Masa lalu memang salah satu biangnya rasa penasaran, jagonya bikin kepo.
Dari yang sepele, kayak kehidupan asmara sang pacar bersama mantan-mantannya. Kalau enggak diceritain, ngambek. Diceritain sedikit, marah. Diceritain detail, cemburu. Para ibu yang mengorek dan mengumpulkan informasi tentang latar belakang keluarga pacar anaknya. Sampai rasa penasaran yang bisa bikin merenungi keberadaan diri, memunculkan pertanyaan: “aku ini siapa sih?”
Setelah membaca tulisan Ko Glenn pada edisi hari Minggu lalu, misalnya. Saya penasaran, pengin juga menjalani tes DNA untuk menelusuri siapa para nenek moyang yang sebenarnya. Soalnya, saya termasuk “Hitachi” alias “Hitam-hitam tapi China” lantaran kulit agak gelap dan karakteristik wajah yang enggak koko-koko banget. Malah lebih sering dipanggil “mas” oleh sesama Tionghoa Indonesia, apalagi kalau ke negara tetangga.
Seru sih ya. Tetapi kalau dipikir-pikir, apa sih tujuannya menelusuri jejak DNA sendiri bagi individu? Biar sekadar tahu, barangkali DNA kita terhubung dengan sosok/komunitas penting zaman dulu? Memberi ilusi signifikansi bahwa kita terhubung dengan sesuatu yang pernah sangat penting di dunia ini. Ataukah informasi tersebut bisa digunakan untuk hal-hal lain yang lebih praktis?
Faktanya, studi Genografi kini sudah jadi komoditas laris milik NatGeo bareng IBM. Tinggal beli perangkatnya (dalam USD), tunggu dikirim ke Indonesia, lalu dipakai deh.
Berbeda dengan tujuan yang ingin dicapai Lembaga Eijkman sebagai kelompok peneliti. Hasil riset akan diperlakukan sebagai komponen dari gambaran besar peta persebaran manusia sejak awal mula. Yang dalam pemanfaatannya, berhasil mematahkan mitos sosiologi soal pribumi dan non pribumi.
Tidak hanya soal nenek moyang dan para pendahulu, kekepoan seperti ini juga terjadi perihal past life atau kehidupan lampau. Baik dengan pendekatan mitologi Tionghoa, prinsip rebirth atau Tumimbal Lahir dalam Buddhisme, maupun konsep reinkarnasi dalam Hinduisme. Ketiganya bekerja dengan mekanisme yang berbeda, bahkan saling bertolak belakang.
Tanpa peduli apa pun paham yang dianut, godaan pikiran untuk mau tahu tentang “siapa kita di kehidupan sebelumnya” pasti pernah muncul. Ada yang langsung menepisnya, menganggapnya omong kosong, tapi ada juga yang terus kebawa-bawa dalam pikiran.
Sayangnya, belum ada satu pun metode yang valid secara komunal untuk bisa memuaskan dahaga keingintahuan ini, sehingga ujung-ujungnya kembali jadi urusan supernatural dan klenik.
Umat-umat yang kalap pun mengerubungi para pemuka agama seolah mereka adalah cenayang. Berulang kali menanyakan pertanyaan yang sama dalam sesi-sesi diskusi agama, tak peduli melenceng dari tema.
Dalam lingkungan Buddhis Indonesia dan Asia Tenggara, para Bhikkhu (Theravada)/Bhiksu (Mahayana) jadi sasaran pertanyaan. Apabila si penanya adalah orang kaya, maka pertemuan berlangsung secara terpisah di luar waktu acara. Padahal aturannya, seorang Bhikkhu dilarang keras bertindak seperti penerawang, apalagi untuk mencari imbalan maupun popularitas. Jika sang Bhikkhu menasihati umat agar tidak terlalu memusingkan hal-hal begini, eh malah dibilang kurang sakti.

