Garmina, istri Bayu, masih bersikeras minta agar si Cempluk, anak bungsunya yang baru, untuk sekolah di taman bermain Fajar Ceria. Baginya soal prinsip yang tak tergantikan agar pendidikan anaknya diberikan yang terbaik. Banyak cara untuk yang terbaik. Bukan soal mahal apalagi gengsi. Tapi terbaik. Iya Cempluk bungsu yang baru. Sebelumnya dia ponakan. Sekarang, dengan janji cinta kasih yang senantiasa diberikan, Cempluk diasuh Garmina. Orang tua Cempluk setuju. Mereka tak lagi memikirkan uang popok dan susu.
Garmina pada dasarnya tak suka anak kecil. Tapi sekarang, kemana-mana dia membopong Cempluk. Coba cek instagram. Coba cek Path. Isinya wajah si bungsu. Garmina sekarang sayang anak.
“Papah, Cempluk itu harus belajar di Fajar Ceria. Sekolahnya dengan kurikulum luar negeri. Harga enggak apa-apa mahal, tapi Cempluk akan mendapatkan pendidikan oke punya“, sembari menyisir rambutnya menjelang tidur. “Sekarang memang bukan awal tahun ajaran, tapi Fajar Ceria menerima murid di tengah semester gini kok, Pah.”
Pak Bayu mendengar dengan seksama penuturan istrinya. Fajar Ceria itu terkenal sekolah yang mahal. Teman kantornya pun mengeluh istrinya ingin memasukkan anaknya di sekolah yang sama dengan Garmina. Fajar Ceria. Mereka sama-sama mengecek biaya sekolah, uang bulanan dan uang gedung yang harus dibayarkan. Ckckck. Mereka berdecak kagum sekaligus lesu. Uang pangkal masuk Fajar Ceria seharga motor vespa. Amran menyerah. “Bayu, jika kamu masih nekat mau menyekolahkan anakmu disini, silakan. Saya lebih baik undur diri“. Padahal Amran adalah salah satu teman baiknya yang terlihat paling peduli soal pendidikan anak. Kenapa menyerah? “Mahalnya terlalu. Mungkin bagus dan kualitas gurunya mungkin juga nomor satu. Tapi itu semua hanya mungkin. Yang pasti cuma satu dari semua ini: Mahal.” Amran melempar handuk putih.
Bayu sejatinya setuju dengan Amran. Dari SD hingga sekolah tinggi dan mendapat gelar doktorandus, semuanya dihabiskan di sekolah negeri. Tidak jaminan sekolah murah itu jelek. Begitu juga sekolah mahal. Belum tentu bagus.
Bayu pusing. Apalagi Garmina mengancam tak akan melayaninya hingga berminggu-minggu hingga Bayu bilang “Yes“. Garmina merasa ini adalah soal prinsip. Bayu merasa kapalanya hanya berisi batu yang setiap waktu membesar dan semakin berat.
Bayu memandang wajah Cempluk. Bocah mungil ini bukan anak kandungnya. Tapi ia merasa berdosa jika anak ini tidak diurus sebagaimana mestinya. Bayu merasa tak cukup mampu mengasuh anak ini karena ia sibuk bekerja hingga malam. Garmina, sibuk bersama teman-temannya berbisnis online. Seharusnya Garmina bisa melakukannya di rumah. Tapi itu dulu, saat awal-awal berhenti bekerja dan memulai berjualan. Selanjutnya, entah untuk apa Garmina selalu kumpul dengan rekan-rekannya. Setiap hari. Dari Senin pagi. Hingga Jumat larut. Termasuk Julia, istri Amran. Dalam benak Bayu, setidaknya Garmina bergaul dengan istri Amran. Bukan dengan istri-istri yang lain yang tidak jelas ambisi dan keinginannya. Julia tentu saja tidak muluk-muluk hidupnya. Sama halnya dengan Amran. Semoga.
Bayu berpikir apa salahnya menyekolahkan Cempluk di Fajar Ceria. Sekolah yang letaknya di atas mal. Mungkin agar Garmina bisa menjenguk Cempluk setiap saat sembari berbisnis dengan rekan-rekannya. Ini pun semoga.
