Persoalan Personal dan Personifikasi Asian Games 2018

Di suatu masa (gak usah ditanya kapan) ada sebuah iklan dengan headline “Dipersembahkan untuk Semua Perempuan Indonesia”. Visualnya cakep lah pada masanya. Sayangnya, riset setelah kampanye menyatakan iklan tersebut gagal. Tidak berhasil membuat konsumennya, yang pastinya perempuan Indonesia untuk tersentuh, apalagi tergerak. Setelah diusut, ternyata kesalahannya ada pada kalimat “semua perempuan Indonesia” yang menimbulkan pertanyaan dalam batin konsumen “perempuan Indonesia yang mana?”

Padahal jelas, maksud iklan tersebut ya untuk semua perempuan Indonesia dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau. Lalu mengapa kalimat itu tidak merangkul malah menyingkirkan?

Sebuah iklan skala Nasional lagi, menggunakan kata “lo” dan “gue”, langsung mendapat penolakan di kota Jogja. Alasannya, di kota itu para remajanya tidak memanggil temannya dengan “lo” dan “gue”. Terlontar saat survey seorang remaja Jogja berkata “tolong, jangan samakan kami dengan kalian, anak Jakarta. Jangan pula memaksa kami menjadi seperti kalian. Kami ingin menjadi diri kami sendiri.” Sebuah pengalaman yang tak terlupakan sepanjang hidup. Kecuali gue, eh, aku pikun di tengah jalan.

Komunikasi personal sepertinya jadi kunci utama. Manusia selamanya ingin dinilai spesial. Tak ingin disamaratakan sebagai “seluruh perempuan” atau “hai anak muda”. Penyebutan seperti ini selain menyamaratakan juga membuat komunikasi jadi tidak efektif.

Lalu apa yang bisa menyatukan warga negara ini? Pengalaman mengatakan kita adalah manusia yang tergerak untuk membantu sesama. Membantu perorangan. Sebuah organisasi penggalangan dana sosial suatu ketika pernah presentasi soal bagaimana aktifnya warga saling membantu untuk menolong seorang nenek naik haji. Atau membantu remaja yang ingin membelikan motor untuk ayahnya. Atau keinginan seorang remaja yang bercita-cita membangun sebuah warung di daerahnya. Keinginan, harapan, cita-cita perorangan Mungkin karena kata sejenis “bangsa” terlalu besar untuk dikunyah. Apalagi seluas Asia.

Dari pemahaman ini pula sebenarnya ide BolBal berasal. Saat 2009 bom meledak di kawasan Mega Kuningan membangkitkan semangat “nasionalis” di Twitter. Semua terasa mengambang sampai ajakan untuk membantu Pak Yayan, seorang pedagang kaos yang terkena dampaknya. Memudahkan kita untuk mengunyah dan bertindak.

Banyak pertemuan yang mengajak untuk menyukseskan Asian Games 2018. Secara garis besar tujuannya ada satu: mengajak dan menyentuh warga, terutamanya Jakarta dan Palembang, untuk turut serta menyukseskan acara besar olahraga ini. Dengan pemahaman di atas, tantangannya pun menjadi satu: menjadikan acara ini personal.

Ilustrasinya begini, untuk mendukung acara sebesar ini sepertinya akan membingungkan. Bikin gamang. Untuk mendukung atlet Indonesia yang bertanding, mulai lebih jelas walau masih kurang jelas. Atlet yang mana? Cabang olahraga apa? Tapi misalnya untuk mendukung I Gede Siman sepertinya akan lebih jelas. Yuk beri semangat untuk Siman supaya semangat bertanding dan memenangkan emas, akan lebih mudah ditelan ketimbang yuk beri semangat untuk atlet Indonesia bertanding dan jauh lebih jelas ketimbang yuk sukseskan Asian Games 2018.

Aksi dukungan pun akan lebih mudah tersalurkan. Misalnya dengan memberikan komentar menyemangati di akun-akun media sosial pribadi para atlet. Ada 800 atlet yang akan bertanding. Bisa dipandang sebagai sarana ajakan yang besar. Jelas hanya beberapa yang terkenal dan eksis di media sosial. Tantangannya jadi memperkenalkan atlet-atlet yang bertanding sebanyak mungkin. Bisa jadi membangun personifikasi yang lebih mudah ketimbang memperkenalkan Bhin-Bhin, Atung dan Kaka.

Contoh dari Korea yang sedang bersiap menyambut Olimpiade musim dingin di PyeongChang. Dengan cerdas mereka menggunakan Yuna Kim sebagai personifikasi. Yuna memang atlet skat peraih medali emas Olimpiade yang juga menjadi “darling” publik di Korea. Di komunikasinya, Yuna diperkenalkan secara personal. Soal perjuangannya, kemenangan dan ditutup dengan ajakan untuk menyukseskan Olimpiade musim dingin ini.