Sedangkan dalam lingkungan warga Tionghoa penganut kepercayaan tradisional, yang dicari adalah Suhu/Shifu maupun para medium yang mengaku bisa dirasuki sejumlah entitas dewa mulai Nacha si bocah teratai sampai Dewi Guanyin dengan mudahnya. Bagi orang-orang yang licik, ini tentu jadi peluang bisnis. Ironisnya, banyak yang bersedia jadi korban, dibodohi, dan diminta membayar dalam bentuk sedekah.
Terlepas dari masalah di atas, pada kenyataannya perkara kelahiran kembali ini selalu menarik perhatian banyak pihak di luar lingkup Tionghoa/Buddhis/Hindu, dan diteliti secara serius. Beberapa pemicu sekaligus objek penelitiannya:
- Tradisi penentuan Dalai Lama
Sebelum meninggal, seorang Dalai Lama senior bisa saja akan memberitahukan detail keluarga tempatnya akan dilahirkan kembali. Setelah mangkat, satu tim Lama (Bhiksu aliran Topi Kuning Tibet) akan melakukan verifikasi dengan mendatangi rumah keluarga tersebut serta melakukan sejumlah tes. Bila hasilnya tepat, maka mereka akan menyatakan bahwa anak tersebut memang merupakan kelahiran kembali dari Dalai Lama.
Selain untuk Dalai Lama, tradisi penentuan lokasi kelahiran berikutnya juga jamak terjadi pada figur-figur penting dalam Buddhisme Tibet.
Dalai Lama saat ini, Tenzin Gyatso menyatakan ada kemungkinan bahwa ia adalah Dalai Lama terakhir. Tersirat, ia memutuskan untuk tidak ingin terlahir kembali. Keputusan ini diprotes pemerintah Tiongkok dan sebagian warga Tibet.

- Ösel
Pada masa-masa awal saya sebagai seorang Buddhis, buku dengan sampul depan berwarna merah marun bergambar wajah seorang balita bule berjudul “Reincarnation” sedang terkenal-terkenalnya. Tentang seorang balita yang ternyata adalah kelahiran kembali dari seorang pemuka agama. Setelah “Reincarnation”, bermunculan buku-buku lain dengan tema serupa namun umum, alias tidak melulu terkait dengan Buddhisme.

Kini, katanya, Ösel sudah jadi agnostik, dan ingin fokus membuat film dokumenter.

- Kampman Investigation of Parapsychology (1978)
- Past Life Regression
Salah satu teknik hipnosis yang menarik mundur memori alam bawah sadar seseorang.
Pada penanganan trauma alam bawah sadar, umumnya pasien hipnosis “dibawa” ke ingatan masa lalunya secara kronologis untuk melihat pemicu trauma dan memulihkannya. Namun apa yang terjadi bila ingatan ditarik mundur melewati tanggal kelahiran yang bersangkutan? Dalam beberapa kasus pengujian, seseorang dihipnosis dan menceritakan berbagai hal, termasuk siapa ia sebelumnya, di mana ia tinggal, dan sebagainya. Setelah ditelusuri, ternyata di alamat tertentu pernah tinggal seseorang bernama Si Anu, sudah meninggal, dan seterusnya.
Apakah semua cerita dan penggambaran yang disampaikan dalam kondisi terhipnosis regresi itu adalah memori nyata, atau imajinasi? Entahlah. Yang jelas, saya sudah mengikuti sesi regresi sebanyak dua kali.
Sesi pertama dilakukan oleh terapis tersertifikasi untuk mengetahui dan mengatasi masalah saya yang benci bangun pagi alias terlalu doyan tidur mbangkong. Sesi ini mengembalikan ingatan saya ke sebuah pagi saat masih SD, dan ternyata ada peranan mama di sana. Hahaha… Seiring berjalannya waktu sampai dewasa, pikiran alam bawah sadar saya melakukan mekanisme pertahanan untuk menghindari pagi. Ada alasannya.
