. Jadinya “auto berisik”.

Entah disadari atau tidak, mereka pun bertindak tidak adil. Mereka menyebarkan sebuah narasi, tetapi setelah narasi itu terbukti bohong, mereka justru senyap dan tidak menyebarkan klarifikasinya. 

Kenapa bisa begitu? Karena sang penyampai pesan sebelumnya, telah berhasil membuat mereka percaya; membentuk perilaku dan respons batin mereka; atau bahkan melakukan brainwashing kepada mereka, menjadikan mereka tidak mau/tidak mampu/merasa tidak perlu untuk berpandangan kritis terhadap apa pun yang disampaikan. Juga tak tahu malu!

Foto: Twitter @incitu

Anehnya orang-orang Indonesia belakangan ini, ketika kita bersikap biasa saja, atau justru cenderung kritis terhadap narasi-narasi agama, kita bisa dianggap tidak saleh, berpotensi menjadi pembangkang religius, atau bakal jadi ateis sekalian. 😅 

Melihat ini, tuhan geleng-geleng kepala di “sana”. Ikut malu, barangkali. 

[] 

Tinggalkan komentar

About Me

I’m Jane, the creator and author behind this blog. I’m a minimalist and simple living enthusiast who has dedicated her life to living with less and finding joy in the simple things.