Michael Moore, di film terakhirnya, Where To Invade Next, kali ini dia tidak bercerita mengenai peperangan, senjata, institusi keuangan atau mengenai jaminan kesehatan di negeri Amerika Serikat. Di film dokumenter ini lebih bercerita bagaimana Moore membandingkan negara Amerika Serikat dengan negara-negara di Eropa. Film ini lebih mudah dicerna. Lebih ringan. Lucu juga. Tidak seperti film-film sebelumnya.
Pertama dia pergi ke Italia. Dia mewawancara seorang pasangan yang baru menikah. Mereka membeberkan bahwa mereka mempunyai waktu cuti yang panjang. Cuti yang ternyata jauh lebih banyak dari kebanyakan perusahaan di Amerika Serikat. Mereka bisa mempunyai cuti yang bisa mencapai delapan minggu. Mereka mempunyai cuti menikah dan bulan madu. Yang artinya mereka tetap dibayar ketika menikah dan bahkan dibiayai ketika mereka berbulan madu. Ini tidak terjadi di Amerika Serikat. Setidaknya menurut pengakuan Michael Moore. Intinya para pekerja di Italia mendapatkan libur yang lebih banyak daripada mereka yang bekerja di Amerika Serikat. Total bisa mencapai dua bulan cuti setahun. Plus gaji ketiga belas. Rugikah pemerintah Italia? Atau perusahaan yang memperkerjakan mereka? Tidak. Justru kebalikannya. Mereka bahagia.
Moore pergi ke Lardini Company. Perusahaan ini memproduksi Dolce & Gabbana, Burberry, dan juga Versace. Dia menemukan hal yang sama. Dia bertanya kepada CEO Lardini. Apabila dia mengikuti cara kerja perusahaan di Amerika mungkin dia bisa menjadi lebih kaya. Mereka balik bertanya. Apa artinya menjadi lebih kaya jika karyawanmu tidak bahagia? Dengan memforsir karyawan agar bekerja lebih keras. Dengan jam kerja yang mendekati romusha tidak akan membuat karyawan lebih produktif. Mungkin pekerjaan bisa selesai. Tapi itu tidak membuat mereka lebih banyak tersenyum. Ketika atasan liburan maka bawahan pun membutuhkan liburan. Dengan liburan mereka akan kembali bekerja dengan perasaan yang rileks. Tidak stress. Mereka juga sedikit mempunyai karyawan yang sakit. Sakit kan asal muasalnya kalo tidak dari makanan ya pikiran.
Di perusahaan motor Ducati pun begitu. Mereka rata-rata memberlakukan hal yang sama. Dan mereka tidak takut dengan serikat pekerja. Mereka justru merangkul serikat pekerja. Mereka menganggap komunikasi dua arah adalah hal yang sangat sehat dan diperlukan oleh perusahaan. Karena yang paling tahu kondisi perusahaan adalah para karyawan. Bukan komisaris, dirut, atau kepala cabang.
Apabila ini bisa berjalan dengan baik di Italia. Saya koq punya keyakinan ini juga akan berjalan mulus dengan Indonesia. Apa artinya menjadi lebih kaya jika karyawanmu jarang tersenyum, tidak sejahtera, dan sering sakit?
2 respons untuk ‘Mari Kita Menengok Agak Ke Kiri (1)’