Untuk sesi regresi kedua, saya sendiri pun masih skeptis sampai sekarang. Bayangan kenangan yang muncul saya anggap terlalu vivid untuk jadi gambaran masa lalu. Yang saya lihat adalah PoV diri saya sendiri (kepala menunduk melihat dada sampai kaki) yang mengenakan… jubah pastor Katolik berwarna hitam tanpa lis putih, dan berjalan masuk ke sebuah ruangan gelap berdinding batu di sebuah sore.
Yang jelas, saya bangun dari kedua sesi tersebut dengan pucuk mata yang penuh belekan kering, seperti bangun pagi, tidur dengan durasi lama.
Masih kepengen lagi? Masih sih. 😀
Selanjutnya, muncul pertanyaan: “Karena tidak bisa dibuktikan, apakah kelahiran kembali tidak pernah terjadi?”
Jawabannya: “Mungkin.”
Bagi selain penganut Buddhisme dan Hinduisme, jelas tidak ada kelahiran kembali, apa pun mekanismenya. Setiap orang meninggal satu kali, untuk kemudian dibangkitkan satu kali dan menjalani aneka rupa proses evaluasi dan penghakiman. Hasil akhirnya berlangsung dalam keabadian. Seperti itu, bukan?
Sebagai Buddhis, diarahkan untuk selalu skeptis aktif; belum percaya sampai membuktikan sendiri.
Secara teori, satu-satunya cara untuk bisa mengakses kemampuan ini adalah lewat meditasi. Paradoksnya, makin dicari malah makin susah ditemukan. Hehehehe… Ketika ada seorang meditator yang memiliki kemampuan ini, ia cuma diam.
Bagi yang belum bisa merealisasi kemampuan tersebut, kekepoan terhadap kehidupan lampau bukan sekadar percaya atau tidak, melainkan kembali ke pertimbangan bermanfaat untuk kehidupan saat ini atau tidak. Bukan meninjau ke belakang, yang sudah terjadi, melainkan menyadari yang sedang terjadi saat ini. Kehidupan yang cuma satu ini.
Dari sudut pandang yang lain, konsep rebirth ini menempatkan manusia sebagai subjek sekaligus objek yang bertanggung jawab atas hidupnya sendiri tanpa batas latar belakang. Mirip hukum tabur-tuai tapi secara absolut. Bergulir dengan sendirinya sesuai semua faktor yang ada dengan kamma/karma sebagai bahan bakarnya, tanpa campur tangan pengubah drastis. Apa yang didapat saat ini, itulah akibat dari yang sudah diberikan sebelumnya.
Paduan konsep rebirth dan kamma saling menghubungkan semua makhluk (bukan hanya manusia) secara berkesinambungan. Besar kemungkinan, orang-orang yang ada dalam kehidupan kita saat ini, positif maupun negatif, sudah terhubung dalam kehidupan sebelumnya. Enggak tahu sebagai apa. Itu sebabnya, kadang kita langsung bisa merasa sebal atau benci dengan seseorang sejak bertemu pertama kali, belum juga kenal. Begitupun sebaliknya.
Kebayang ya, kepo yang satu ini begitu sulit dan melelahkan.
Intinya, jadi orang baik aja deh. Setidaknya itu sudah cukup kok, untuk saat ini.
[]
Saya juga bangkong banget kalo urusan bangun pagi. Dan saya rasa ada “peranan” Mama juga di sana. Bolehkah direkomendasikan terapis tersertifikasi untuk mengatasi masalah ini Mas? Karena di beberapa waktu, kondisi ini cukup mengganggu juga. Hehe. Thanks before.
SukaSuka
Ehm, saya di Samarinda, dan hipnoterapisnya juga di Samarinda. Kalau di kota lain, saya benar-benar buta. Hehehe…
Mungkin bisa dicoba dengan mendatangi Psikolog Klinis dulu. Siapa tahu ada rekomendasi yg lebih dekat.
SukaSuka
duh, kegeeran.
tadinya aku kira ini bentuk pertanyaan: “masa, Lalu bikin kepo?”
kan lagi musim yang namanya lalu bikin kepo. malah sampainlapor ke polisi coba..
ckckck..
SukaSuka
Itu si Lalu.
Kalau saya, Lague.
SukaSuka