Tak hanya atlet yang bertanding. Kita bisa mengkomunikasikan orang-orang yang berusaha keras menyukseskan Asian Games 2018. Bagaimana cerita tukang rumput yang menjaga GBK? Apa cerita orang tua atlet yang ditinggalkan anaknya masuk Pelatnas? Salah satu seremoni penting yang dilupakan adalah pemasangan mesin penghitung waktu yang menjadi sarana vital dan mahal semua pertandingan olah raga.

Kegagalan menciptakan rasa memiliki ini, bisa jadi penyebab utama perusakan kursi baru di GBK saat baru awal dibuka. Kursi dilihat sebagai kursi. Benda mati. Padahal ada banyak cerita dibalik kursi yang didatangkan dari luar agar sesuai standar internasional dan dipasang dengan perhitungan. Mengapa tidak diangkat cerita tukang rumput, tukang cat, arsitek, dan berbagai profesi lainnya. Dan mereka adalah bagian dari kita. Jadi ajakan merawat gedung akan lebih personal kalau diganti menjadi ajakan merawat hasil kerja orang-orang yang merupakan bagian dari kita. Mereka adalah ayah dari temanmu, saudara dari tetanggamu, kerabat sekampung, dan semua kedekatan-kedekatan lainnya.

Ini baru satu pemikiran untuk menjadikan event Asian Games 2018 masuk ke dalam relung-relung personal dan keintiman yang menggerakkan. Pastinya ada banyak ide lain. Tapi sebelumnya perlu untuk sejenak melupakan “kebesaran skala” Asian Games 2018, tapi mulai membangun jembatan yang mendekatkan.

Dalam sebuah perbincangan dengan seseorang yang kenal banyak komunitas, dia berkata “ada banyak komunitas yang sebenarnya ingin membantu untuk menjadikan Asian Games 2018 ini sukses. Tapi banyak yang bingung harus bagaimana, ke mana, ngapain”. Seharusnya dengan kanal-kanal personal dibuka, bentuk dukungan akan mengalir dengan sendirinya. Seperti air yang sekarang punya saluran untuk mengalir sampai jauh dan kemudian berkumpul di laut besar, Asian Games 2018.

Lalu bagaimana dengan urusan kebesaran sebuah acara? Tak kenal maka tak sayang, percayalah itu benar adanya. Hakiki.

Acara yang dimulai sejak 1978 ini, memang sepertinya tak lagi menarik para milenia apalagi Gen Z. Jangankan Asian Games, Olimpiade saja tak lagi menarik perhatian. Mungkin nanti 2020 saat Olimpiade di Jepang baru akan membuat mereka tertarik. Kok bisa? Yaiyalah, mulai dari demam Pokemon, orang Indonesia liburan ke Jepang yang semakin banyak, anime, acara Ennichisai yang semakin ramai pengunjung, lokalisasi rasa Sushi, dan semua yang berbau Jepang perlahan membangun kedekatan emosional ke warga kita. Bayangan Hello Kitty yang bertugas menyalakan obor Olimpiade saja sudah bisa bikin kita tersenyum.

Asian Games 2018 yang sebenarnya sudah dimulai cukup lama sejak pemugaran GBK, sepertinya lupa untuk membangun jembatan kedekatan personal ini. Lebih fokus pada mengkomunikasikan pembangunan kemegahan gedung daripada kemegahan dalam hati. Belum terbangunnya jembatan ini terbukti dari banyaknya netijen yang merasa harga tiket pembukaan dan penutupan Asian Games 2018 kelewat mahal. Padahal semua pasti sudah paham, mahal dan murah adalah soal persepsi. Bisa diciptakan.

Sehingga sampai acara yang tinggal beberapa minggu ini lagi, gaung Asian Games 2018 belum bisa dirasakan cukup besar. Kalau pun ada, pasti banyak yang merasakan agak “maksa”. Padahal para KOLs dan influencer kelas kakap telah dikerahkan dan orang tertinggi di negara ini sudah turun tangan. Lagi-lagi kita terlalu sibuk dengan seremoni dengan harapan bergaung lama di media sosial. Bukan bergaung di dalam hati.

Hilang harapan? Tidak juga.

Ibu saya tinggal di sebuah kampung Betawi. Warga sana sehari-hari hidup masing-masing. Tak bermusuhan tapi juga tak akrab sangat. Lalu apa yang menyatukan dan menggerakkan warga? Saat banjir datang. Semua warga saling tolong menolong, bahu membahu untuk menyelamatkan. Tak berhenti di situ, sesama warga pun saling menyemangati. Saling menghibur. Seketika rasa memiliki muncul.

Jadi kita perlu “banjir” untuk membuat warga Jakarta dan Palembang antusias dan mendukung Asian Games 2018? Semoga bukan banjir bencana, tapi banjir ide dan semangat untuk segera membangun jembatan kedekatan. Masih ada waktu. Walau tak lagi cukup untuk membangun jembatan bata, tapi mungkin jembatan Tarzan.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s