Malam itu Bayu mengurungkan niatnya tidur cepat. Garmina sudah terlelap di sampingnya. Bayu membuka laptop. Dibukanya situs sekolah Fajar Ceria. Lalu ia membuka situs bank langganannya. Dibuka rekening tabungannya. Dilihatnya deretan mutasi rekening. Dilihat sisa saldonya. Kepalanya tiba-tiba copot.
—
“Ran. Amran, jika kamu tidak jadi menyekolahkan Minul di Fajar Ceria, bolehkah aku pinjam hingga tanggal gajian untuk uang pangkal?”. Itu adalah kalimat pertama Bayu ketika bertemu Amran di kantor. Mereka berdua duduk di dekat pos sekuriti, dimana Mas Eko berjualan nasi bungkus dan kopi. Keduanya sembari mengepulkan asap rokok.
“Oh, kamu masih belum dapat jatah juga rupanya. Untuk apa kau terus-menerus menuruti permintaan istrimu. Sudah saatnya kamu jujur. Sekolah bagus tapi mahal, sama saja mengorbankan anggaran untuk keperluan lain yang lebih penting.”
“Tapi sekolah anak itu penting, Ran.”
“Bukan juga pilih yang mahal kan. Termahal malah.”
“Tapi setidaknya Bu Guru di sekolah Fajar Ceria semuanya lulusan sarjana, Ran. Mereka tidak pusing bayar uang kontrakan rumah petak. Mereka hidupnya lumayan. Pasti Cempluk dididik dengan cinta kasih. Bukan dengan batang lidi yang siap memukul kuku kotor dan PR yang lupa dikerjakan“.
“Bukankah banyak sekolah lain yang lebih masuk akal?”
“Tapi apapun sekolahnya tidak akan diterima Garmina, kecuali Fajar Ceria.”
“Saya sudah bilang Julia, jangan terbawa Garmina. Biarlah mereka memilih pendidikan buat anak-anaknya. Kita cari sekolah yang masih menyisakan dana untuk IKEA dan uang pulsa.”
“Hahaha.”
“Hahaha.”
++
Akhirnya Amran membuktikan bahwa dirinya memang sahabat sejati Bayu. Sisa tabungannya dipinjamkan. Dengan tanpa banyak syarat.
Bayu gembira. Walau agak berat ia masih ingin enak-enak dari Garmina. Bolehlah uang banyak terkuras habis, asalkan Garmina senang. Cempluk juga pastinya akan gembira belajar bersama anak-anak elit. Konon katanya banyak artis yang menyekolahkan anaknya di Fajar Ceria. Malam itu Bayu kembali menikmati Garmina. Bayu bangga masih mampu menyenangkan istrinya.
Beberapa hari kemudian, Garmina datang tergopoh-gopoh pada Bayu. Hari ini adalah Sabtu pagi. Seharusnya semua dilakukan dengan santai.
“Papah, terima kasih sudah mendaftarkan Cempluk minggu kemaren. Mamah senang. Cita-cita Mamah terkabul.”
“Gapapa Mamah. Papah senang kok mamah bercita-cita mulia. Sesuatu yang prinsip. Memberikan pendidikan terbaik bagi Cempluk.”
“Iya dong Pah. Tapi ini cita-cita mamah yang lain. Mamah sudah di-invite sama grup orang tua yang anaknya sekolah di Fajar Ceria. Mamah sekarang satu grup lho, Pah dengan Jeng Dian Sastro dan Jeng Nia Ramadhani”.
“Maksud Mamah?“, Bayu penasaran.
“Iya, biasanya Mamah cuma lihat mereka di insta-story sedang mengantar dan menunggu anak-anaknya sekolah. Sekarang, Mamah mengobrol sama Jeng Dian dan Jeng Nia sambil menunggu Cempluk selesai belajar.”
“Tapi Mah…”
“Eh.. eh bentar Pah, Jeng Dian Japri…Whoaaaa!”
-TAMAT-
Jakarta, 15 Des 2017
hahaha, social climber
SukaSuka