Setelah seharian saya hampir tidak mengikuti berita di media sosial. Lalu tadi saya sedikit scroll ke bawah ke media sosial yang bawel dengan logo burung warna biru. Katanya Mendikbud yang baru sedang mewacanakan full day school. Yang artinya anak-anak akan tinggal di sekolah sampai sore. Sama seperti karyawan. Pulang jam lima. Agar ketika anak-anak usai sekolah bisa dijemput oleh orang tuanya yang juga pulang dari kantornya. Konon wacana ini sudah sampai ke Jokowi dan sudah disetujui. Hah? Iya.
Saya jadi ingat saya pernah mengulas film terakhir Michael Moore yang terakhir yang berjudul Where To Invade Next. Di tulisan tersebut saya mengulas mengenai kesejahteraan karyawan. Dan sekarang waktu yang pas untuk mengulas masalah pendidikan. Di negara yang konon menganut faham yang agak kekirian. Faham yang bagi sebagian negara haram untuk dianut. Amerika masih alergi dengan kiri. Kita lihat apa yang terjadi dengan Bernie Sanders. Bakal calon presiden dari Partai Demokrat yang terdepak oleh Hillary Clinton yang didukung oleh Wall Street dan cuih CNN.
If you constantly work, work, work. Then you stop learning
Finlandia, sekarang ini sistem pendidikannya ada di peringkat atas. Terbaik sejagad raya. Finlandia? Koq bisa? Apa rahasianya? Finlandia dulu mempunyai masalah yang sama. Sistem pendidikannya jelek. Pemerintah tidak suka dengan hal tersebut. Apa yang mereka lakukan? Pertama, mereka mengurangi dengan drastis PR alias pekerjaan rumah. PR adalah yang menyebalkan dan basi. Ya basi. Mendikbud Finlandia mengatakan pada Michael Moore bahwa anak-anak membutuhkan hal lain di luar sekolah yang sudah cukup menguras energi. Mereka mengembalikan khitah anak-anak sebagai anak-anak. Apa itu? Bermain. Bermain adalah juga belajar. Bisa bermain bersama teman-temannya. Menghabiskan waktu bersama keluarga. Berolah raga. Bermain musik. Membaca. Lho, terus kalo anak-anak pengennya manjat pohon atau maen layang-layang gimana? Ya biarkan mereka memanjat pohon. Mereka bisa belajar banyak dengan melakukan hal itu. Mereka akan tahu bahwa memanjat itu membutuhkan teknik. Itu belajar. Mereka akan tahu bahwa mereka akan menemukan hal baru ketika memanjat pohon. Mereka akan menemukan berbagai jenis serangga. Itu akan membuat mereka bertanya. Dan ketika mereka kembali ke sekolah keesokan harinya mereka mempunyai materi materi baru untuk gurunya. Kenapa ada serangga ini? Kenapa bentuknya berbeda-beda? Kenapa tangan saya bengkak digigit serangga? Apakah berbisa? Apa itu bisa? Setelah bermain layang-layang pun begitu. Kenapa hari ini anginnya ke selatan? Kemarin ke utara? Kenapa awan bergerak? Kenapa matahari bisa tertutup awan? Kenapa koq bisa hujan? Kenapa layang-layang bisa terbang dengan seuntai benang? Kenapa gelasan tajam? Itu belajar bukan?
School is about finding happiness. Finding a way to learn what makes you happy.
Jadi total ada berapa jam mereka harus ada di bangku sekolah? Rata-rata 20 jam per minggu. Kalo mereka lima hari sekolah itu berarti empat jam per hari. Sabtu dan Minggu mereka libur. Tanpa PR. Tapi pendidikan mereka nomer satu di dunia? Biaya sekolah? Gratis. Pendidikan terbaik dan gratis biaya pendidikan? Koq bisa? Gak ngabisin biaya puluhan sampai ratusan juta? Koq bisa? Gimana caranya? Pajak. Dari uang rakyat. Dari rakyat kembali ke rakyat. Gak percaya? Coba minta para anggota DPR studi banding ke sana. Pasti mereka suka. Lumayan kan bisa sambil belanja dan foto-foto.
If what you are teaching your students is to do well on those tests, then you’re not really teach them anything.
Mereka juga tidak punya UN. Ujian yang membuat sebagian anak menjadi stress. Dengan mata pelajaran yang sedikit. Dengan pertanyaan pilihan ganda yang tidak berguna. Mereka menganggap pertanyaan pilihan ganda adalah pertanyaan konyol. Kenapa? Karena buat apa? Sederhana saja. Untuk bisa menjawab pertanyaan adalah dengan menjawab pertanyaan dan mengetahui pertanyaan. Bukan tebak buah manggis. Atau ngitung kancing. Jadi kalo begitu sistem pendidikan kita harus mengacu ke Finlandia? Kenapa tidak?
Tapi kan tidak cocok dengan kebudayaan kita. Oh. Kalo memang diliat dari sudut yang lain mungkin tidak akan cocok diterapkan di Indonesia mungkin bisa diracik dengan sistem pendidikan yang ada di negara-negara Asia. Korea Selatan, Jepang, atau Singapura bisa dijadikan acuan. Berani gak? Atau mau maen aman aja dan segera dilupakan? Ya silakan. Sambil nunggu respon di kolom komentar saya mau denger lagu aja. Eh tapi seni dan musik tidak ada di Ujian Nasional ya.
Saya sudah lama baca tentang Finlandia dan dunia pendidikan. Mereka memang hebat. Pendidikan guru sangat ditekankan, dengan rasio guru dan murid juga yang cukup. Guru juga dengan sukarela mendidik anak2 yang tertinggal di luar jam pelajaran supaya bisa mencapai hasil yang sama.
Jerman belakangan juga punya sistem pendidikan yang baru. Baru digulirkan di beberapa sekolah di Berlin dan orang tua rela mengantri
SukaSuka
Iya. Jerman pun konon melarang home-schooling.
SukaSuka
children who are home-schooled are the spawn of evil (saya mengutip dari teman)
SukaSuka